Sabtu, 21 Februari 2009

Masihkah Perlu Diskusi Tentang Esensi Karya (Seni) Sastra dan Estetika di Babel?

Selama empat pekan lalu rubrik Budaya harian Bangka Pos (19/2, 26/2, 5/3, 12/3) berusaha menampilkan dua wacana ‘esensi karya seni’. Semula sastrawan muda kelahiran Belinyu Bangka, 7 Juni 1977, Sunlie Thomas Alexander (STA) berani melemparkan wacana Mengembalikan Seni Pada Hakikatnya, yaitu seni untuk seni, estetika adalah tuan atas seni, dan mewaspadai seni yang dieksploitasi (atas nama estetika) untuk hiburan sesaat, striptease imajis, kendaraan kepentingan, mesin suatu –isme, atau seni untuk bukan seni.

Disebutkan nama dan karya LK Ara (LKA) dan Willy Siswanto (WS) oleh STA, wajar-wajar saja, mengingat kedua nama (sekaligus kiprahnya) tersebut cukup ‘menghegemoni’ di Babel; WS muncul sejak 1999 melalui Komunitas Pekerja Sastra Pulau Bangka sekaligus menjadi koordinatornya; LKA muncul sejak 2003 dengan bendera Yayasan Nusantara Jakarta dan menyandang gelar “pensiunan Balai Pustaka Jakarta”.

Wacana STA disambut oleh sastrawan nyaris lewat muda, kelahiran Tanjungpandan Belitung, 23 Mei 1963, Ki Agus Hazirianjaya alias Ian Sancin (IS) dengan wacana Memahami Esensi Karya Seni, yaitu estetika bersifat ‘lentur’, karya seni terolah dari empat aspek perasaan sebagai penyeimbang, penilaian karya seni harus dikembalikan pada khalayak, dan setiap karya memiliki spesifikasi dan segmentasi tersendiri.

Kedua wacana itu tidak mengajak mudik ke ‘hakikat atau esensi’ seni dengan teori dewa-dewa seni dunia, melainkan fungsi-orientasi. Tulisan ini pun tidak ingin ‘mudik’ ke ayat-ayat langit ‘hakikat/esensi’ seni dari sabda Sang Maha Seni atau ajaran Nabi Seni dalam sebuah kitab suci Seni. Hakikat (definisi-doktrin-filosofi kuno) seni dan estetika sastra telah digilas oleh roda-roda besi gerobak realita yang distir oleh pengertian dan persepsi (selera) pribadi masing-masing pembaca. Sebagian masyarakat hanya mau peduli pada ‘apa faedah seni bagi kehidupan nyata’. Juga, pasca tahun 2000 wacana-wacana sejenis telah dipaparkan penulis lain, seperti Saut Situmorang, Medy Loekito, Donny Anggoro, Alex R. Nainggolan, Subakastawa, dan lain-lain.

Estetika (keindahan) adalah darah sastra (susastra). Itu yang membedakan sastra dengan berita (news), artikel, iklan, informasi, dan lain-lain. Namun, waspadalah pada bujuk-rayu ‘estetika palsu’! Melalui esai di tabloid Minggu Pagi Yogyakarta tahun 2004 Raudal Tanjung Banua memperingatkan, kecenderungan perkembangan estetika sastra Indonesia mutakhir cuma mengeksploitasi bahasa hingga meluber jauh ke luar dari isi karya sesungguhnya. Akibatnya, muatan karya yang melarat itu terperangkap dalam busana menorisme belaka.

Resep ‘empat aspek emosi (perasaan)’ IS untuk penyeimbang olah karya seni, terasa kurang lengkap. Dengan menyebutkan ‘perasaan sosial’ tanpa melibatkan ‘perasaan individual’, jelas bias. Sebab ‘perasaan individual’ tetap sah dalam pengolahan karya seni. ‘Perasaan individual’ mungkin sama dengan ‘seni murni’. Seni murni, misalnya seni lukis, seni tari, seni patung, seni musik, dll. cenderung ‘menghamba’ pada subyektivitas estetika penciptanya.

Sedangkan seni dari pengolahan ‘perasaan sosial’ cenderung menjadi ‘seni terapan’ yang berkonotasi ‘pesanan’ dan ‘menghamba pada selera estetika industri-pasar’. Contoh seni terapan adalah disain, misalnya disain grafis (komunikasi visual), disain interior, disain tekstil, disain produk, dll. Khalayak ‘andil’ dalam konsep penciptaannya. Di mana keberadaan seni sastra?

Saut Situmorang memasukkan seni sastra dalam lingkup seni murni, dimana sang penciptanya adalah ‘tuhan’ atas karya sastranya sendiri. Ibarat seni lukis, pelukis bebas membuat bulan berwarna hijau atau mata seseorang berbentuk kuda lumping sedang nungging sambil mancing kepiting. Meski tidak sesuai dengan selera penikmat, ia (penikmat) sama sekali tidak layak mengubah, mengganti, menambahi, atau memperbaiki warna, bentuk atau setitik apa pun. Relevansinya dalam sastra, puisi misalnya, pembaca (setaraf ‘dewa’ sastra sekalipun!) tidak berhak mengganti kata, tanda baca atau tata kalimat dalam sebuah puisi, kecuali permintaan dari pencipta/pemuisi bersangkutan yang mungkin karena sedang belajar mencipta puisi. Sah-sah saja pembaca mengritik atau menelaah. Namun bukan untuk ‘mengutak-atik’ puisi seperti penikmat menambahi/memperbaiki warna sebuah lukisan. Perasaan individual kreator sah dan merdeka!

IS menyebutkan perasaan intelektual. Perasaan yang bagaimana? Pencipta (kreator) sering kali berpikir bahwa estetika dalam tiap kreasinya telah mencapai taraf intelektualitas puncak saat itu. Sepertinya tidak ada lagi yang harus diragukannya. Namun penilaian pembaca tidaklah demikian. Sebaliknya, ada pencipta yang merasa estetika kreasinya kurang berbobot intelektual (minimalis), tetapi dimuat redaktur media dan dikagumi pembaca. Atau, seperti puisi-puisi pamflet Wiji Thukul. Sepintas terkesan lugu lantaran ia hanya seorang buruh. Diksi-diksinya tidak muluk-meliuk seperti karya penyair besoar. Tetapi justru kesederhanaan intelektualitasnya-lah (plus orisinalitas, kejujuran, humanisme) yang menaikkan kualitas estetis puisi-puisi Wiji.

Lantas emosi (perasaan) estetika, rasa terhadap keindahan. Keindahan/estetika selalu berhubungan dengan perasaan. Pencipta merasa karya sastranya telah mencapai limit estetika dengan diksi dan komposisi yang sesuai kemampuannya. Ia tersenyum puas. Tetapi perasaan estetika pribadi tidak selalu sama (‘lentur’ seperti kata IS) dengan perasaan estetika setiap pembaca (orang lain, khalayak). Dan kalau tidak cocok dengan selera pembaca, siapa salah?

Selanjutnya, perasaan agama. ‘Perasaan agama’ ini lebih tepat disebut ‘perasaan religius’; suatu perasaan paling dalam, dalam lubuk hati nurani, atau basic. Menurut Dosen STAIN Purwokerto Abdul Wachid B.S. (1999), religiositas tidak selalu dihubungkan dengan agama (religi/religion). Ada religiositas yang tumbuh sebab religi, dan ada yang tidak oleh sebab religi atau oleh sebab, menurut Y.B Mangunwijaya, penghayatan terhadap hidup. Religiositas memang dapat bangkit dari pribadi non-agama (ateistis atau agnostic menurut IS, pen.). Religiositas ini disebut “dimensi kedalaman” oleh Filsuf Profetik Paul Tillich. Namun, tiap kebangkitan religiositas selalu dilandasi oleh keinginan baik untuk berbuat kebaikan kepada sesama makhluk. Dengan demikian, kesusastraan menjadi religius jika di dalamnya mempersoalkan dimensi kemanusiaan, termasuk moralitas, dalam kaitannya dengan dimensi transedental.


A. Seni untuk Siapa

‘Pertempuran’ wacana STA – IS lebih menjurus pada ‘fungsi-orientasi’ seni, ‘seni untuk siapa’. Kata ‘untuk siapa’ menjadi sangat penting, jika perjalanan sebuah karya seni (sastra) dari siapa akan berlabuh ke dermaga ‘siapa’ (seni untuk siapa). Siapa pembacanya (pembaca pertama, pembaca kedua, dan seterusnya), siapa penikmatnya, ‘segmentasi tersendiri’ (menurut IS). Andai IS membacakan dengan lantang puisi Peringatan karya Wiji Thukul lalu disusul cerpen sarat aurat karya Djenar Maesa Ayu di depan anak-anak TK di sebuah taman bermain, lalu ke para pejabat pemprov di depan kantor gubernur, ke para penjual sayur-mayur di pasar, atau ke dalam sebuah kandang ayam, tepatkah ‘khalayak’-nya (untuk siapa)? Hakikat (esensialitas) seni dan estetikanya tergantung perspektif dan persepsi siapa?

Spesifikasi karya seni sastra untuk segmentasi (pembaca) tersendiri memang tepat. Tetapi kalau dicampur dengan frasa ‘penilaiannya kembalikan kepada khalayak’, yang berkonotasi ‘umum’ (general), ‘tanpa segmentasi tersendiri’, jelas tidak sebegitu cair seperti wacana IS.

Kinayati Djoyosuroto (2005) mengatakan, dalam teori resepsi sastra pembaca terdiri atas dua kelompok, yaitu 1) pembaca biasa, yang membaca karya sastra sebagai hiburan, bukan sebagai bahan penelitian, dan 2) pembaca ideal, yang membaca untuk penelitian/pembahasan. Juga adanya pembaca eksplisit, yakni pembaca yang dituju oleh sebuah karya sastra, baik yang disebutkan secara langsung maupun tidak dalam teks sastra.

Apa penilaian dan ‘siapa’ penilai (pembaca)-nya merupakan dua hal yang berkaitan erat. Ambil contoh cerita-cerita Lupus karya Hilman sampai hiruk-pikuk fiksi aliran chicklit dan teenlit. Karya-karya semacam itu dinilai oleh sebagian ‘pembaca ideal’ sebagai karya popular berbobot sastra ‘nihilis’ yang dieksploitasi besar-besaran oleh monster kapitalisme milik industri penerbitan (dengan produksi yang tumpah-ruah, distribusi yang hilir-mudik, dan promosi yang hangar-bingar), bahkan ‘bukan karya sastra’ dan justru bertendensi ‘merusak citra sastra Indonesia kontemporer’. Tetapi toh tidak sedikit ‘pembaca biasa’ (ini juga khalayak seperti sebutan IS) menyukai karya-karya sastra popular tanpa repot mengais-ais unsur estetikanya.

Novel Saman karya Ayu Utami memperoleh apresiasi positif dari Gunawan Mohammad, Sapardi Djoko Damono, Y.B Mangunwijaya, dan lain-lain serta mendapat penghargaan tertinggi dari Dewan Kesenian Jakarta, tetapi ternyata tidak demikian positif di mata kalangan lainnya, termasuk STA dalam esainya. Atau pula antologi cerpen auratisme Djenar Maesa Ayu yang dinilai bagus oleh Sutardji Calzoum Bachri tapi kemudian ‘hakimi’ secara sinis oleh esai-esai sebagian sastrawan nasional, termasuk Penyair Medy Loekito.

Atau antologi puisi cybersastra Grafitti Gratitude terbitan Yayasan Multimedia Sastra Jakarta, 2001. Pada waktu peluncuran, buku ini ‘dihakimi’ Sutardji Calzoum Bachri sebagai ‘karya-karya sampah’ dan dihiasi makian, “Tai pun kalau dibungkus emas, bisa nampak indah!” Tak ayal Saut Situmorang menggugat ‘buktikan mana karya-karya sampah itu, sebutkan, dan berikan argumentasi yang berkualitas, jangan cuma bisa memaki’, dan Tardji bungkam (mungkin memang tidak mampu membuktikan dengan sebuah paparan persepsi yang berbobot).

Keberagaman sekaligus pertarungan persepsi di kalangan ‘pembaca ideal’ sendiri! Bagaimana dengan ‘pembaca biasa’? Tidak jelas karena tidak ada paparan persepsi yang mewakili khalayak ‘pembaca biasa’. Yang jelas, Saman-nya Ayu Utami, antologi cerpen auratis karya Djenar, juga chicklit-teenlit telah mengalami cetak ulang sebanyak beribu-ribu eksemplar. Khalayak pembaca muda-belia menyukai, industri buku sastra ‘memanfaatkannya’.

Donny Anggoro (2002) berkomentar, “Agak sulit memang menghadapi perilaku masyarakat yang membaca atau menikmati karya seni sekadar pragmatis eskapisme belaka. Membaca hanya ingin dibilang terpelajar kendati yang sesungguhnya dibicarakan adalah hasil review seseorang di sebuah koran atau halaman belakang komentar pakar yang tercantum sebagai “penglaris” sebuah buku. Yang berkarya hanya ingin dibilang sophisticated, gagah-gagahan, atau paling tidak lebih ingin menjadi bagian dari komunitas budaya tertentu yang sedang naik daun, bukan karena merasa perlu berbuat sesuatu setelah menyimak hasil sebuah pemikiran. Saya tak bermaksud menggugat orisinalitas. Yang saya gugat adalah apa sesungguhnya yang diinginkan dari si pencipta, juga penikmat. Mengapa begitu menghasilkan karya yang barangkali menurut sang pencipta terbaik tapi nyatanya belum memuaskan penikmatnya? Sedangkan bagi si penikmat yang entah sadar atau tidak selalu ingin mengejar mutu demi gengsi mengapa mencela mereka yang juga penikmat karya kitsch?

Memang patut diacungi jempol atas keberanian STA mengritik tajam-akurat puisi Sebuah Pidato di Pangkalan Beras karya LK Ara. Sinyalemennya benar bahwa ada ‘upaya’ memundurkan sastra melalui ‘seni untuk kepentingan non-sastra’ pada puisi tersebut. Tapi efektivitas kritik STA berhadapan dengan sunyi-senyap suara para pegiat sastra Babel lainnya, dan ketiadaan respon masyarakat umum. Mungkin Bupati Bangka Eko Maulana Ali tersenyum.

Di lain kalimat STA (mewakili sebagian sastrawan Babel?) menilai Willy Siswanto selalu menggurui (berceramah pendek) dalam cerpen-cerpennya dan menjadikan tokoh-tokoh cerpennya sebagai corong (robot, boneka, wayang). Kritik semacam itu pernah ditulis Cerpenis Semarang S. Prasetyo Utomo atas antolgi cerpen Lukisan Kaligrafi karya tunggal Gus Mus (Penerbit Kompas, 2003) yang dimuat Kompas, 15/1/2006, “Tokoh-tokoh cerpennya dekat dengan lingkup keseharian Gus Mus. Begitu pula dengan setting narasi, sangat dekat dengan dunia pesantren – tempat ia menghabiskan seluruh hidupnya. Ada saatnya Gus Mus tergelincir pada tradisi kelisanan yang melancarkan fatwa dalam teks sastra. Tentu ini mengurangi kadar estetika cerpen-cerpennya. Mestinya ia mengendalikan diri untuk mengekspresikan fatwa-fatwanya. Kalau ia bisa menahan diri untuk tak menyusupkan fatwa-fatwa keulamaan secara verbal dalam narasi fiksinya, cerpen-cerpen itu akan lebih merasuk empati pembaca. Layak disayangkan, fatwa yang tersisip itu telah menandai lahirnya diksi-diksi yang menggurui.”

Dalam buku Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta : UGM, 1998) Burhan Nugiyantoro bilang, “Tidak jarang tokoh-tokoh cerita dipaksa dan diperalat sebagai pembawa pesan sehingga sebagai tokoh cerita dan sebagai pribadi kurang berkembang. Secara ekstrem boleh dikatakan, mereka hanya sebagai robot yang selalu tunduk kepada kemauan pengarang dan tidak memiliki kepribadian sendiri. Tokoh cerita seolah-olah hanya sebagai corong penyampai pesan, atau bahkan mungkin merupakan refleksi pikiran, sikap, pendirian, dan keinginan-keinginan pengarang.”

Meski begitu, toh pengamat-penggiat sastra di Babel tidak berkomentar apa-apa lewat kritik sastra, dan cerpen-cerpen semacam itu masih memiliki ‘segmentasi tersendiri’ di Bumi Serumpun Sebalai, termasuk Bangka Pos. Lantas, untuk apa-siapa esensi seni dan estetika?

Sastrawan Sungailiat Ira Esmiralda pernah berkomentar, “Estetika sastra tergantung tingkat kedewasaan pemahaman pembaca. Jika pembaca telah mencapai tingkat kedewasaan pemahaman estetika tertentu, jelas penilaian estetika sastranya akan berbeda jauh dibanding penilaian dari pembaca yang baru atau sama sekali belum memiliki tingkat kedewasaan pemahaman estetika minimal. Begitu pula ketika pembaca menilai cerpen Willy, cerpen Sunlie, puisi Ara, bahkan cerpen-puisi karya Ira sendiri.”


B. Seni Tidak Untuk Siapa

Kalau tadi ada istilah ‘seni untuk siapa’, giliran istilah ‘seni tidak untuk siapa’. Apabila seni tidak digubris oleh khalayak tertentu, itu berarti ‘seni tidak untuk siapa’. Dan apabila seni dianggap sebuah usaha propaganda atau menyesatkan, itu pun berarti ‘seni tidak untuk siapa’ alias ‘berbahaya bagi siapa’. Mungkin ‘seni sastra tidak untuk pembaca berusia sekian’, ‘seni sastra tidak untuk pembaca beragama apa’, ‘seni sastra tidak untuk pembaca berotak seberapa’, ‘seni tidak untuk pembaca berwawasan antiseni’, dan lain-lain. Lantas siapa yang berani menghakimi ‘seni tidak untuk masyarakat’ alias ‘seni terlarang untuk publik’?

Bayangkan saja, suatu saat ‘segmentasi tersendiri’ berhadapan dengan ‘segmentasi yang berposisi politis-sosial yang kuat (power), atau ‘segmentasi bermassa (khalayak) anarkis-destruktif-sadis-berani mati’ tanpa peduli esensi seni apalagi estetika, apa yang bakal terjadi?

Puisi-puisi pamflet karya Wiji Thukul menyebabkan Wiji raib hingga kini, meski pada masa itu puisinya, terutama slogan ‘hanya satu kata: lawan!’, disukai oleh segmen demonstran (aktivis mahasiswa, buruh, LSM). Roman sejarah karya Pramoedya Ananta Toer pernah dilarang beredar oleh rezim Orde Baru, dan segmennya (peneliti) tak luput dari intimidasi ORBA. Di Yogyakarta karya-karya Khalil Gibran pun pernah menjadi “target operasi” dalam perburuan sekelompok pemuda fundamentalis-anarkis.

Dalam pidato penerimaan Hadiah Nobel Sastra 1957 Albert Camus berkata, “Seni bukanlah suatu kegembiraan yang dinikmati sendiri, dan seorang seniman tidak dapat hidup tanpa keindahan. Seniman juga tidak mungkin melepaskan diri dari kelompok masyarakatnya. Seniman berada di tengah-tengah keduanya, lebih mengharuskan diri untuk mengerti daripada menentukan baik-buruknya. Dalam kerja kita tak mungkin mengelakkan risiko serta serangan-serangan yang pahit.” Maka, jika seniman (sastrawan) bertahan mencipta ‘seni tidak untuk siapa pun’, sebaiknya ia berkreasi hanya dalam tempurung kepalanya sendiri (‘untuk dirinya sendiri’)."


C. Seni Untuk Apa

Istilah ‘seni untuk apa’ ini mirip dengan istilah “seni dalam rangka…”-nya Abdul Wachid B.S. Untuk apa para sastrawan berkreasi? Untuk profit (keuntungan material)? Untuk profil (terkenal, mengukuhkan eksistensi, menawarkan diri kepada siapa, dll.)? Untuk propaganda (menghasut, memfitnah, mengadu domba, menyesatkan, mempengaruhi, menjurus seksual, melawan, menjilat, dll.)? Untuk produk budaya (historis, etnis, kapitalis, akademis, seremonial, legenda, mitos, dll.)? Untuk kemanusiaan (humanisme), batin manusia? Untuk apa lagikah?

Istilah ‘seni untuk apa’ tak luput dari kecenderungan tendensius. Sepakat atau tidak, seni sering pula menjadi sekadar ‘mesin’ atau ‘media promosi’ untuk ‘menawarkan sesuatu’, entah anatomi manusia, anatomi pikiran, anatomi perasaan, anatomi apologi, anatomi sikap, anatomi hewan, anatomi tumbuhan, anatomi benda, anatomi lingkungan, anatomi sosial, anatomi situasi, anatomi konflik, anatomi teknologi maupun anatomi semesta. Dan, tawaran tersebut tak jarang pula membonceng tujuan-tujuan tertentu, misalnya perut (sastrawan, keluarga, rekening bank), pikiran (edukasi), perasaan (eksistensi, gengsi), dll.

Seorang seniman Babel berprinsip, “Seni untuk hidup, seni untuk nafkah.” Satu sisi, jika karya sastranya telah berkualitas tinggi, baik skala lokal maupun nasional apalagi dunia, tentu saja wajar berprinsip demikian. Tetapi kalau ia menjadikan ‘seni untuk mengemis ABPD’ di daerah lain, ia sengaja ‘menggadaikan’ reputasi dirinya semata demi profit. Atau ia tidak berkualitas tinggi dalam skala mana pun, tidak mustahil ia akan menjual ‘seni untuk materi’ (apa pun pledoi edukasinya). Karya seni sastra telah dirancang-bangun menjadi kompleks prostitusi!


D. Siapa Menghakimi Esensi Seni dan Estetika

IS berpendapat, “Penghakiman terhadap sebuah karya tanpa memberikan solusi adalah barbarisme karena sebuah karya jika tidak akan merusak tatanan atau etika dalam kehidupan maka karya itu menjadi syah untuk diapresiasi.”

Makna frasa ‘tatanan atau etika dalam kehidupan’ cenderung ‘bersayap’. Tidak jelas ‘tatanan atau etika’ menurut pendapat/prespektif siapa, batasannya apa, dan tatanan/etika itu yang bagaimana. Tidak jelas pula ‘kehidupan’ apa, siapa, dan siapa-siapa. ORBA juga sering memanfaatkan frasa semacam itu sebagai legitimator untuk melakukan tindakan represif yang naïf-agresif-posesif atas aktivitas dan produktivitas seni sastra, yang kemudian di-counter oleh Seno Gumira Ajidarma dengan kredo ‘ketika jurnalisme dibungkam, maka sastra berbicara’.

Karya-karya Wiji Thukul, Pramoedya, Rendra, dan seniman lainnya pernah ‘dihakimi’ sebagai ‘merusak tatanan atau etika dalam kehidupan politik rezim ORBA atau rezim brutal suatu kelompok fundamental’, maka solusinya sungguh ‘tidak sastrais’. Orang-orang rezim itu menganggap hanya merekalah yang ‘syah’ melakukan apresiasi dan penghakiman terhadap sebuah karya sastra.

Dari situasi tersebut Dosen Pasca-sarjana dan Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM Dr. Faruk H.T. (2000) berpendapat, “Sastra tidak pernah menjadi ‘penari yang menikmati tubuhnya sendiri’. Ia selalu dibuat gelisah oleh pandangan orang lain yang menontonnya, menjadi serba kikuk, menimbang-nimbang, dan akhirnya memaksakan diri untuk diterima dan diberi posisi meski sebagai musuh para penontonnya itu.”

Penghakiman (judgement) karya sastra yang dilakukan dalam suatu peradilan (diskusi) oleh kalangan sastrawan pun tidak wajib menelorkan solusi. Di Yogyakarta misalnya, beberapa sastrawan atau kelompok studi sastra non-formal melakukan apresiasi dan penghakiman (kritik) atas sebuah karya sastra lalu tidak menawarkan solusi apa-apa, toh di Kota Budaya sana geliat berkehidupan sastra tetap langgeng, maju, sehat, dan subur. Tidak ada tuduhan barbarisme apa pun. Semasa ‘proses peradilan’, pembelaan dilakukan oleh pihak lain (bukan oleh penciptanya sendiri) dengan pemaparan apresiasi sekaligus ‘banding’ atas ‘dakwaan’ sebelumnya.

Sementara, di Babel iklim apresiasif maupun penghakiman atas karya sastra belum terbukti konkrit-konsekuen-kontinyu-konsisten-kontekstual di lingkup pergaulan dan pergulatan artistik para sastrawan. Apresiasi dan penghakiman hanya mandi hujan liur dan ludah pergunjingan antarsastrawan. Lalu kering sendiri. Solusi sembunyi dalam selaput ilusi sunyi.

Ironisnya, di Babel sang pencipta (kreator) bisa leluasa membela kreasinya sendiri, dan ‘disahkan’ oleh redaktur koran lokal ! Kredo ‘pembaca adalah raja di depan sebuah karya sastra’ (Radhar Panca Dahana, 1999) tidak berlaku. Apresiasi atau kritik sastra secara tulisan justru ditentang secara lantang oleh penciptanya sendiri. Apresiasi ataupun penghakiman dicurigainya sebagai usaha instabilisasi atas eksistensi hegemoni kehidupan bersastranya, dan kudeta atas tampuk kekuasaan ‘raja’(?) sastra Babel! Sikap sastrawan semacam ini sungguh arogan, anti demokrasi, tidak egaliter, anti edukasi, dan kontra intelektual. Suatu ironi terkini.

Rupanya IS lalai, ‘rezim redaktur’ berperan penting sebagai ‘segmentasi tersendiri’ maupun ‘khalayak’ yang sangat berpengaruh. Sebelum karya sastra yang dimuat buku sastra maupun media massa kemudian tersebar ke ruang pembaca/penikmat, peran paling dominan sekaligus menjadi Hakim Agung adalah ‘redaktur’. Redaktur bukan hanya memprediksi ‘kebutuhan pembaca’, ‘kehendak pasar’ atau ‘tingkat pemahaman pembaca atas seni-estetika’, melainkan juga bisa ‘berspekulasi’ untuk menawarkan karya sastra ‘baru’ berestetika ‘tidak biasa’. Hakikat seni dan kualitas estetika sebuah karya sastra sering ‘ditentukan’ oleh redaktur.

Pemuatan puisi Sebuah Pidato di Pangkalan Beras karya LK Ara dalam antologi bersama Bangka Belitung Bercahaya dalam Pantun dan Puisi (2005) adalah contoh ‘kekuasaan redaktur’ (LK Ara adalah editor tunggal dan redaktur dominannya). Ada lagi puisi sejenis itu yang diciptakan oleh penyair lain tetapi tidak dimuat oleh redaktur buku Pelangi Budaya Bangka Tengah karena hati nurani redaktur (Irmansyah) masih berfungsi normal. Redaktur satu ini tidak terpengaruh pada ‘siapa pencipta’ tetapi ‘apa isi dan orientasi’ karya seni sastra.

Lain lagi dengan puisi Catatan Kepada Rakyat. Semula puisi ini karya Gautama Indra alias Peter Siswanto yang menang lomba tingkat nasional 2001 dan dimuat lagi di harian Bangka Pos tahun 2001. Tetapi puisi itu tergabung pula dalam buku kumpulan sajak Kaki-kaki Telanjang karya tunggal Willy Siswanto terbitan Yayasan Aktualita Karsa Pangkalpinang (2005). Menurut Ketua Yayasan Ki Agus Hazirianjaya (Ian Sancin), urusan redaksional dan tetek-bengeknya dilakukan oleh satu orang (one man show), yakni Willy Siswanto sendiri. O-ho!

Dibanding ‘khalayak’, redaktur lebih ‘berkuasa’ menentukan karya yang ‘berseni’ dan berestetika. Contohnya puisi Kabar Kepada Kawan (satu-satunya karya penyair dari Babel) yang ditertawai (diejek, dihina) oleh Afrizal Malna sekaligus Willy Siswanto. Namun redaktur dari Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin Jakarta menilai puisi tersebut layak bersanding dengan kreasi estetis para penyair nasional seperti Sitor Situmorang, Gunawan Mohammad, Danarto, Djamal D. Rahman,Mustofa Bisri, Mudji Sutrisno, Ari MP Tamba, Rieke “Oneng” Diah Pitaloka, Golagong, Putu Fajar Arcana, Todung Mulya Lubis, Binhad Nurrohmat, Nurhayat Arif “Alik” Permana, dan lain-lain dalam buku Maha Duka Aceh (2005).

Kasus lainnya, yang tidak diketahui oleh IS, adalah antologi cerpen pelajar Bintang Kesepian dan Cerpen-cerpen Lainnya terbitan Jendela Yogyakarta (2004) dan antologi cerpen pelajar Bintang Kesepian terbitan Unit Pers Mahasiswa UAJY (2004). Kedua antologi tersebut merupakan kumpulan cerpen pemenang Lomba Menulis Cerpen tingkal Pelajar Se-Yogyakarta yang dijurikan oleh Sastrawan Raudal Tanjung Banua, Guru Sastra SMA De Britto Agus Prih dan seorang mantan pendiri unit pers tersebut, tetapi berbeda isi. Redaktur Penerbit Jendela menyeleksi (menilai, menghakimi) cerpen-cerpen untuk dibukukan dan dijual atas dasar selera kapitalisme redaktur yang menafikkan urutan pemenang hingga nominasi, bahkan ada karya pemenang yang tidak dimuat dalam buku tersebut. Sedangkan UPM UAJY membukukan dan menerbitkan cerpen-cerpen tersebut berdasarkan urutan pemenang hingga nominator terakhir. Kedua lembaga dihuni oleh redaktur yang memiliki esensi seni dan estetika berbeda.

Demikian pula dengan ‘rezim redaktur media massa’. Ketika sebagian besar sastrawan ‘menghamba’ kepada publisitas media massa, posisi redaktur budaya/sastra menjelma sebagai Hakim Agung. Atas nama ‘kebijakan redaksional/perusahaan’, keputusan (penghakiman) redaktur adalah mutlak. Jika penghakiman/penilaian/apresiasi redaktur semata berdasar ‘selera supersubyektif-nya (like or dislike), kehidupan sastra pasti terancam dalam persebarannya. Dan memang redaktur tidak peduli bahwa penghakimannya selalu tanpa solusi (barbarisme?).

‘Segmentasi tersendiri’ atau ‘khalayak’ bergelar ‘redaktur’ inilah yang dilupakan oleh IS. Tampaknya IS menganggap keberadaan segmentasi tersendiri atau khalayak hanya setelah proses percetakan (penggandan), bukannya pada waktu proses seleksi dalam kinerja redaksi. Masing-masing redaktur menilai estetika dan segmen pembaca dalam perspektif yang berbeda. Cerpen-cerpen karya Rudi Gunawan pernah ditolak oleh redaktur Kompas tapi dimuat Media Indonesia dan media massa lainnya, lantas terkumpul dalam Kumpulan Cerpen Bukan Pilihan Kompas.

Pemahaman tentang esensi/hakikat seni maupun kualitas estetika yang benar itu hanya milik teori-logika redaktur. Mutlak. Sepakat atau tidak, di tangan redaktur, pemahaman seniman, sastrawan dan khalayak tentang tetek-bengek esensi seni dan estetika bisa jadi nonsens. Lebih celaka apabila redaktur koran ‘meloloskan’ pledoi (pembelaan diri) sang kreator terhadap kritik atas karyanya gara-gara redaktur tersebut sangat tidak memahami hakikat ‘persepsi, penghakiman dan pembelaan’ atas sebuah karya sastra, dan ‘mengkultuskan’ kreatornya. Oleh karenanya berteriaklah Abdul Wachid (2003), “Hidup-matinya sastra Indonesia di tangan redaktur!

Tetapi ada saat dimana esensi seni bukan milik logika-selera redaktur saja. Kriteria estetika tidak hanya ditentukan oleh redaktur. Yang menghadang secara frontal-brutal adalah rezim birokrasi-politis bahkan rezim ‘khalayak’ yang fundamental-radikal di suatu wilayah (teritorial). Di bawah tiang tirani ORBA, pencipta maupun khalayak bisa ‘bisu’. Di bawah bendera pelangi reformasi, sebagian pemahaman dan penghakiman atas seni (sastra), karya, dan estetika pernah berada dalam kekuasaan khalayak fundamental-brutal. Disusul kembali oleh industri, ekonomi (daya beli), minat masyarakat, dan tren. Kapitalisme industri penerbitan selalu sensitif-selektif-agresif dalam situasi represif-naif sekalipun.

Pada akhirnya seni dan estetika tidak pernah lagi bisa mudik ke hakikat/esensinya. Seni dan estetika telah tersesat dalam ‘lingkaran pansus’: pencipta-redaktur/penerbit-pembaca-kritikus-pencipta oportunis-redaktur-dst. Situasi materialis-hedonis-kapitalis sekarang ini jadi semacam neraka (kawah candradimuka?). Maka, suatu hari nanti siluman ‘anu’ berpidato budaya, “Bahwa sesungguhnya esensi seni ialah anu, estetika seni itu sesuatu yang anu. Yang terpenting adalah karya seni tetap menjadi anu atau tidak menjadi anu sama sekali. Silakan berkreasi dan berestetika secara anu untuk anu demi anu dalam perspektif anu. Persetankan saja kritikus anu!”

*******

Sri Pemandang Pucuk Sungailiat, 14 Maret 2006

Tewasnya Sang Sastrawan

Pembaca adalah raja di depan sebuah karya sastra
(Radhar Panca Dahana, 1999)

Seorang sastrawan senior Babel sewot atas ‘kesan’ pembacaan saya terhadap beberapa cerpennya. Dia ngotot, dan menganggap saya kurang memahami isi (teks) cerpen-cerpennya. Kemudian dia menerangkan, cerpen ini maksudnya begini, dan cerpen lainnya maksudnya begitu. “Kau salah baca dan tidak mengerti apa itu cerpen,” tudingnya. Waduh!

Tak ayal saya merenung. Bagaimana bisa seorang sastrawan tiba-tiba menjelma sebagai juru bicara bahkan pengacara atas cerpennya sendiri? Bukankah sebagai ‘senior’, dia seharusnya sudah jauh lebih mengerti, bahwa pembaca memiliki kebebasan sepenuhnya bahkan ‘raja’ dalam menginterpretasi sebuah karya sastra, terserah seberapa kurang-lebihnya interpretasi (komentar, kritik, tanggapan, dll.) tersebut? Mungkinkah dia, sebagai sastrawan senior di Babel, belum pernah membaca kalimat Kristeva, “Pengarang mati setelah karya tercipta”?


A. Membela Karya

Perlukah seorang sastrawan membela karyanya sembari menerangkan bla-bla-bla-bli-bli-bli ketika pembaca mengungkapkan hasil pembacaannya?

Sebenarnya tidak perlu. Yang diperlukan pada diri seorang sastrawan adalah kelapangan dada dan kebesaran jiwanya untuk menerima segala interpretasi pembaca, baik pembaca awam (tidak memahami seluk-beluk sastra), sesama sastrawan maupun pakar sastra. Ketajaman atau ketumpulan belati interpretasi adalah mutlak milik pembaca.

Terkecuali jika kemudian pembaca menanyakan kembali kepada pengarangnya, apakah interpretasinya benar begitu. Biasanya mengenai ide dan proses kreatif kepengarangannya sehingga tercipta karya tersebut. Pengarang yang bijaksana akan menjawab seputar ide dan proses kreatifnya. Bukan menerangkan panjang-lebar, yang semata-mata untuk membenarkan karya (teks) yang telanjur dibaca dan diinterpretasi orang lain. Itu pun harus dikembalikan pula kepada pembaca (‘raja’), apakah pembaca bisa menerima atau tidak atas jawaban pengarang.

‘Kebangkitan’ sang sastrawan dari ‘kematian’-nya demi membela karyanya malah berakibat dua hal. Pertama, ‘membunuh’ karya (teks)-nya sendiri. Kedua, ‘kematian’ sang sastrawan terjadi secara tidak wajar alias ‘mati penasaran’ sehingga ia nekat ‘bangkit’ menjadi hantu, lantas merampas kebebasan milik pembaca. Mengerikan sekaligus menggelikan sekali.

Saya juga berpikir, “Seandainya sang sastrawan benar-benar sudah almarhum, lantas siapa yang akan membela cerpen-cerpennya seraya menerangkan ini-itu sebagai suatu kebenaran makna/kesan paling sejati dan tidak bisa diganggu gugat atas cerpen-cerpen karya almarhum sastrawan?”


B. Tugas Sastrawan dan Tugas Karya Sastra

Tugas sastrawan adalah menciptakan karya (teks) sastra itu saja. Syukur-syukur bisa lebih dari sejuta karya, dan semua berkualitas kelas satu. Sedangkan tugas karya (teks) sastra adalah berkomunikasi dengan masyarakat pembaca. Berhasil atau tidaknya sebuah karya (teks) sastra menjalankan tugasnya, itulah konsekuensi logis bagi sebuah karya (teks) sastra.

Ketika karya (teks) sastra tercipta dan sampai di mata pembaca, penciptanya (sastrawan) mati. Mati. Mati. Mati. Tinggallah bagaimana selanjutnya karya (teks) sastra itu bisa hidup, berkomunikasi dan bergaul dengan para pembaca. Yang kemudian sebaiknya dilakukan oleh penciptanya (sastrawan) adalah tetap tekun mengasah kemampuan, dan selalu introspeksi diri.

Sementara tugas pembaca cuma ‘membaca’ karya (teks) sastra sebab karya (teks) sastra itulah yang ada di hadapannya. Pembaca tidak usah susah-susah memikirkan bagaimana perasaan penulisnya (sastrawan) kalau ditemukan adanya ‘kelemahan’, ‘kekurangan’, dan sejenisnya.

Keberadaan pembaca sangat sah dalam suatu resepsi sastra. Menurut Kinayati Djoyosuroto (2005), resepsi sastra merupakan disiplin ilmu sastra yang mengaji masalah penerimaan pembaca terhadap suatu karya sastra, baik suatu masa maupun dalam berbagai masa. Pendekatannya bergaris besar sebagai berikut: 1) reaksi suatu karya yang berhubungan dengan pembacanya; 2) karya sastra menjadi konkrit melalui proses penerimaan pembacanya sehingga meninggalkan kesan pada pembacanya dengan proses imajinasi; 3) imajinasi pembaca dimungkinkan oleh (a) keakraban dengan sastra. (b) kesanggupan memahami keadaan pada masanya, juga masa sebelumnya; 4) melalui kesan, pembaca dapat menyatakan penerimaan terhadap suatu karya, yang dapat berupa sebuah komentar atau pembicaraan karya.

Pembaca, masih Kinayati, terdiri atas dua kelompok, yaitu 1) pembaca biasa, yang membaca karya sastra sebagai hiburan, bukan sebagai bahan penelitian, dan 2) pembaca ideal, yang membaca untuk penelitian/pembahasan. Juga adanya pembaca eksplisit, yakni pembaca yang dituju oleh sebuah karya sastra, baik yang disebutkan secara langsung maupun tidak dalam teks sastra.

Dari pembacaannya, pastilah ada ‘kesan’ yang diperoleh pembaca. Maka pembaca pun akan berkomentar. Wajar. Begitu juga pada pembaca yang kritis. Ia akan mengritisi karya (teks) sastra sebatas karya (teks) sastra itu secara obyektif. Bukan desakan sentimenisme subyektif-kolektif. Bukan demi mendiskreditkan ‘siapa penulis’-nya. Bukan atas dasar ‘selera’ semata, meski ‘selera’ (subyektivitas) tetap sah-sah saja dimiliki oleh pembaca (awam maupun kritis) sebab, seperti kata Radhar Panca Dahana, pembaca adalah raja di depan sebuah karya sastra.

Sebelum karya dibaca orang lain, sebaiknya penulisnya bisa memposisikan dirinya sebagai pembaca pertama. Hal ini pernah dilakukan oleh sastrawan absurd Budi Darma. Wahyudi Siswanto (2005) mengungkapkan, setelah menulis karya sastra dan menulis kembali dengan mesin ketik Budi Darma, secara tidak sengaja ia memosisikan dirinya sebagai pembaca pertama dari karya sastra yang telah ditulisnya meskipun saat menciptakan karya sastra ia tidak pernah membayangkan adanya pembaca.

Begitulah sebaiknya yang dilakukan oleh seorang penulis sastra setelah karyanya baru saja tercipta. Bukan persoalan bagaimana tanggapan pembaca setelah karya tersebut tiba di depan mata pembaca lainnya. Bukan pula mempersoalkan kesan (interpretasi) pembacaan orang lain.

Malangnya apabila komentar/kritik terhadap sebuah karya (teks) sastra selalu dicurigai oleh penciptanya sembari berprasangka, “Jangan-jangan cuma dalih licik untuk merontokkan pamorku di depan para pemujaku.” Suatu kecurigaan yang kontra intelektual.

Yang harus dilihat kembali, bahkan oleh penciptanya, lagi-lagi, hanyalah pada karya (teks) sastra. Titik. Kalau pun penciptanya ‘merasa dipermalukan’ lewat kesan pembacaan orang lain atas karya (teks) ciptaannya, itu resiko perasaan penciptanya sendiri. Super subyektif. Tidak kontekstual. Tidak berfaedah bagi pendidikan ‘calon’ sastrawan dan kemajuan dunia sastra.

Oleh karenanya, untuk mengritisi sebuah karya (teks) sastra secara obyektif serta edukatif, dasar-dasar (teori-teori) tentang sebuah karya harus sungguh-sungguh dipahami oleh si kritikus. Juga dengan maraknya sambutan tanggapan, komentar, kritik, dan lain-lain secara kontekstual dari siapa saja pembacanya justru menunjukkan bahwa karya tersebut betul-betul dibaca, diperhatikan, sukses menancap di benak pembaca, dan memperkaya semesta sastra.

Akan tetapi, jika sastrawan (pengarang, penyair, pemuisi, pemantun, dll.) belum siap menerima serbuan tanggapan, komentar, kritik, dan sejenisnya dari para pembaca, sebaiknya karya tersebut tidak usah disodorkan kepada orang lain apalagi media massa. Simpan saja ide briliyan itu dalam brangkas pikiran, atau hasil ketikannya segera sembunyikan di bawah kasur. Mau paling aman, ‘baca sendiri dalam hati sebelum tidur lalu bakar habis setelah bangun’. Saya rasa itulah jurus pamungkas untuk menyelamatkan karya sastrawan dari berondongan badai komentar/kritik dari pembaca.

*******
Kobatin Bangka Tengah, Januari 2006

LK Ara dan Proyek-proyek Penerbitan Buku Sastra di Bangka Belitung

Tahun 2005 penerbitan buku kumpulan sastra begitu marak di Bangka Belitung (Babel), yang dimotori oleh LK Ara (LKA) dan Penerbit Yayasan Nusantara Jakarta (YNJ). Contohnya, Bunga Rampai Bangka Barat (bekerjasama dengan Pemkab Bangka Barat, Januari), Antologi Puisi Lingkungan Hidup Kelekak (bekerjasama dengan Dewan Kesenian Kota Pangkalpinang, Juni), Antologi Pantun Melayu Bangka Pucuk Pauh (bekerjasama dengan Pemkab Bangka Induk, Desember), dan Bangka Belitung Bercahaya dalam Pantun dan Puisi (bekerjasama dengan PLN Babel dan Dewan Kesenian Kota Pangkalpinang, Desember), dan lain-lain.

Terkecuali Pelangi Budaya Bangka Tengah (pemkab Bangka Tengah, Desember) yang luput dari ‘proyek’ LKA bersama YNJ karena orang-orang Dinas Kebudayaan Bangka Tengah telah mengetahui ‘siapa sesungguhnya kontraktor nakal’ dalam penerbitan buku-buku sastra di Babel akhir-akhir ini.

A. Siapa LK Ara ?
Menurut buku Pangkalpinang Berpantun (DK Pangkalpinang dan Yayasan Nusantara, 2004) pada hal.128-129, LKA lahir di Takengon, Aceh Tengah, 12 November 1937. Pernah menjadi redaktur budaya Harian Mimbar Umum (Medan), guru SMP Sinar Kemajuan (Jakarta), pegawai secretariat Negara, dan terakhir di Balai Pustaka hingga pension (1963-1985).

Karya sastranya bertaburan di media massa dan buku sastra. Juga pernah menjadi peserta Kongres Bahasa Melayu Sedunia di Kuala Lumpur (1995), PSN IX di Kayutaman, Sumatera Barat (1997), dan Pertemuan Dunia Melayu Dunia Islam di Pangkalpinang (2003).

Dan menurut kisah seorang rekan di Pangkalpinang, sejak pertemuan DMDI di Pangkalpinang itulah LKA berkiprah di Babel.


B. Penggadaian Reputasi

Kesemarakan penerbitan buku sastra di Babel sepintas berhasil mereduksi kemandulan dunia sastra, termasuk buku sastra, di Babel pasca Komunitas Pekerja Sastra Pulau Bangka (KPSPB) tenggelam dalam samudera persoalan personal. Akan tetapi, sesungguhnya, ‘proyek-proyek’ bernilai puluhan juta rupiah tersebut bukan merupakan usaha yang berlandaskan itikad tulus - edukatif untuk mencerdaskan kehidupan bersastra dan berkarya bagi generasi muda peminat sastra di Babel. Sebab, selama kiprahnya di Babel sejak tahun 2003 hingga tulisan ini berakhir pada Februari 2006, sama sekali tidak terdengar aksinya dalam pembinaan atau semacam memberi pembelajaran menulis karya sastra, diskusi karya, bedah karya, dan lain-lain, yang benar-benar merupakan kegiatan edukatif yang tidak melulu bermuara di angka-angka rupiah.

Perekrutan karya secara massal melalui media massa lokal maupun mulut sastrawan-sastrawan lokal tidak dilanjutkan dengan proses seleksi yang logis dan kualified. Karya-karya sastra yang masuk dan dimuat tidak melalui jalur seleksi semestinya. Peran Editor LKA lebih mendominasi kegiatan ‘proyek’ dibanding budayawan sekaligus pemangku adat Babel, Editor Suhaimi Sulaiman. Tidak jelas, LKA sebagai editor, koordinator, bendahara atau ‘penagih uang’.

Pertama, puisi ‘bebas tayang’. Contoh di antaranya Utak-Atik Angka Koran dalam Bunga Rampai Bangka Barat (hal.67). Puisi yang ditujukan untuk : penjual koran dan ditulis di Sungailiat (Bangka Induk) 5 Agustus 2003 itu sama sekali tidak mencerminkan hal-hal yang bercitra Bangka Barat. Juga puisi Tak Kusangka, Sia-sia, Pesona, dan lain-lain. Bukan cuma isinya yang bebas, para kreator pun tidak berasal dari (tinggal di) daerah setempat (Bangka Barat). Yang tak kalah hebohnya, ada puisi karya Taufik Ismail dan Isbedy Stiawan dalam Kelekak.

Kedua, ‘puisi definisi’. Contohnya, puisi Toboali di Ujung Selatan Bangka karya Tarmizi Jemain (hal.136). Kota Nenas julukan untuk kota Toboali / Nenasnya manis sekali / Berbeda dengan nenas-nenas dari daerah lainnya / Barangkali karena kondisi tanahnya / Dan iklimnya agak berbeda dengan daerah lainnya. Ataupun puisi Batu Satam. Batu satam hitam batu mulia / ‘Satam’ dari bahasa orang cina / ‘Sa’ berarti tanah / ‘Tam’ artinya empedu / Satam berarti “empedu tanah”.

Ketiga, kemiripan isi. Contohnya puisi Igauan Punai dan puisi Luka Membahana karya seorang pemuisi di halaman 1-5. Bahkan dalam Bangka Belitung Bercahaya dalam Pantun dan Puisi terdapat dua puisi dengan pemuisi yang sama, yakni puisi Senandung Anak-anak Kecil karya A. Zinwar bin Dahlan di halaman 28 dan 29.

Kemiripan isi terjadi pula dalam buku yang berbeda. Mengapa kemiripan bisa terjadi? Sementara kelihatannya lumrah ada kesamaan puisi karya A dalam dua buku berbeda. Namun, salah seorang mengungkapkan, karyanya dimuat di buku lainnya tanpa ada pemberitahuan terlebih dulu, baik melalui SMS ataupun surat.

Berikutnya, kesalahan-kesalahan aksara dalam pengetikan ulang. Contoh puisi Lagu Duka karya Djamaliah Syaiful dalam Bangka Belitung Bercahaya dalam Pantun dan Puisi, pada kalimat Kambali aku kabalik debu. Dan pada buku itu terdapat lebih dari 20 kata kesalahan aksara, seperti untuk umpri (kata kreatornya, seharusnya tertulis untuk umi) lambayan, berhendus, kibawan, keusadahannya, peluikan, tidfak, bersarmu, memabulkan, melam, membantuk, zaintun, lemai gemulai, dihadpan, terbanyang, pantan, keramain, dsan, Bak, dianatara, berebenteng, begandeng, menyujukkan, sebuaah, maatkaan, listik, menghilangl, mesyarakat, ibadsah, atukah, kehadiranmua, yanmg, daiajak, katankan, dan lain-lain. Ini jelas-jelas merusak karya sekaligus melecehkan penciptanya!

Kapasitas LKA sebagai editor yang tidak banyak mengerti bahasa Melayu Babel kian merusak kualitas karya. Satu contohnya, pantun no. 20 dalam antologi pantun Melayu Bangka Pucuk Pauh karya Sulaiman Yusuf. Perahu ikan didera batu / Penyair buyan menyandera bajak / Ke hulu kene bubu / Ke hilir kene tengkulak. Kata “tengkulak” merupakan kesalahan ketik ulang editor. Kreator pantun sebenarnya menulis “tekalak”; sejenis perangkap ikan mirip bubu yang terpasang duri-duri tajam pada lubang masuk perangkap sehingga ikan tidak akan nekat meloloskan diri. Tapi karena Editor LKA hanya tahu “tengkulak”, maka dengan seenaknya ia merubahnya menjadi “tengkulak”. Makna karya justru rusak di tangan Editor ‘tengkulak’ LKA!

Dari buku-buku hasil ‘proyek’ LKA tersebut pun tampak sekali bahwa LKA melakukan ‘one man show, dari proposal, penggarapan hingga dapur percetakan. LKA tidak memiliki tim kerja sebagaimana patutnya sebuah yayasan yang bergerak di bidang sastra (penerbit buku). Sangat miris, seorang LKA sengaja menggadaikan reputasinya dengan hal-hal yang sangat rendah mutunya!


C. Honor Para Penulis

Hingga tulisan ini disempurnakan (April 2006), pasca Bunga Rampai Bangka Barat sama sekali honor para kreator tidak ada. Tidak jelas pula aturan mainnya. Sungguh mustahil pada setiap proposal proyek sama sekali tidak menyebutkan honor untuk para kreator yang kreasinya termuat dalam buku-buku proyek LKA. Sedangkan panitia penerbitan Pelangi Budaya Bangka Tengah memberi honor sebesar Rp.200.000,- per kreator. Sementara Antologi Bangka Belitung dalam Pantun dan Puisi, meski LKA tercantum sebagai editor sekaligus sebenarnya domineer dalam penerbitan buku tersebut, honor diberikan ke masing-masing kreator sebesar Rp. 60.000,- dan itu pun atas inisiatif Saad Toyib yang telah mengamati proyek-proyek LKA.

Coba berhitung. Bunga Rampai Bangka Barat terdiri dari 17 kreator, kecuali LKA sendiri. Andai dalam proposal tertera honor sebesar Rp. 200.000,- per kreator, jumlah honor keseluruhan sebesar Rp. 3.400.000,-. Belum lagi biaya percetakan buku, yang bisa berbeda antara banyaknya buku yang akan dicetak dengan kenyataan banyaknya buku yang telah dicetak. Juga besarnya biaya cetak per buku, termasuk biaya operasional, misal pengetikan, pembuatan sampul, tata letak, dan lain-lain. Juga, buku Kelekak.

Dari dua contoh buku tersebut, dalam tahun 2005 bisa diperkirakan berapa rupiah LKA mendulang uang tanpa ada siapa bahkan organisasi apa pun yang melakukan auditing atau membuat opini beserta analisa kritis untuk proyek-proyek penerbitan LKA.

Ironi lainnya adalah acara temu sastrawan-pelajar di sekolah-sekolah. Jika LKA menjabat sebagai koordinator sastrawan, masing-masing sastrawan yang mengikuti acara tersebut akan dibayar Rp.50.000,-. Bukan tidak mungkin dalam proposal-proposalnya LKA akan mencantumkan banyak sastrawan dan masing-masing dengan honor yang lebih Rp.50.000,- itu. Dalam tahun 2005, lebih dari 4 sekolah LKA dan rombongannya kunjungi di pulau Bangka

Bandingkan dengan acara temu sastrawan-pelajar di Kobatin, Bangka Tengah, yang mana dikoordinatori oleh DN Kelana, dan masing-masing sastrawan yang hadir mendapat honor Rp. 100.000,- . Menurut DN Kelana, besarnya honor tersebut sesuai dengan angka yang tertulis dalam proposal kegiatan. Yang menjadi pertimbangannya, ada sastrawan yang bertempat tinggal lebih dari 100 km dari Koba, dan ongkos transportasinya bisa mencapai Rp.50.000,- PP.

D. Kritik Sastra di Babel
Kehadiran media massa lokal di Babel, misalnya harian Bangka Pos, Babel Pos, Rakyat Pos, tabloid Babel Ekspres, dan lain-lain sejak Mei 1999 ternyata tidak juga dibarengi oleh kehadiran sebuah kritik sastra, paling tidak kritik minimalis. Sastrawan lokal, misalnya Ian Sancin, Roestam Robain, Rustian Al Ansori, Surtam A. Amin, Amiruddin Dja’far, Fahrurrozi, Sobirin Hatip, Heru Herlambang, Mustafa Kamal, Mamaq Dudah, Kario Bin Nawi, Saad Toyib, Sulaiman Jusuf, Saderi, DN Kelana, Dedi Priadi, Buding Blilik, Irmansyah, Endang Bidayani, dan lain-lain selama satu tahun hingga awal tahun 2006 ini sama sekali tidak menanggapi realitas memilukan tersebut melalui tulisan kritis (semacam kritik sastra) di media massa lokal. 

Di antara mereka hanya bisa melakukan ‘pergunjingan angin’ sewaktu berkumpul sekadar minum kopi dan penganan goreng. Bahkan seorang Willy Siswanto, yang dianggap oleh sebagian publik Babel sebagai ‘sastrawan senior’ dan ‘mampu menulis esai berbobot’, juga tidak berkutik, terlebih ketika Willy pun bergabung dengan proyek buku LKA, yaitu dalam proses percetakan buku Pucuk Pauh (Pantun Melayu Bangka), Desember 2005.

Para pembaca ideal (berpendidikan sastra Indonesia), misalnya Ira Esmiralda Kurnia, Tien Rostini, dan Sobri, masih saja asyik dengan dunia mereka sendiri. Ira dengan keluarga dan taman bunganya. Tien Rostini dengan keluarga dan sekolahnya. Sobri dengan sekolah dan kegiatan individualnya. Sarjana-sarjana sastra lainnya juga tengah sibuk dengan entah apa lagi.

Kondisi krisis kritik sastra ini dipengaruhi pula oleh budaya ‘dak kawah nyusah’ alias budaya pragmatis yang telah menyatu utuh dalam nadi dan hati para peminat, pengamat maupun penggiat sastra di Babel. Ketiadaan (bukan langka, punah/mati!) kritik sastra yang berwibawa itu andil langsung dalam kelanggengan aktivitas ‘proyek-proyek penambangan’ LKA dan YNJ.


E. Dewan Kesenian dan Komunitas Sastra Daerah

Kalau di luar Babel eksistensi departemen sastra dalam struktur organisasi dewan kesenian daerahnya memang memiliki ‘wibawa’, tidaklah demikian dengan realitas yang terjadi di Babel. Provinsi Kepulauan Babel resmi terbentuk 21 Desember 2000, tapi sampai 2005 tidak ada Dewan Kesenian Provinsi karena ketidakpedulian pemeritah provinsi terhadap kesenian (kebudayaan) daerah, kecuali jika dibutuhkan untuk acara seremonial, misalnya penyambutan tamu atau hajatan pejabat. Sementara dewan kesenian kota/kabupaten, yang notabene mitra pemerintah daerah, ternyata sebatas ‘status fiktif’ pada ‘kop surat’. Kualitas SDM anggota departemen (komite) sastra berada jauh di bawah standar minimal. Orang-orang depatemen sastra tidak lebih dari ‘nama-nama mati’ seperti nisan-nisan di makam para pahlawan sastra Indonesia.

Melempemnya dewan kesenian daerah dibarengi oleh ketiadaan sanggar-sanggar sastra, workshop, pelatihan, apalagi diskusi-diskusi sastra bermutu. Tidak ada usaha pembinaan, baik dari pemerintah maupun sastrawan. Komunitas Pekerja Sastra Pulau Bangka (KPSPB) yang berdiri sejak tahun 1999 tapi 2002 tiba-tiba ‘mati suri’ gara-gara persoalan personal sekaligus memalukan yang tak jua terselesaikan. Anggota Yayasan Aktualita Karsa Pangkalpinang (salah satu penerbit buku sastra di Babel yang diketuai oleh Ki Agus Hazirianjaya), Willy Siswanto juga “one man show” mengatasnamakan yayasan untuk menerbitkan buku sastranya sendiri sekaligus membuat ulasan-ulasan ‘provokatif’ seperti kata pengantar maupun ‘promosi’ di sampul belakang bukunya seolah dari ulasan singkat penerbit, menambah daftar panjang keprihatinan dunia sastra Babel.

Selain itu, sastrawan-sastrawan muda terus ‘bergerilya’ secara individual dengan penuh kesadaran diri untuk meningkatkan kualitasnya, dan thank’s God, beberapa di antaranya berhasil memperkenalkan karya-karyanya di media massa lokal seberang sampai nasional. Putera-puteri Babel, khususnya yang merantau dan tidak dibesarkan dalam geliat sastra lokal semisal Novelis Andrea, juga kemudian (thank’s God !) berhasil menuai apresiasi yang positif. Sekali lagi, mereka tetap melakukan kegiatan bersastra secara individual, dan God bless them.

Tetapi kondisi birokrasi, institusi sastra dan para sastrawan lokal yang melempem serta gerilya karya sebagian sastrawan muda ke luar Babel, mau-tidak mau telah menyulap dewan kesenian daerah menjadi “tukang stempel” bahkan foto pejabat ukuran 3 R yang dimanfaatkan sebaik-liciknya oleh kakek berusia 68 tahun ini bersama YNJ untuk kelanggengan ‘proyek-proyek profit’-nya.


F. Kesempatan Emas

Selama masa pemantauannya terhadap kehidupan sastra tradisional dan kontemporer di Babel sejak tahun 2003 lampau, ternyata situasi serba memprihatinkan tersebut merupakan kesempatan emas bagi LKA beserta YNJ yang telah lebih dua puluh tahun bergaul intim dengan sastra untuk melakukan kegiatan-kegiatan ‘malapraktek’. Lahan-lahan sastra yang ‘dilalaikan’ oleh institusi sastra dan sastrawan lokal itu merupakan ‘lahan subur’ bagi LKA untuk ‘mengeruk materi’, baik dari pemerintah daerah maupun BUMN lokal. Lebih celaka lagi, LKA bersama YNJ sering mengajak dewan kesenian daerah Babel untuk menjadi ‘pembawa stempel’ bahkan ‘alat/stempel’ guna melegitimasi ‘proyek-proyek’ penerbitan buku sastra milik LKA!

Hegemoni plakat ‘pensiunan Balai Pustaka’ yang disandang LKA sekaligus pesona prestasinya juga berhasil telak menghipnotis sebagian besar logika birokrasi kebudayaan di Babel. Pejabat-pejabat penting di pemerintahan daerah hanya bisa manggut-manggut dan mandah ketika LKA melakukan ‘manuver-manuver’ sastranya dengan segepok proposal akal-akalan atau sekadar ‘olah lidah’, kendati ‘angka-angka yang telah ‘dipatgulipat’ itu pun tetap tanpa mengindahkan hak-hak intelektual para kreator, baik tidak membayar honor para kreator maupun soal besar-kecilnya honor sastrawan pada setiap acara baca sastra di sekolah-sekolah. Lucunya, LKA menyeruak paling depan jika sudah berurusan dengan kucuran dana dan pembayaran honor.

Dari seluruh hasil kerja Editor LKA bersama YNJ sampai tahun 2005 lalu, termasuk pemuatan foto-foto pejabat setempat, lembar-lembar iklan produk konglomerasi lokal serta penataan yang acak-acakan, tampak sekali bahwa kepedulian LKA terhadap pembinaan, peningkatan kualitas kehidupan dan dokumentasi sastra di Babel bukanlah berakar dari itikad luhur dan batin yang tulus. Tetapi semata-mata ‘proyek-proyek profit’ alias ‘proyek penambangan uang’ milik LKA yang menggunakan sakan sastra sebagai alat pengeruk dan penguras sebagian dana pembangunan untuk rakyat (masyarakat budaya) Babel. Ironisnya, sebagian sastrawan-budayawan Babel tampak sangat senang bergabung dengan LKA dalam ‘proyek-proyek’ LKA, meski ‘di belakang’ LKA mereka mempergunjingkan kecewa mereka. Sungguh menyedihkan realitas dunia sastra Babel mutakhir yang habis-habisan ‘diperdaya’ semena-mena oleh ‘intervensi eksploitatif pihak asing’ ini! 

*******
Kobatin Bangka Tengah, Januari 2006



KOMENTAR BERSERAKAN :
Tanggapan LK Ara atas 2 esaiku (LK Ara dan Proyek-proyek Penerbitan Buku Sastra di Bangka Belitung, dan Catatan Kepada Penyair) di internet
10.05.2006 09:14
Sy sdh baca 2 esei anda di internet. Ya kerja kita kan menulis menulis terus. Selamat menulis. LK Ara.
10.05.2006 22:05
Tksh atas koreksian anda semoga anda lebih ikhlas dan jujur
11.05.2006 07.50
Untuk melestarikan tradisi lisan Babel tlg teruskan usaha penerbitan buku yg kata anda proyek penambangan uang
KUJAWAB TGL 13
Harap bayar honor penulis
Dia jawab dgn … untuk melestarikan…, dan jawaban itu berulang lagi sampai aku jawab dengan SMS, “Harap bayar honor kreator, krn mereka bukan tambang uang. Mereka manusia. Jangan sampai kita jadi drakula.”

Lalu kukirim SMS ke teman-teman bahwa LK melakukan proyek buku2 sastra Bangka tanpa mementingkan mutu dan tidak membayar honor kreator.

TANGGAPAN KAWAN-KAWAN:
13.05.2006
Linda Cristanti (13:59)
Harusnya orang setua dia tidak pantas brbuat curang, apalg pada sesama penulis.

Medy Loekito (14:00)
Lho kok bisa gitu? tapi aku gak kenal sih, jadi gak ngerti dia.

Saut Situmorang (14:30)
LK Ara memang asu!

Gus tf Sakai (13:39)
Aduh…

Hasan Aspahani (13:30)
Ha ha ha, kabarnya dia memang petualang proyek

Listya Anggraeni (23:10)
Gus, aku barusan baca tulisan ttg LKara. Prihatin... (23:23) : Tulisanmu membedah dia tajam sekali. Bila memang sedemikian mesti diingatkan. Buku tidak hanya cari duit. Marwah buku sastra jadi gimana kalau ada puisi tentang nanas itu.

Rustian Al Ansori (03.06.2006, 12:01)
Ku juga punya crita dari tmanku dari Aceh ttng Lk Ara, seniman proposal. Klak la kite ngobrol di tuko buku ka

Saad Toyib, Seniman dan Sang Teman Tapi Mesra

Cerpen Ketika Harus Memilih (KHM) karya Saad Toyib (22/1/2006) menampilkan cerita perjuangan seorang laki-laki dalam memilih satu di antara dua kenyataan hidup: kepala (suami/bapak) rumah tangga ataukah kepala (seniman) rumah seni (sanggar) alias karier dalam bidang kesenian. Tidak jelas apa profesi formal laki-laki itu, tetapi ada sebuah ‘tema’ yang menggelitik syaraf iseng saya.

Percintaan antara sang beliau dengan si belia, sang ketua dengan anak buah, sang kepala dengan si bawahan, sang pelukis atau fotografer dengan si model, sang sah dengan si lain, dan sejenis itu atau istilah trendnya TTM alias Teman Tapi Mesra, memang bukan hal yang sekadar goyang lidah di seputar mulut, percik ludah di pinggir bibir, gemuruh gosip di liang telinga, huruf mati di bola mata, atau gambar hidup di layar otak. Saya pun teringat pada judul cerpen karya Agus Noor, Selingkuh Itu Indah.


A. Kelebihan dan Kekurangan

Barangkali ada sebagian dari pembaca yang berprasangka, “Pasti ngritik lagi. Pasti njelek-njelekin lagi. Kayak nggak ada kerjaan selain njelek-njelekin karya orang!” Yang satunya bilang, “Mau jadi pengganti H.B. Jassin, ‘kali.” Yang lainnya berkomentar. “Ah, dasar pemimpi siang bolong mirip singa ompong makan ikan asin!”

Tidak apa-apa. Bebas. Paling tidak, saya berpegang pada resepsi sastra, yang salah satunya berisi: pembaca sastra terdiri atas dua kategori, yaitu 1) pembaca biasa, yang membaca karya sastra sebagai ‘hiburan’, bukan sebagai bahan penelitian, dan 2) pembaca ideal, yang membaca untuk penelitian/pembahasan. Juga ada pembaca eksplisit, yakni pembaca yang dituju oleh sebuah karya sastra, baik yang disebutkan secara langsung maupun tidak dalam teks sastra, yang dalam cerpen KHM, mungkin, rekan-rekan di Beltim.

Saya termasuk kategori pertama, pembaca biasa. Tidak usah repot-repot menuduh saya sebagai pembaca ideal sebab pembaca ideal itu biasanya sarjana sastra atau pakar sastra. Saya bukan sarjana sastra atau ahli sastra gitu lho. Maka saya pun berpendapat. Begini. Alur cerpen KHM sudah cukup baik bila dibanding cerpen-cerpen saya yang berkali-kali gagal. Konflik meyakinkan, yakni konflik sosio-psikologis : pilihan hidup seorang seniman Sobri, antara kepentingan rumah tangga yang sangat diharapkan oleh istri serta tiga anaknya, ataukah kepentingan karier (sebagai seniman) yang sangat diharapkan oleh pejabat setempat, sesama seniman, anak-anak asuh di sebuah sanggar seni, hingga kualitas kreasi seninya (lagu-lagu daerah) di masyarakat luar daerah. Realita dan idealisme; apakah keduanya menjadi rival, ataukah mitra mutualis.

Menjadi seniman daerah yang jauh dari hiruk-pikuk kota besar, tentu saja suatu pilihan hidup yang ‘tidak main-main’. Persoalan apresiasi masyarakat dan penguasa lokal berhadapan pula dengan persoalan pasar, jaminan materi, kebutuhan keluarga, kebutuhan diri sendiri (untuk mengembangkan diri), apalagi tidak ada pesangon atau gaji pensiun bila seniman sudah tua karena seniman bukan suatu profesi formal seperti pegawai negeri atau karyawan suatu perusahaan swasta. Seniman bukan saudagar, meskipun seorang saudagar dapat menggunakan ‘seni berdagang’. Terkecuali seniman yang datang dari suatu ‘kota paham seni’, memiliki ‘nama besar’, lalu memanfaatkan nama dan/atau rekan-rekan di daerah terpencil sebagai bagian dari ‘bargaining position’ dalam proposal ‘akal-akalan’ kepada instansi pemerintah daerah, instansi BUMN, perusahaan besar swasta, dan lain-lain yang bertujuan hanya untuk meraup keuntungan materi bagi diri sendiri. Itu seniman dari singkatan ‘senang nipu teman’. Itu jelas bukan Sobri, tokoh utama cerpen KHM.

Berikutnya, konsekuensi atas sebuah pilihan yang dilakukan Sobri dengan serius, tekun, tabah, dan mutu, yaitu karier menanjak, pujian membukit, simpati seorang gadis belia (seusia anak gadisnya) melangit, getar-getar asmara (puber kedua?) mengangkasa, dan bayang-bayang keretakan rumah tangga membumi. Konflik tidak ‘dieksploitasi’ secara hiperbolis, misalnya kepergok, cekcok, ataupun adegan bacok. Selain itu, ada sebuah frasa yang asyik, bulan tanpa bintang. Bukan lagi malam tanpa bintang. Aih!

Akhir cerpen yang terbuka, memperlihatkan bahwa penulis sengaja membiarkan saya membayangkan sendiri bagaimana kira-kira penutupnya : rumah tangganya begini atau hubungan Sobri–gadis itu begitu. Artinya, penulis meletakkan pembaca (= saya) sebagai orang yang telah dewasa, yang bisa mencari solusi alternatif ataupun sama sekali tidak mencari solusi apa-apa kecuali menghibur diri sewaktu membaca cerpen KHM.


B. Fiksi atau Fakta?

Apakah cerpen KHM merupakan realita? Sebuah sajian fiksi sangat mungkin berangkat dari suatu bahan fakta (realita) yang telah dimasak serta dibumbui ini-itu. Seno Gumira pernah berkredo, “Ketika jusrnalisme dibungkam, sastra berbicara.” Ketika fakta dipasung, fiksi naik panggung. Sebab, berita bisa berisi dusta (rekayasa), fiksi bisa merupakan fakta. Lalu dilanjutkan oleh Radhar Panca Dahana, “Dusta dan kebenaran ada dalam sastra.” Sepakat atau tidaknya saya terhadap kredo mereka, realita dalam fiksi bisa bercampur dusta dalam fakta, atau campur-baur tetek-bengek lain-lainnya. Begitulah kira-kira realita sastra, baik puisi maupun prosa (fiksi).

Nah, apakah cerpen KHM sebenarnya sebuah realita? Saya tidak tahu. Saya bukan Saad, bukan Sobri, bahkan bukan siapa-siapa selain seorang pembaca biasa belaka. Saya hanya menikmati cerpen tersebut sebagaimana pembaca awam tanpa susah-payah mencurigai isinya mengandung ‘formalin’ atau tidak. Gitu aja kok repot, kata Gus Dur.

Ya, gitu aja kok repot. Saya kembalikan kepada realita fiksi (cerpen) yang diciptakan oleh Saad Toyib – seorang kepala rumah tangga yang lahir di Delas (bukan Dallas Amerika sana, atau Dallas, nama sebuah toko sepatu di Jogja), 13 Mei 1949, pensiunan guru SD dan kepala Perpustakaan Umum Kota Pangkalpinang – tersebut.


C. Moral

Welah, ujug-ujug kok ngomong soal moral atau moralitas to? Saya bukan pakar moral apalagi ahli agama. Saya bukan siapa-siapa selain (sekali lagi) seorang pembaca biasa. Namun menurut seutas wawasan saya, justru tidak sedikit orang yang memahami moral sampai sumsum tulang ekor ternyata suka lirak-lirik lawan jenis selain pasangan sahnya. Atau lebih aman dengan menikah ‘diam-diam’ tapi kemudian ramai-ramai dipergunjingkan sampai pada berita perceraiannya. Memang lucu ketika harus memilih antara selingkuh (TTM), menikah lagi secara ‘sembunyi-sembunyi’, atau ‘sok bermoral’.

Mungkin sebagian pembaca akan bertanya, “Kamu mendukung perselingkuhan?” Waduh, saya belum pernah menikah sehingga persoalan selingkuh jelas jauh di luar jangkauan pengertian saya. Atau masih penasaran, “Bagaimana kalau orangtuamu berselingkuh?” Orangtua saya sudah tua (umur 60 tahun lebih) sehingga saya tidak perlu menanggapi. “Bagaimana kalau ipar-iparmu berselingkuh?” Oh! Mereka sudah dewasa dan tidak buta huruf-buta berita, pasti mereka lebih mampu menghayati kenyataan hidup. Tidak baik mencampuri urusan rumah tangga orang lain karena urusan saya saja sudah bikin kelabakan bahkan kepala botak. Saya tidak usah susah-susah berpura-pura jadi pahlawan kesiangan atau duplikat malaikat. Lalu apa lagi? Carikan obat penyubur rambut yang manjur.

Persoalan selingkuh, entah indah ataupun sengsara, tanyakan saja pada orang-orang yang pernah (gemar) berselingkuh atau menikah ‘diam-diam’ (tidak tercium oleh suami/istri sahnya bahkan publik). Yang penting, cerpen KHM sudah sesuai kodrat : cerita pendek, bukan ceramah pendek, cercaan pendek, atau ceracau pendek.

Penulisnya, Saad, meskipun telah berusia 57 tahun dan seorang mantan guru, tampaknya tidak mengalami semacam ‘post power syndrome’- neofeodalism dalam wujud dialog tokoh (penyambung ‘moncong’ sastrawan ‘sok moralis’) yang sarat nasehat, khotbah, ceramah, wejangan, petuah, ‘menggurui’, dan sejenisnya mengenai hubungan Sobri dengan ‘perempuan lain’. Cerita dibiarkan berjalan begitu saja. Contoh ‘seni untuk seni’. Cerpen untuk cerpen. Tidak tercampur orasi moral, apalagi pura-pura jadi malaikat pembawa Sabda Sang Mahamoral. Nilai-nilai edukatif tidak dipaparkan secara ‘sok guru’. Pembaca ‘didewasakan’ untuk mencari ataupun tidak mencari nilai-nilai edukasi yang tersirat. Minimal, edukasi bahwa cerpen adalah cerita pendek, bukan ceramah pendek.


D. Harapan

Secara pribadi saya mengakui, Saad, yang mulai menulis cerpen sejak tahun 2003 dan cerpen KHM adalah cerpen ke-10, memiliki potensi positif untuk menciptakan cerpen-cerpen yang lebih bagus lagi. Gaya bahasa yang terkesan tempo doeloe, bukanlah persoalan yang patut dirisaukan. Apalagi jika mengingat usia penulis, bahan-bahan bacaan, dan perjalanan proses kepenulisan fiksi Saad, tentunya saya bisa maklumi. Hanya persoalan teknis, dan sangat bisa dibenahi. Barangkali justru itulah ‘kekhasan’ cerpen-cerpen Saad.

Tapi sayangnya baru saat-saat sekarang Saad bisa unjuk karya (fiksi), meramaikan dunia sastra Babel. Bisa jadi lantaran ketika harus memilih, sehingga setelah pensiun formal Saad memiliki banyak waktu untuk tekun berkarya, total bersastra, baik lisan maupun tulisan. Apabila semangat belajar dan berlatih tetap terjaga, termasuk pengayaan tema maupun pengolahan teknis tadi, insyaAllah Saad bisa menyusul cerpenis-cerpenis muda Babel yang kreatif-inovatif-eksperimentatif. Paling saya salut, sejak setahun ini saya bergaul dengan para sastrawan Babel, cuma Atok Saad Toyib yang kawa nyusah menulis cerpen!

******
Sri Pemandang Pucuk Sungailiat, Maret 2006

Duka Seni Bangka Belitung

Budayawan Bangka Belitung Suhaimi Sulaiman (SS) mengabarkan berita duka “Kesenian Babel Telah Mati” di rubrik Hotline lembar Opini harian Bangka Pos, 1/3/2006. Tidak ada yang mengurusi kesenian (kebudayaan) dan nolnya kucuran dana untuk pengembangan dan pembinaan kesenian dari APBD (kecuali untuk KONI) di provinsi ini otomatis hidup berkesenian di Bumi Serumpun Sebalai telah almarhum alias mati, begitu sebagian isi beritanya.

Dalam tulisan lima paragrafnya SS menyinggung pula tentang ‘proyek-proyek eksploitatif’ atas nama kesenian yang ternyata cuma menguntungkan kantong ‘siluman’ (tokoh teka-teki), Instruksi Mendagri tahun 1999 tentang dewan kesenian provinsi, ironi suatu pembentukan dewan kesenian kabupaten, dan penggiat seni ‘terpaksa’ menjelma ‘pengemis’ (minta-minta di kantor pemerintah provinsi, kotamadya, dan kabupaten) untuk menghidupkan dunia kesenian di Babel.

Tulisan tersebut tampaknya berkorelasi dengan tulisan Kepenyairan Sumatera karya Gus tf Sakai alias Gustrafizal Busra (GS) yang dimuat di harian Media Indonesia, edisi Minggu, 3/8/2003. Setelah menyebut nama Penyair-Novelis Bangka Hamidah, GS mengatakan, “Dari Bengkulu, Bangka-Belitung, dan Sumatera Selatan, dengan sangat sedih harus saya katakan sesporadis apa pun tak lagi ada puisi yang saya temukan”. Sebelumnya, awal paragraf ketiga Gus menulis, “…seperti biasa setiap 5-10 tahunan dari kawasan yang memiliki tradisi sastra, kini muncul di media massa puisi-puisi dari gelombang baru penyair Sumatera.”

Terlepas dari keabstrakan parameter dan asumsi-asumi imajinatif GS terhadap perkembangan dunia kepenyairan Babel mutakhir, tulisan GS pada frasa ‘tidak ada lagi puisi’ yang berkonotasi ‘kematian seni sastra’, berkorelasi imajiner dengan frasa ‘kematian kesenian’ dalam berita duka SS. Sebab GS yang juga terkenal dengan cerpen-cerpen kualitas tinggi, wajar-wajar saja ia berasumsi tentang ‘ketiadaan’ puisi yang bisa saja berorientasi pada ‘ketiadaan seni sastra’ atau ‘kematian seni’ di Babel seperti berita duka dari SS.


A. Suhaimi Sulaiman

Siapakah SS sehingga dia berani memberi vonis mati bagi kehidupan berkesenian di Babel? Pria kelahiran Toboali, Bangka Selatan, 15 Februari 1939 itu adalah anggota Pemangku Adat Pangkalpinang, anggota Forum Bersama Kota Pangkalpinang, anggota Tim Penulis Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Babel, dan mantan Ketua Dewan Kesenian Kota Pangkalpinang (2000). Tulisan-tulisannya sering dimuat di koran-koran lokal (di harian nasional?), dan karya-karya sastranya tergabung dalam beberapa buku antologi bersama di Babel.

Sejak tahun 1999, tepatnya sejak kelahiran media massa (harian) lokal, SS aktif menyoroti sekaligus terlibat dalam perkembangan kesenian di Babel. Juga ketika tahun 2003 Y, penyair nasional asal luar Babel, datang dan berkecimpung dalam kegiatan sastra, khususnya baca sastra di sekolah-sekolah dan ‘proyek-proyek’ penerbitan buku antologi bersama di Babel, SS pun berpartisipasi aktif, baik sebagai editor (sering hanya status!) maupun kontributor karya. Maka berita “kematian kesenian Babel” itu, boleh jadi, merupakan sebuah ‘lampu kuning’ yang patut direnungkan dan, jika memungkinkan, disikapi oleh para penggiat seni di Babel.


B. Seni Sastra di Babel

Apakah kehidupan berkesenian di Babel benar-benar mati? Sebenarnya berita duka tersebut terlalu dini ditulis oleh SS dan kemudian dipublikasikan oleh media lokal. Sebab, kata ‘kesenian’ seolah menyamaratakan semua bidang. Kenyataannya tidaklah sedemikian memilukan bagi kehidupan seni sastra secara individual. 

Munculnya nama dan karya beberapa sastrawan muda Babel, misalnya Cerpenis Sunlie Thomas Alexander (STA), Penyair Ira Esmiralda (IE), Cerpenis Sobri, Cerpenis Tien Rustini, Novelis Andrea  Hirata serta beberapa cerpenis berusia belasan tahun dari kabupaten Bangka di media massa atau dunia literatural sastra nasional sejak lima tahun terakhir bisa merupakan suatu indikasi bahwa seni sastra di Babel masih hidup.

Detak jantung sastra masih berdegup itu dimungkinkan oleh ‘alam sadar’ sebagian sastrawan Babel untuk tetap berkarya secara individual, kendati perhatian pemda masih saja bertendensi ‘demi kepentingan non-sastra’ apalagi menjelang Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) 2007. Ada  simbiosa mutualis penuh pura-pura, dan kesenian ibarat layang-layang. 

Hal itu disadari sekali oleh sebagian sastrawan BabelAbdul Wachid B.S. (1998) menulis, “Pada mula dan akhirnya sastra bicara dengan kesendiriannya, ia merdeka dari beban politik yang memaksa.” Oleh karena itu individualitas berkreasi adalah niscaya. Apakah berdosa jika sastrawan tersebut tetap tekun dan bekerja keras mengasah kualitasnya tanpa ‘mengharap’ perhatian pemerintah?

Tak jarang, itikad pemerintah dalam pengayoman ‘hajat hidup’ berkesenian dicurigai sebagai sebuah ‘lips service berbau politik’. Tetapi kecurigaan semacam itu tidak patut disamaratakan ke seluruh birokrasi pemda. Sebab, ketika keberangkatan STA dan IE ke Kongres Cerpen Indonesia IV di Pekanbaru 2005 ‘disantuni’ sepenuhnya oleh pemkab Bangka, berarti masih ada pemkab yang peduli atas kehidupan kesenian di Babel. Layak disyukuri!

Sayangnya, kemandirian sebagian sastrawan Babel rupa-rupanya direcoki oleh kegemaran Sastrawan Babel X membuat proposal-proposal ‘gombal’ ataupun lobbying-lobbying (akrobatik dialektika) yang ujung-ujungnya hanya ‘menadah’ perhatian, terutama dana, dari pemerintah kota/provinsi, meski tak jarang ia gagal mendapatkannya. Dibanding rekan-rekannya, sejak tahun 1999 bersama komunitas sastranya ia selalu tampak paling bernafsu dalam berburu remah-remah APBD bidang kesenian (kebudayaan), baik sewaktu berbincang dengan sesama sastrawan-seniman maupun ketika ia melenggang sendiri ke kantor birokrasi pemerintah.

Agresivitas gerilya X ke ‘lumbung-lumbung dana’ birokrasi dengan proposal-proposal provokatif serta aksi lobbying individualnya bukanlah kegiatan diam-diam laksana geliat seekor ‘babi ngepet’. SS dan rekan-rekan seniman (sastrawan) di Babel mengetahui bagaimana kiprah “one man show” dan ngototnya X - Sang Seniman APBD, yang sebenarnya cukup ‘meresahkan’ sebagian rekan sastrawan sebab dalam lingkup nasional karya sastra X masih sangat ‘sunyi-senyap’.

Di samping itu, X turut ‘mematikan’ kehidupan berseni sastra yang egaliter dan intelektual. Dua buku kumpulan sastra tunggalnya yang terbit menjelang akhir tahun 2005 tidak lebih dari ‘proyek mercusuar’ seorang X seperti yang diungkapkannya sendiri sebelum peluncuran bukunya dengan ‘menumpang promosi’ dari tulisannya di media Bangka Pos (2/10/2005), “Kumpulan cerpen yang akan diluncurkan nanti merupakan kumpulan cerpen pertama di Babel (bukan antologi bersama beberapa pengarang), adalah wujud ekspresi yang menandai eksistensi idealisme saya bagi dunia sastra Babel. Dua buku tersebut adalah bentuk kontribusi sederhana yang semoga menjadi acuan terjadinya dialog pragmatis dan kritisi analitis, akademis maupun praksis yang nantinya akan menggugat dan menuntut progresivitas sastra daerah dan pembelajarannya. Baik di lembaga pendidikan formal maupun di kelompok-kelompok studi lainnya.”

Sebuah pepesan kosong belaka. Ternyata ia sama sekali tidak mengindahkan suatu resepsi dan kritik sastra, yaitu dengan cara memberi ulasan sendiri secara provokatif terhadap karya-karyanya pada sampul dua antologinya, kemudian di media lokal X langsung menanggapi setiap kritik sastra atas karya-karyanya, dan keengganannya memberi peluang diskusi yang lazim dalam sebuah acara bedah buku.

Tindakan X ini jauh dari kategori edukasi, cenderung ‘mencederai’. Abdul Wachid (1999) mengutarakan, peran kritik sastra sangat penting sebab kritik sastralah yang memainkan perkembangan : di satu segi melahirkan teori sastra, di segi lain memainkan peran apresiasi atau kritik, bahkan penghakiman baik-buruk karya sastra itu sehingga cukup menjadikan dirinya memiliki posisi tawar-menawar terhadap masyarakat-bacanya. Sastrawan X menafikkannya!

Tambah sakit ketika muncul kasus puisi A dalam kumpulan sajak karya X. Puisi A semula atas nama Q (adik X), memenangkan sebuah lomba cipta puisi tingkat nasional di Jakarta tahun 2001, dan kemudian dimuat di harian Bangka Pos tahun 2001. Tetapi tahun 2005, puisi tersebut tergabung lagi dalam kumjak X, atau seolah X hendak menegaskan bahwa puisi itu buah karya X. apa pun apologi X, realitas itu merupakan bukti ketidakjujuran X dan Q, adiknya. Ketidakjujuran yang jelas sangat kontra intelektual ini tentu saja menambah daftar ‘penyakit-penyakit mematikan’ dalam kehidupan seni sastra di Babel kurun lima tahun terakhir.

Kematian seni sastra Babel sebenarnya cuma terjadi pada kehidupan sastra kolektif-komunal. Acara baca puisi ke sekolah-sekolah, lomba baca puisi, dan bedah buku antologi bersama, tidak lebih dari seremonial sastra untuk suatu kepentingan non-sastra alias demi ‘stabilitas profit’ segelintir pelaku seni sastra. Sementara pembinaan atau pelatihan penciptaan sastra semacam bengkel sastra, sanggar sastra, diskusi sastra, atau saresehan sastra memang tidak pernah dilakukan. Tapi sekalipun pernah ada seorang pekerja sastra mengajukan proposal untuk kegiatan pembinaan (workshop/bengkel sastra), lagi-lagi tidak lebih dari sebuah ‘proyek gombal’.

Iklim pendidikan sastra non-formal itu masih belum dilirik serius dan bermutu oleh para pelaku sastra di Babel, bukan melulu ‘didakwakan’ sebagai akibat ‘ketidakpedulian’ pemprov, pemda maupun dewan kesenian. Sayangnya, SS sebagai ‘tokoh senior’, pengayom sastrawan, dan panutan bagi para sastrawan Babel serta generasi muda peminat sastra, belum banyak berperan aktif-edukatif-persuasif dalam pembinaan. Barangkali ada faktor-faktor lain yang andil sekaligus mengganggu aktivitas SS, termasuk salah satunya adalah faktor usia.

SS juga ‘melupakan’ kepedulian pemda dan pemkot dalam bentuk kucuran dana puluhan juta rupiah atas ‘proyek’ penerbitan buku yang dimotori oleh Y (siluman itukah?) dan Yayasan Z dari luar Babel, meski sebatas ‘proyek’ sejak tahun 2003. Posisi Y sebagai editor ternyata tidak mumpuni dalam proyek-poyek itu. Karya-karya yang dimuat tidak melalui ‘saring seleksi’ yang kualified, ketik ulang merusak aksara dan mutu karya, dan hak atas kekayaan intelektual para pesastra tidak berlaku semestinya. 

Kemudian Y memotori acara baca sastra di sekolah-sekolah, tapi selalu saja ia cepat menemui bagian keuangan. Laba (profit) proyek lebih banyak serta deras mengalir ke kantung Y. Nama Dewan Kesenian tidak lebih sepucuk ‘katebelece’ untuk ‘melegitimasi’ sepak-terjang Y dalam dunia sastra Babel tiga tahun terakhir, khususnya proyek-proyek penerbitan buku sastra di Babel, wisata seni gratis ke pelosok Babel, kontrak rumah gratis bahkan ‘donatur tunggal’ untuk perjalanan ‘seni’ ke luar Babel. SS di manakah?


C. Pelaku Seni Sastra Hidup Sendiri

Sebenarnya SS mengetahui carut-marut realitas dunia kesenian di Babel mutakhir. Akan tetapi SS tidak mampu berbuat banyak untuk tindakan preventif demi kehidupan kesenian itu sendiri, kecuali bergunjing ‘di belakang’. Keluhan dilahap angin. SS selaku orang penting bagi publik seni di Babel, seharusnya bekerja sama dengan rekan-rekan seniman untuk melakukan kegiatan tersebut dengan ‘surat sakti instruksi pemerintah pusat’. Naasnya, budaya pragmatis “dak kawa nyusah” (tidak mau susah/repot) masih lestari. Sedangkan sebagian seniman, khususnya sastrawan, bertahan dan bergerak sendiri demi sebuah idealisme yang telah menyatu dan mengalir lancar dalam nadi, tanpa perlu berharap banyak pada ‘donor dana’ dari pemerintah yang cenderung dibarengi ‘penitipan pesan’ tertentu.

Maka, justru suatu ironi tragis jika kemudian SS ‘menagih’ perhatian dan pengayoman pemerintah. Sebagai tokoh penting yang pernah ‘dekat’ dengan instansi pemerintah dan kalangan birokrat, seharusnya persoalan perhatian (dana) pemerintah bukanlah sesuatu yang paling menyedihkan. Belum lagi hubungan kesenian SS dengan lembaga seni non-formal dan masyarakat seni yang telah terjalin bertahun-tahun. Seharusnya, sewaktu ‘masa kontrak formal’ di dewan kesenian belum berakhir, SS sudah mempersiapkan kader-kader negosiatif, dan membudidayakan kreator, konseptor dan manajer seni yang tangguh dan mandiri.

Selain itu, SS tidak pernah menyosialisasikan instruksi pemerintah pusat, semisal Instruksi Mendagri mengenai perlunya dewan kesenian provinsi dan tetek-bengeknya di kalangan penggiat seni, baik kelompok maupun perorangan. Kalau memang merupakan kewajiban serta tanggung jawab pemprov, mengapa SS tidak berusaha menyebarluaskan informasi seputar instruksi tersebut? Apakah ada ‘rahasia tingkat tinggi’ yang tidak boleh diketahui publik seni? Jika demikian, mengapa kini SS tiba-tiba ‘putus asa’ lalu meneriakkan ‘berita duka’ itu setelah ‘masa kontrak kepentingan formal’ berakhir kala pemerintah masih saja sibuk dengan kepentingannya?

Kedekatan SS dan birokrasi atau pemerintah (melalui jasa dewan kesenian) malah menjadi semacam bumerang. Selama berkecimpung di dewan kesenian, SS telanjur terlena oleh ‘buaian bantuan’ pemerintah dalam kehidupan berkesenian, dan kemudian menyublim sebagai sebuah ‘ketergantungan’ yang ‘mencekik-mematikan’. Secara tidak langsung SS mengajarkan hidup ‘penuh ketergantungan’, yang justru tidak mendewasakan para seniman untuk mandiri dan bermutu dalam menghidupi dunia kesenian, khususnya sastra, di Babel. Sehingga, ketika SS pensiun atau juga berarti ‘kontrak relasi formal berakhir’, berakhir pula ‘kucuran’ perhatian (dana) dari pemerintah, dan berubah menjadi semacam ‘tali gantung’ di leher dunia kesenian. Seniman yang tercetak pun bisa jadi hanyalah “seniman APBD” (hidup-mati tergantung kucuran jatah APBD). Jelas ini berbahaya.

Lagi-lagi sepatutnya SS bersyukur bahwa di luar daya pantaunya terhadap geliat dan kegiatan berkesenian di Babel, masih ada pelaku seni, khususnya seni sastra, yang terus menjunjung tinggi hidup berkesenian yang sehat. Jauh-jauh hari pegiat seni sastra terus mengasah diri demi peningkatan kualitas kreasi mereka. Mereka tidak mau susah-payah mencurigai ‘permainan patgulipat’ oknum pemda dan oknum kesenian atas APBD bidang kesenian karena kecurigaan telah dipahami sebagai ‘penggerogot paling gelojoh’ bagi energi kreatif mereka.

Selanjutnya, dengan mengudaranya acara bersahut dan berdiskusi pantun saban minggu di sebuah stasiun radio swasta Pangkalpinang sejak akhir 2005, dan mengudaranya sebuah radio swasta milik perusahaan swasta bidang pariwisata dan kebudayaan, otomatis merupakan ‘udara segar’ bagi ‘paru-paru’ kesenian Babel. Artinya, jantung kesenian masih bahkan semakin berdetak, dan kehidupan kesenian, insyaAllah, bisa berangsur sehat-normal. Perkembangan ini bukan fatamorgana, ilusi, halusinasi, ‘impian semu’, ‘fantasi nonsens’, atau ‘obsesi nirgizi’.

Oleh karenanya, jika memang pemprov dan pemda masih saja belum memiliki kesadaran dan itikad baik untuk turut ‘memompa’ jantung kesenian di Babel, kecuali demi kepentingan seremonial politis atau sekadar ‘pelipur lara’ sebagian pelaku kesenian, toh tetap ada pihak-pihak dan pelaku seni lainnya yang sanggup menggerakkan jantung kesenian itu sendiri. Pelaku dan publik seni sastra tidak perlu memaksa pemerintah (birokrasi) untuk sudi peduli. Karena, kalaupun kemudian beliau-beliau ‘terpaksa’ peduli, bisa jadi itu pun ‘demi kepentingan politik’ lagi, atau justru menciptakan ‘hubungan disharmonis’ dan sarat sandiwara ‘kelas kecoak’! Dan, apakah itu tidak malah ‘mempermalukan’ para kangouw – pinjam istilah Saut Situmorang – sastra Babel, seolah sastra adalah ‘bukoan pengemis’? Seorang kangouw sejati tidak segan-segan memboikot ajakan atau undangan hajatan dari kerajaan. Tetapi, apakah pemboikotan merupakan ‘win win solution’ paling ampuh?

Maka, kini saatnya SS beserta rekan-rekan seniman (yang merasa bermutu dan mampu mandiri) tidak lagi bermanja-manja pada ‘pengayom bertopeng’; berhenti ‘menggantungkan’ nasib pada tiang kikir birokrasi; berhenti ‘menghambakan diri’ pada tuan-tuan ‘tuna sense of art’. Sebab, hidup-mati, sehat-sakit, normal-cacat, dan subur-mandul kesenian harus dikembalikan kepada kesadaran, niat luhur-murni, dan kerja keras para pelaku kesenian itu sendiri. Sebagian seniman di Yogyakarta, Bali, Jakarta dan lain-lain bisa hidup dan survival tidak tergantung pembagian jatah APBD; mereka tidak mengais-ngais apa-apa yang menjadi celah brangkas APBD. Para pelaku kesenian sendirilah yang paling bertanggung jawab pada kehidupan-kematian dunia kesenian, bukannya pejabat-birokrat ataupun ‘mucikari seni’ yang belum tentu sanggup apalagi tulus-ikhlas menghargai kesenian dan menjunjung nilai-nilai kebudayaan-peradaban.

*******
Kobatin Bangka Tengah, pertengahan Maret 2006