Rabu, 25 Maret 2009

Catatan Kepada Siapa

(Secuil Ulasan Cacat Terhadap Puisi Catatan Kepada Rakyat)

Tulisan ini sebelumnya (tahun 2006) pernah saya buat tapi tidak pernah sudi dipublikasikan oleh media massa cetak mana pun, baik di daerah saya sendiri (Bangka Belitung) ketika itu maupun di lingkup nasional (ibukota). Oleh karenanya dengan tidak membatasi publisitasnya, tahun 2007 saya mengirimkan tulisan tersebut ke sebuah situs internet, dan judulnya Catatan Kepada Penyair. Namun kenapa pada kesempatan ini saya munculkan kembali meski dengan judul berbeda, Catatan Kepada Siapa?

Begini. Pada 07 Januari 2009 saya menerima kiriman dari Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Bangka Belitung Yan Megawandi, yaitu buku Antologi Penyair Bangka-Belitung Lintas Generasi Badala terbitan Emas Bangka Production, September 2008, yang dieditori oleh Sunlie Thomas Alexander. Buku tersebut dikirimkannya pada saya lantaran memuat juga dua puisi saya, dan ada puisi Willy Siswanto berjudul Catatan Kepada Siapa.


A. Dua Puisi Catatan Kepada Rakyat

Pertama, karya Gautama Indra alias Peter Siswanto versi Harian Bangka Pos (2001) atau buku antologi puisi Balada, hal.38-39 (Emas Bangka, 2008).

Catatan Kepada Rakyat

Yang hilang di pelataran rumah pengasingan dalam hujan
Malam pekat 11 Maret 1949

Sejarah seperti batubatu gunung yang kikis digerus air hujan di lereng Menumbing dan menggelinding ke Sungai Mentok Asin, keruh oleh peradaban dan tenggelam ke bawah plastik dan sampah polutan. Air laut Selat Bangka tak akan lagi mampu merontokkan lumut dan kulit kerang yang menutupi wajahnya. Tetapi sampai kapanpun, ia adalah batu gunung, juga bila berada di kolam taman atau museum purbakala. Di ruang istana atau rumah rakyat jelata. Ia milik alam. Ada meskipun jaman meninggalkannya.

Bukanlah mereka yang tak mengalami revolusi, / yang mengerti arti perjuangan. / Penderitaan adalah kebanggaan bagi anak cucu. / Ketika bendera berkibar dalam setiap relung hati. / Menyuarakan kemerdekaan. Warisan satu-satunya.

Bukan catatan tentang pembunuhan dan kebiadaban. / Tetapi jalan terakhir pembelaan hak dalam memperoleh hidup. / Atas penjajahan, kita layak kobarkan / -- pengorbanan yang ikhlas dan niat yang utuh.

Tidak pantas kami berlindung dan sembunyi di balik punggungmu, / Menikmati kekuasaan dengan anggur dan gelimang emas. / Atau meninabobokanmu dengan ketergantungan hutang. / -- Seperti politik, ekonomi juga tak pantas / menjadi panglima pembangunan. / Apalagi militerisme.
Junjung di kepalamu, hukum dan kemanusiaan. / Panggul di pundakmu, keadilan dan kesejahteraan. / Dan perdamaian akan tersemai seperti butiran embun.

Telah aku lihat jauh ke depan. / Kita akan terus mengalami pergolakan / Menyingkirkan benalu kefasikan dan kemungkaran / Menata lagi nurani dalam derai tangis dan legam tanah air. / Tak perlu lagi ada darah bersimbah menggenangi pangkuan ibu.

Kepadamu akhirnya, / Aku titipkan bangsaku.

Sejarah seperti angin gunung. Berhembus mengitari padang dan lembah. Membawa putik-putik sari ke pelaminan ilalang dan padi. Menggiring layar perahu nelayan ke geliat ombak lautan. Menjemput kehidupan. Senantiasa. Tak pernah berhenti, meskipun manusia tidak mengenangnya.

Pangkalpinang, 6 Juni 2001


Kedua, karya Willy Siswanto, versi buku antologi Kaki-Kaki Telanjang, hal.41 (Yayasan Aktualita Karsa Pangkalpinang, 2005).

CATATAN KEPADA RAKYAT

yang hilang di pelataran rumah pengasingan
dalam hujan malam pekat 11 Maret 1949
Sejarah seperti batubatu gunung yang kikis digerus air hujan di lereng Menumbing dan menggelinding ke Sungai Mentok Asin, keruh oleh peradaban dan tenggelam ke bawah plastik dan sampah polutan. Air laut Selat Bangka tak akan lagi mampu merontokkan lumut dan kulit kerang yang menutupi wajahnya. Tetapi sampai kapanpun, ia adalah batu gunung, juga bila berada di kolam taman atau museum purbakala. Di ruang istana atau rumah rakyat jelata. Ia milik alam. Ada meskipun jaman meninggalkannya.

Sejarah seperti angin gunung. Berhembus mengitari padang dan lembah. Membawa putik-putik sari ke pelaminan ilalang dan padi. Menggiring layar perahu nelayan ke geliat ombak lautan. Menjemput kehidupan. Senantiasa. Tak pernah berhenti, meskipun manusia tidak mengenangnya.
Pangkalpinang, 6 Juni 2000


B. Dua Pencipta

Keduanya saudara kandung. Gautama Indra alias Peter Siswanto adalah adik kandung Willy Siswanto. Keduanya berasal dari Kutoarja, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, dan merantau, menetap sampai berkeluarga di Bangka Belitung, tepatnya Kotamadya Pangkalpinang. PS dan WS sama-sama ‘Siswanto’, dan beralamat tinggal yang sama pula; Jalan Lembawai 16 Pangkalpinang (biodata PS versi Bangka Pos tahun 2001). Di situ juga alamat Sekretariat KPSPB (versi Lagu Putih Pulau Lada, tahun 2000, hal.61), dan YAKP (versi kumpulan cerpen Stannium Comp 2250 karya WS tahun 2005, hal.2) yang telah menerbitkan beberapa buku sastra.

Lebih jelasnya, silahkan simak :

Pencipta pertama, Gautama Indra alias Peter Siswanto (GI/PS), lahir di Kutoarjo (Kabupaten Purworejo), Jawa Tengah, 3 Mei 1977. Lulus Diploma III Jurusan Akuntansi sebuah STIE di Bandung. Selain banyak menulis puisi dan cerpen di Bangka Pos, puisinya pernah meraih Juara I Lomba Cipta Puisi Peringatan 100 Tahun (Haul) Bung Karno 2001 (Jakarta).

Pencipta kedua, Willy Siswanto (WS), lahir di Kutoarjo (Kabupaten Purworejo), Jawa Tengah, 29 Januari 1967. Lulus Diploma II Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di IKIP (sekarang Universitas) Sanata Dharma Yogyakarta. Menyelesaikan Scripture Venture Training di Baguio City, Manila, Filipina dan studi pengamatan seni dan kehidupan sosial rakyat marjinal di Paranaque, Metro, Manila, 1992, serta meraih diploma dalam studi jarak jauh manajemen dari PPM, Jakarta, 1993, dan mengikuti Magang Nusantara Bidang Senirupa oleh Yayasan Kelola di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung 2003. Pernah menjadi redaktur majalah bahasa Inggris Dialogue (1985-1987), contributor tetap untuk UCAN News (Hongkong) dan mingguan Hidup (Jakarta), serta penyumbang naskah untuk bulletin Amnesty International – Asia. Menulis cerpen dan puisi dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sejak SLTA, juga artikel, berita, esai. Tulisannya dipublikasikan di majalah Hai, jurnal Kolong Budaya, harian Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Sriwijaya Post, Bangka Pos, tabloid Media Guru, Genius, Hello, Suara Bangka, Bangka Ekspres, dan lain-lain. Puisi-puisinya juga tergabung dalam sejumlah antologi bersama seperti BARI I (KPPMP, 1996), Lagu Putih Pulau Lada (KPSPB, 2000), dan lain-lain. Masih seabrek lagi debutnya di Bangka Belitung.


C. Para Juri dan Editor

Secara kualitas melalui penjurian berskala nasional, terbukti bahwa puisi CKR diciptakan oleh GI/PS. Peringatan Haul Bung Karno 2001 tentu saja berbeda jauh dengan Haul Bung Katro (katro – pinjam istilah Thukul Arwana), baik skala popularitas-historitas di dalam negeri maupun luar negeri. Para juri dalam lomba berskala nasional itu pun bukanlah orang-orang yang gugup menilai kualitas puisi, baik esensi, struktur, substansi, inovasi, kualifikasi, licentia poetica, maupun aspek lainnya dalam suatu pagelaran kompetisi nasional.

Secara publisitas, kemunculan pertama puisi CKR dalam keseluruhannya di media massa cetak adalah di harian Bangka Pos tahun 2001, yang mana bisa dikategorikan “skala regional-lokal”. Artinya, editor publikasinya adalah redaktur budaya Bangka Pos ketika itu. Publik pembaca langsung menerima “hasil ciptaan” alias kreasi seni sastra berbentuk puisi yang berjudul CKR itu “diciptakan” oleh GI/PS, bukan WS.

Sepakat atau tidak, terbukti bahwa pada tahun 2001 secara nasional dan regional-lokal puisi CKR merupakan ciptaan GI/PS. Publik nasional dan regional-lokal pun melihat puisi CKR diciptakan oleh GI/PS, bukan WS (2005), AS, BS, CS, DS, ES, FS, GS, HS dan Siswanto seterusnya selain Peter Siswanto. Kemunculan pertama di media massa cetak Bangka Pos dengan nama kreatornya “GI/PS”, menurut saya, sudah lebih dari cukup untuk menjelaskannya.

Munculnya puisi CKR ciptaan WS dalam buku KKT terbitan Yayasan Aktualita Karsa Pangkalpinang (YAKP) tahun 2005 dengan pengurangan isi puisi CKR kreasi GI/PS, jelas memunculkan pula sebuah kontroversi meski agak kurang gizi, baik itu pada sisi si kreator maupun editornya. Siapa pencipta puisi CKR yang sesungguhnya karena sebelumnya tertera nama GI/PS tapi kenapa bisa diaku oleh WS dalam buku KKT-nya? Penerbit buku KKT adalah YAKP, yang otomatis memiliki kaitan penuh secara yuridis-notaris, dan memiliki struktur organisatoris yang terdiri atas ketua, anggota, dan lain-lain.

Tidak hanya berhenti di situ. September 2008, tiba-tiba publisitas puisi CKR kreasi GI/PS di Bangka Pos (2001) dikukuhkan kembali dalam buku antologi bersama Balada bahkan bergabung dengan beberapa puisi karya orang Babel nomor satu (Gubernur) dan Kepala Dinas Pariwisata-Kebudayaan memperlihatkan perbedaan yang kentara dengan publisitas-dokumentasi puisi CKR kreasi WS dan buku KKT (2005) sebagai antologi tunggal (satu penulis). Tentu saja editor buku Balada lebih memahami soal pendokumentasian puisi karya GI/PS dalam kumpulan bersama karena ini pun mempertaruhkan reputasi seorang Sunlie Thomas Alexander.

Melalui suatu pembicaraan (berkaitan dengan penerbitan buku KKT), Ketua YAKP Ki Agus Hazirianjaya alias Ian Sancin pernah mengaku pada saya, WS sama sekali tidak melibatkan orang-orang yayasan (WS terhitung anggota) termasuk ketuanya sendiri dalam proses memilih, mencetak dan menerbitkan kumjak KKT (termasuk kumcer SC 2250, 2005) bahkan stempel YAKP pernah berada di tangan WS dalam kurun waktu lama.


D. Waktu Pembuatan dan Publikasi

Waktu pembuatan kedua puisi CKR menunjukkan angka yang berbeda. Puisi CKR versi Harian Bangka Pos 2001 dan buku Balada 2008 diciptakan GI/PS pada 6 Juni 2001. Sedangkan Puisi CKR versi buku KKT 2005 diciptakan WS pada 6 Juni 2000. Tanggal dan bulannya sama tapi tahunnya berbeda. WS lebih dulu “mencipta”-nya (tahun 2000); satu tahun sebelum GI/PS “mencipta”-nya (tahun 2001). Selisihnya hanya 1 tahun.

Pada waktu publisitas-dokumentasi-nya, penunjukkan waktu terlihat rentang yang lebih jauh. Puisi CKR kreasi GI/PS dipublikasikan tahun 2001 dan berikutnya, 2008. Sedangkan puisi CKR kreasi WS dipublikasikan dalam buku KKT, tahun 2005. 2001/2008 melawan 2005.

Perbedaan angka tahun itu seolah memperlihatkan semacam petunjuk lainnya, “siapa menjiplak siapa”. Namun siapa yang berani menjamin bakal menemukan “siapa kreator asli”-nya, memergoki “siapa plagiator”-nya, ataupun “siapa sejatinya pendusta” yang bermain patgulipat angka dalam puisi CKR?


E. Konsistenitas Berkreasi Sastra
Barangkali kesamaan judul dan kemiripan isi bisa didalihkan sebagai suatu kebetulan belaka. Lalu status darah kedua penciptanya, yakni WS dan GI/PS yang masih kakak-adik sekandung, pun bisa juga didalihkan sebagai suatu kebetulan. Kebetulan GI/PS adalah adik kandung WS; WS adalah kakak kandung GI/PS. Realitas dan sejarah apa pun sangat memungkinkan untuk diplintir dan menjadi satu kesimpulan : kebetulan.

Lantas apakah akhir tahun 2008 puisi CKR ter-“abadi”-kan dalam buku Balada pun mutlak dan patut disimpulkan sebagai suatu kebetulan belaka? Selain itu, kebetulan lagi, STA yang menjadi editornya, yang mana sebelumnya saya mengetahui puisi CKR dari kliping STA sendiri. Kebetulan lainnya, saya mendapat kiriman buku tersebut sebab saya berada di Jakarta dan buku tersebut kebetulan dikirim oleh Yan Megawandi. Serba kebetulan, Catatan Kebetulan Rakyat, beres?

Kebetulan bukanlah satu-satunya jawaban pamungkas untuk menutupi kebatilan yang senantiasa bergerilya dalam sisi gelap diri manusia. Masih ada lainnya yang mungkin bisa menjadi sejenis petunjuk, yaitu konsistenitas dalam berkreasi seni khususnya sastra. Jika melihat pada dari kiprah berseni sastra dan rupa beserta seabrek-abrek prestasi di Babel dan terhimpun dalam sebuah biodata (tidak jelas, apakah fakta ataukah fiktif), jelaslah WS lebih berpeluang dipercaya sebagai pencipta puisi CKR. Publik sastra di Babel lebih mengenal nama WS (dengan seabrek karya di Bangka Pos seperti puisi, cerpen dan esai hingga tahun 2009) daripada GI/PS (karya-karya seni GI/PS sudah amat sangat jarang sekali muncul di media massa cetak Babel hingga awal tahun 2009).


F. Beberapa Dugaan Sementara

Dalam perkembangan kesenian di Babel satu dekade ini, nama dan karya WS sangat sering berkeliaran dalam aktualisasi karya di media cetak Babel. Konsistenitas dan kuantitasnya pun jelas lebih di atas kreasi GI/PS. Hal ini bukan mustahil menimbulkan dugaan, puisi CKR sebenarnya diciptakan oleh WS sebagaimana tertera dalam buku KKT 2005 itu. Imbas dari kepercayaan itu, GI/PS berpeluang besar dianggap “penglaim” yang tidak sah, pencuri karya, plagiator, dan sejenisnya.

Dugaan sebaliknya, GI/PS adalah kreator aslinya (sesuai dengan pengakuan nasional dan publisitas regional tahun 2001), sedangkan WS sejatinya adalah seorang plagiator (tahun 2005). Dugaan ini tentu saja cukup mencengangkan, mengingat reputasi kesenimanan seorang WS yang sangat terkenal di Babel selama lebih 5 tahun pasca KPSPB. Kemungkinan dugaan atas kecurangan WS ini tidak disepakati oleh sebagian publik sastra Babel, meski jika ada kemungkinan atas kecurangan WS.

Sebagian lainnya menduga, tahun 2001 WS sengaja memakai nama adiknya (GI/PS) untuk mengangkat (mengatrol) nama (pamor) adiknya dalam sebuah even kompetisi tingkat nasional. Sungguh mulia sekali kelihatannya. Namun, mengapa kemudian, tahun 2005, WS memunculkan lagi puisi CKR itu dalam buku antologi puisi tunggal WS, KKT? Kalau memang niat WS mulia (kendati berlumur dusta), mengapa pula (4 tahun kemudian) WS menariknya kembali ke dalam buku kumpulan puisi WS, seolah tidak ikhlas?

Atau, puisi CKR merupakan hasil kolaborasi kakak-adik sekandung itu? Meski puisi CKR semula terpublikasi tahun 2001 atas nama GI/PS, 4 tahun kemudian kelihatannya WS hendak mengatakan bahwa sesungguhnyalah sebagian isi puisi tersebut diciptakan oleh WS. Oleh karenanya WS mengurangi banyak bagian dari puisi tersebut. Apakah memang begitu?

Motivasi awal (2001) dan selanjutnya (2005) menunjukkan sisi kontradiktif (mirip yin-yang) yang signifikan. Di luar dugaan ini-itu yang berniscaya pada manipulasi realitas-intelektualitas kemanusiaan (humanisme), integritas diri (baca : kerendahan hati dan kejujuran) mempunyai peranan vital-absolut dalam diri seorang (calon) seniman sejak awal berproses kreatif sampai menghasilkan suatu kreasi bernama puisi. Integritas diri merupakan sebuah tantangan serius (bagi diri si kreator sendiri), yang jauh lebih serius-menggemaskan daripada ajang kompetisi kualified-bonafid tingkat dunia sekalipun.

Kreativitas, konsistenitas dan produktivitas bukan jaminan sahih bagi orisinalitas kreasi. Mengakui secara terbuka mengenai “hasil cuplikan” atas susunan syair kreasi orang lain lalu mencantumkannya ke catatan kaki suatu karya sendiri merupakan bagian dari manifestasi suatu integritas. Kalau boleh saya menilai, kedua saudara kandung ini, baik GI/PS maupun WS, sama sekali tidak menunjukkan integritas yang mumpuni tersebut, dan terpublikasi-terdokumentasi di rubrik budaya Bangka Pos (2001) atas nama GI/PS, lalu buku KKT (2005) atas nama WS, dan selanjutnya dalam buku Balada (2008) atas nama GI/PS.

Demikian pula waktu pembuatan dan publisitasnya. Sebuah permainan angka yang “dipaksakan” atau “direkayasa” oleh entah “siapa” di antara kakak-adik itu. Puisi CKR kreasi GI/PS dengan 6 Juni 2001, meraih prestasi prestisius dalam skala nasional, dan publisitasnya 2001. Sementara puisi CKR kreasi WS dengan 6 Juni 2000 cukup terpublikasi dalam buku KKT 2005.

Dalam dugaan selanjutnya, puisi CKR karya GI/PS yang terpublikasi di Bangka Pos 2001 bukan atas kehendak GI/PS. Tetapi tidaklah demikian dengan pusi CKR karya WS, sebagaimana sebelumnya sudah disampaikan oleh ketua yayasan. WS sendirilah yang berkehendak memublikasikan puisi tersebut dalam buku KKT dengan membawa-bawa YAKP sebagai penerbit. Jelas terlihat perbedaan latar belakangnya, antara yang “dipublikasikan” (bukan atas kehendak GI/PS) dalam rubrik budaya Bangka Pos tahun 2001 dan dikukuhkan dalam buku antologi bersama (Balada, 2008) itu, sedangkan puisi CKR yang “dipaksa” oleh WS sendiri sembari melakukan “one man show” agar muncul kesan puisi itu “dipilih” (dari segi orisinalitas dan kualitas) oleh YAKP.

Dari beberapa hal di atas, entah GI/PS ataukah WS, salah seorang di antaranya jelas-jelas tidak menghargai (melecehkan?) : pertama, Bung Karno (Soekarno – Presiden RI I) yang nama beliau diperingati dalam 100 Tahun (Haul) Bung Karno; kedua, keluarga besar Bung Karno; ketiga, para panitia dan juri Lomba Cipta Puisi Peringatan 100 Tahun (Haul) Bung Karno; keempat, institusi berkompeten, pemimpin serta para awaknya, yaitu Harian Bangka Pos, Yayasan Aktualita Karsa, dan Emas Bangka; kelima, sidang pembaca; keenam, diri sendiri; dan lain-lain..


G. Hak Atas Kekayaan Intelektual dan Integritas Diri
Dugaan dan manipulasi realitas-intelektualitas insani, betapa-apa pun canggihnya, ujung-ujungnya hanya mengaburkan inti persoalan : hak cipta. Karya seni/sastra merupakan hak atas kekayaan intelektual (HAKI) dalam kategori hak cipta. Pelanggarannya, semisal plagiatisme, termasuk pidana. Dengan kata lain, hak cipta atas sebuah puisi dijamin secara yudisial, dan penciptanya maupun pihak lain (pembaca, calon plagiator) harus menyadari perlindungan hukum tersebut. Hukum pun diadakan sejak semula dan mengalami perkembangan terus-menerus hingga salah satu produknya dinamakan HAKI bermanfaat untuk mengatur dan mengendalikan karakter-karakter negatif dalam diri manusia terhadap sesamanya.

Sialnya, kegiatan plagiarism dalam kreasi sastra bukan satu-dua kali terjadi bahkan pelakunya tidak lain adalah oknum sastrawan sendiri! Kalau sudah begini, jelas menunjukkan karakter buruk dalam diri oknum itu sendiri. Betapapun buku-buku seputar teori dan masalah HAKI sudah banyak dijual, lagi-lagi persoalannya berkutat pada karakter/tabiat/akhlak/integritas melulu.

Begitu pula kaitannya dengan puisi CKR; apakah GI/PS dicap plagiator ataukah justru WS plagiator utamanya, pedang HAKI bukanlah senjata pamungkasnya. Keduanya bisa berdalih. Keduanya bisa menyusun dalil-dalil konspiratif-manipulatif dengan motivasi apa pun, apalagi mereka masih saudara kandung, ataukah sama sekali tidak mampu mengakui apa-apa secara gentle-cerdas-intelek.

Integritas diri (baca: kerendahan hati dan kejujuran) pada akhirnya tetaplah mutlak diagungkan dalam berkreasi puisi, sekalipun kreasi tersebut sama sekali tidak sanggup meraih penghargaan apa-apa dalam rangka gengsi dan ganjaran status lomba. Saya pun bangga atas ketidakbermutuan puisi-puisi saya karena semuanya tercipta tanpa nila “plagiat” atau “dibuatkan” oleh orang-orang terdekat saya. Biar jelek asalkan jujur-murni karya sendiri, bukan “menjiplak” seperti puisi CKR karya GI/PS ataukah WS yang juara nasional atasnama Bung Karno itu.

*******
Balikpapan, 2009

Kamis, 05 Maret 2009

SAMA SEKALI BUKAN SASTRAWAN BANGKA BELITUNG


RIWAYAT KELUARGA AGUSTINUS WAHYONO DI BANGKA
A. AYAH, J. Slamet Sudharto
1. Mantan guru Sekolah Teknik (ST) Sungailiat
2. Mantan guru Sekolah Teknik Menengah (STM) Sungailiat
3. Mantan guru SMP Maria Goretti Sungailiat
4. Mantan guru SMP Sriwijaya Sungailiat
B. IBU, H. Tarini
1. Mantan Perawat Rumah Sakit Unit Penambangan Timah Bangka (UPTB) di Sungailiat
2. Mantan Perawat Rumah Sakit Medika Stania di Sungailiat
3. Bidan Senior di klinik bersalin di Sungailiat
C. KAKAK SULUNG, Dra. Chatarina Wahjuni
1. Mantan Staf Konsulat Jerman di Denpasar, Bali
2. Mantan Interpreter di PT Garuda Indonesia Airways, Jakarta
3. Mantan karyawan Asuransi Allianz Jerman, Jakarta
4. Guru Bimbingan Belajar Bahasa Inggris dan Jerman di Sungailiat
D. KAKAK KEDUA, Antonius Wahjudi, ST
1. Pegawai Negeri Sipil di Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung di Air Itam Pangkalpinang

= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
RIWAYAT PENDIDIKAN AGUSTINUS WAHYONO DI BANGKA :
1. TK Maria Goretti, Sungailiat
2. SD Maria Goretti, Sungailiat
3. SMP Maria Goreeti, Sungailiat, NEM 40,28
===================================================
===================================================

-->


Gus Noy : Dunia Paradoks Seorang Penulis Eksistensialis – oleh Titon Rahmawan *

(Sebuah persembahan untuk sahabatku Agustinus 'Onoy' Wahyono)
Dari situs http://langitkubiru.blogspot.com/2004_03_28_archive.html

Telah menjadi kodrat manusia untuk menetapkan pilihan-pilihan dalam kehidupannya. Pilihan-pilihan itu merupakan wujud dari kehendak bebas. Sebuah konsep pemikiran yang menyandarkan diri pada filsafat eksistensialisme Jean-Paul Sartre yang diungkapkan dalam novelnya 'La Nausee'. Bagi sebagian penyair atau penulis gagasan kebebasan bukan semata-mata tema yang mereka olah untuk mengukuhkan identitasnya tapi merupakan sebuah akar pemikiran yang mutlak sifatnya. Seperti dinyatakan Sartre, 'eksistensi tanpa kebebasan adalah suatu penjelmaan yang absurd'. Oleh karena itu kebebasan mereka jalani sebagai sebuah proses sadar diri, yaitu sadar akan keberadaan dan eksistensi dirinya sebagai seorang penyair atau penulis.

Bagi kebanyakan penyair atau penulis eksistensialis, tema kebebasan merupakan sebuah obsesi yang mendasari lahirnya karya-karya mereka. Secara intens mereka terus menerus mengunyah gagasan ini bahkan terbawa hingga kedalam sikap dan tindakannya sehari-hari, diwujudkan dalam upaya menyuarakan kebebasan berkarya, kebebasan menuangkan aspirasi, kebebasan berekspresi, dan kebebasan memunculkan identitas. Kondisi tersebut sejalan dengan pernyataan Sartre bahwa dalam diri manusia ada dua macam keberadaan, yaitu 'ada dalam diri' (l'entre-en-soi) dan 'ada untuk diri' (l'entre-pour-soi). Ada dalam diri adalah ada di dalam dirinya sendiri, sekedar mentaati prinsip identitas dalam arti tidak berhubungan dengan keberadaannya, sebuah kondisi yang memunculkan perasaan muak (la nausea) yaitu suatu situasi penolakan atas entitas dirinya sebagai seorang aku dengan ego pribadi yang menonjol, sementara ada untuk diri tidak mentaati prinsip identitas yang berhubungan dengan eksistensinya sebagai suatu hubungan yang ditentukan oleh kesadaran yaitu kesadaran sebagai manusia yang bukan sekedar obyek tapi juga sekaligus berperan sebagai subyek. Di mana manusia secara sadar untuk membuat pilihan-pilihan secara bebas atas segala tindakan dalam hidupnya dan mau mempertanggung-jawabkannya sebagai sebuah konsekuensi atas pilihan-pilihan hidupnya.

Hal inilah yang saya lihat pada seorang Agustinus 'Onoy' Wahyono, seorang penyair, cerpenis, esais, kartunis, yang secara 'sadar' menyatakan dirinya sebagai 'bukan pesajak, bukan penyair, bukan cerpenis, bukan siapa-siapa' sebuah sikap yag bukannya tanpa dasar. Sebagai seorang yang banyak berkecimpung dalam dunia seni dan sastra dan telah membuktikan diri tidak saja secara produktif berkarya namun juga telah menghasilkan karya-karya yang berbobot dalam berbagai genre apakah itu cerpen, esai, sajak, dan seabreg karya lain dalam bentuk ilustrasi, sketsa, grafis, desain arsitektur, desain kaos, yang seluruhnya ditekuni secara cermat dan tidak semata-mata dikerjakan dengan semangat 'tukang' tapi secara piawai telah menunjukkan bobot dan wawasan berkesenian yang tidak sembarang orang mampu mencapai tataran tersebut.

Namun sikap yang selama ini ia jalani justru seperti memunculkan sebuah paradoks yang mencoba 'mengingkari eksistensi dirinya sendiri' yang terasa kontra produktif. Apakah itu merupakan sebuah bentuk penolakan sebagaimana tergambar pula dalam beberapa karyanya, yang selalu menyelipkan unsur-unsur main-main, dan humor yang satir tapi selalu digarap dengan seluruh kapasitas serius seorang 'Onoy' ataukah sikap tersebut justru merupakan sebentuk dorongan 'ego' yang diungkap dengan gaya paradoks yang berlebihan? Sebagai sebuah keyakinan yang jumawa atas potensi lebih dalam dirinya?

Onoy sebenarnya mengakui bahwa dalam dirinya ada potensi yang selalu membutuhkan wadah untuk menampung luapan intuisinya, sebuah daya dorong bagi kreativitas yang luar biasa, meluber ke mana-mana bahkan hampir setiap hari dapat kita temui karya-karya postingannya di berbagai milis sastra, tetapi di lain pihak hasrat atas pengakuan itu ia tolak mentah-mentah dengan statement-statement yang seringkali keras dan pedas tanpa tedeng aling-aling. Oleh karena itu ia terus saja bergelut untuk memperlihatkan kebebasannya dalam upaya menundukkan diri sendiri.

Dari beberapa karyanya dapat kita lihat kecenderungan seorang Onoy dalam mengolah gagasan puitiknya maupun ragam dari tema-tema yang selalu menjadi bahan cerita pendeknya adalah merupakan sebuah bukti kegelisahan perwujudan dari pencarian eksistensi dirinya selama ini seperti muncul dalam karya-karyanya. Kebusukan, kepalsuan manusia dan dunia yang semu adalah tema sajak yang cukup sering ia garap seperti dalam sajak 'Sebatang Lilin Putih Membaca Salju Di Kilimanjaro' dan 'Sarapanku' kemudian karya-karya yang bertema kehampaan, kesunyian, kegalauan seperti pada sajak-sajak 'Hampa Hari Ini', 'Kata-kata Pamit Malam Itu', 'Ketika Aku Telah Sendiri' dan 'Telaga Galau Dalam Buaian Abadi'. Di luar itu permasalahan eksistensi diri sangat sering ia garap dalam sajak-sajak seperti 'Aku Ada Maka Karyaku Ada' dan juga 'Aku Ingin Menulis Saja Tanpa Peduli Apakah Sajak Ataukah Bukan' dan 'Waktu Puisiku Pasrah' kemudian tema lain adalah penolakan atas cinta seperti pada sajak 'Jangan Datangi Aku Dengan Asmaramu' dan 'Menjahit Hati Terbelah'

Dan masih banyak lagi karya-karya Onoy yang menggarap tema-tema eksistensialis semacam ini: sikap mandiri dan mementingkan diri sendiri seperti dalam cerpen pendek penuh kejutan 'Kala Gerimis Mengiris Malam'’ kemudian orang-orang yang gagal berhubungan dengan orang lain dan merasa terus menerus di kejar dosa seperti dalam cerpen 'Jadilah Bajingan Yang Sungguh-Sungguh' atau orang yang gagal memahami diri sendiri dalam cerpen 'Rayuan Pedang' juga cerpen-cerpen absurd semacam 'Di Bawah Bayang-Bayang Bulan' di luar itu Onoy banyak menulis karya-karya yang iseng sendiri yang terkumpul dalam sajak-sajak isengnya yang nakal penuh kejutan dan humor dan sajak-sajak protes yang ia sebut sebagai sajak-sajak slogan (pamflet) seperti 'Sajak dari Pinggir Jalan Raya Babarsari' dan 'Peringatan'.

Sekilas gambaran karya-karya di atas adalah sedikit dari lebih 400 sajak, cerpen dan karya-karya lain yang telah ia hasilkan selama ini yang nampak menunjukkan pergumulannya yang intens dengan diri sendiri. Dalam beberapa dialog Onoy sering menyatakan dirinya kecil, tidak berarti, tidak punya kelebihan apa-apa sehingga memaksanya untuk terus menerus mengkaji perjalanan kepengarangannya, sebuah pandangan yang mendorong dirinya untuk terus menerus belajar, karena dorongan tidak pernah puas ini yang menimbulkan perasaan 'sadar diri' yang barangkali tak wajar dalam kapasitasnya yang telah mampu membuktikan diri. Sebuah euphemisme yang sesungguhnya terlalu berlebihan namun menjadi suatu keadaan yang justru membuatnya terus menerus dilanda keresahan, kecemasan, kegelisahan oleh beban kreativitas sebagai konsekuensi pilihan-pilihan yang harus ia pertanggungjawabkan dalam proses pencarian jati dirinya. Kegelisahan yang secara kontradiktif mampu memicu kemampuan kreativitasnya disatu sisi tapi juga membelenggu kebebasannya di sisi yang lain. Sebuah kondisi di mana hasrat untuk melepaskan diri dari kecemasan itu semakin membuatnya menjauh dari kebebasan yang ia idamkan.

Di satu sisi ia mengakui kebebasan tapi dilain pihak juga menyangkalnya, sebuah tindakan yang kontradiktif sebagai sikap menipu diri sendiri yang sebenarnya berakar dari keinginan-keinginan untuk mengurangi kegelisahan, kesulitan dari pemenuhan ego pribadi, kecemasan yang timbul dari hasrat pribadi yang belum tercapai, dan mungkin pula lewat pergumulannya dengan dunia yang ia geluti selama ini belum memberikan kepuasan maksimal atau mungkin juga adanya permasalahan lain yang belum tuntas ia selesaikan.

Dari penelusuran saya atas perjalanan kepengarangan seorang Onoy sesungguhnya bermuara pada konflik dalam dirinya yang tak hentinya mempertentangkan antara kebebasan dan keterbatasan yang justru memicu kemampuan kreatif yang luar biasa dahsyat, sebuah kegelisahan yang menjadi sumber bagi lahirnya karya-karya yang mungkin saja akan menjadi fenomenal suatu ketika nanti bila Onoy tidak sekedar menuruti dorongan kreatif semata tapi mau secara mendalam mendedah ke inti pencariannya dan lebih banyak menulis dengan melibatkan isi hatinya yang terdalam.

Onoy adalah sebuah pribadi yang unik yang dikaruniai begitu banyak talenta yang luar biasa dan sesungguhnya mudah baginya untuk mengukuhkan eksistensinya di dunia tulis menulis yang menawarkan begitu banyak kemungkinan ini asal ia mau tetap jujur pada diri sendiri dan lebih peka merespon lingkungan tempat dia bertumbuh.

Jakarta 2004
*) Titon Rahmawan, penulis novel “Turquoise” (2007), alumni Arsitektur Universitas Sebelas Maret Solo, kini tinggal di Bekasi.

================================================================

-->
Gus Noy : Tukang Gambar Atma Jaya – oleh Dominggus Elcid Li *
Dari situs Fisip UAJY, http://www.formasinet.com/?p=91
Pagi itu di tahun 1995. Ketua Senat Mahasiswa FISIP meminta tolong, “Tolong ambil gambar, karikatur!” FISIP lagi punya acara seminar populer bertajuk “Mengintip Demokrasi Lewat Lubang Humor”. Sebagai mahasiswa baru, perintah ketua senat itu segera dijalankan.
Soeharto masih kuat-kuatnya, dan ‘Demokrasi Indonesia’ masih agak lucu. Krismon, masih jauh lah. Nasi kucing masih kita temui Rp. 200. Tambah gorengan, dan es teh, dengan Rp.500 sudah makan. Pokoknya krisis kapitalisme Amrik belum sampai mengorbankan negeriku. Dollar masih santai aja. Bukan seperti sekarang Rupiah sudah dihajar mampus, dan pasrah banget. Sialan memang pemimpin kelas teri. Modalnya menangis doang. Sorry, tukang gambar kembali kumengumpat!
Kalau seminar beginian, bagi para seminaris adalah ajang makan gratis–apalagi panitia, ada rapat-rapat, ada hari H, dan pembubaran. Banyak sekali hematnya. Ini juga taktik supaya hidup. Hubungannya dengan Tukang Gambar. Untuk menghemat biaya souvenir–juga sebagai bukti memang kreatif–untuk para pembicara, souvenir itu dibikin oleh mahasiswa arsitek UAJY.
Ya, Babarsari belum seramai sekarang. Pagi benar. Embun udara subuh masih mengapung di udara, motor melambung melewati SD Babarsari menuju rumah tukang gambar. Gambar akan dipakai siang nanti. Jadi mirip sinteron kejar tayang, penggarapannya sampai subuh. Kami baru pertama kali bertemu. Ia menggambar sampai subuh. Setelah mempersilahkan masuk tanpa basa-basi ia lanjutkan menggambar. Sedikit lagi.
Maklum ia menggambar untuk si GM.Sidharta, gambarnya harus serius biar tidak malu-maluin di hadapan suhu karikatur Indonesia. Tapi, ya itu ia lakoni saja. Tiga gambar lucu-lucu jadi lah. Si Kribo Wimar dan Si Gendut Pendek Jaya Suprana yang paling lucu, dari ketiganya ini. Gambar ketiganya ia tatap ulang. Sebelum kemudian dibungkus dan kubawa pergi.
***
Sekian tahun kemudian. Motorku sering parkir di kos tukang gambar . Terutama diantara tahun 2000-2002. Ada acara tidur siang. Pemiliknya entah sibuk menggambar bangunan, bikin cerpen, atau kalau pun keluar biasanya kuncinya tidak dicabut, dibiarkan begitu saja di bagian dalam. Hanya memang kaca nakonya yang harus digeser sedikit.
Kami bersahabat, jauh setelah gambar itu aku ambil. Jelas Bau kamarnya khas. Lembab, dan bau koran. Pecinta Kompas ini amat jarang mengilokan korannya. Makanya di sekeliling WC itu ada Kompas setinggi WC. Tepatnya di depan Burjo STTNAS, bilang aja teman kita, yakin lah Pak Kos mau lah kasi discount kamar kos.
Terakhir, sebelum minggat dari Jogja, kami bertemu dan berdiskusi soal jeruk. Jeruk dari sebuah pulau kecil di Maluku Tenggara, bisa tiba di tangan seorang perempuan di Kota Gudeg ini. Analisa kami macam-macam. Intinya, jeruk itu hanya berdiri di tangga. Lagipula, pohon jeruk itu tidak bisa ditanam di pulau lain, rasa jeruknya tak akan sama. Bahkan, seluruh pohon jeruk yang ditanam Oma-ku, ikut mati seturut kematiannya dari kanker payudara sekian tahun lalu. Susah memang dijelaskan rasa jeruk itu. Tapi, kami sepakat bahwa jeruk itu memang enak.
Dua bulan lalu dia bikin kejutan. “Aku mau kawin…”Sesaat kemudian ia tutup pintu YM itu. Tanpa menjelaskan dengan siapa. Tapi Si Dea alias Petir, mantan Ketua Senat Biologi tahun 1997 menyentil. Kartu si Tukang Gambar terbuka. Ternyata baru jadian dengan Bio Crew juga. Ah dunia yang kecil. Jarak Bangka dan Borneo serasa hanya sepelemparan batu. “Jeruk apa yang kau beri, kawan?” Bah, hebat juga ada yang bisa menyaingi Jeruk Kisar.
***
Acara seminar itu sendiri sukses. Lapangan basket indoor Mrican penuh pengunjung dari berbagai kampus. 13 tahun sesudah itu, GM, aku jarang ikuti kabarnya. Wimar masih sedikit lucu, tapi–menurutku– hanya Jaya yang masih setia mengintip lewat lubang humor. Sedangkan tukang gambar kawanku itu hidupnya juga masih dalam selera humor yang tinggi. Bagaimana tidak? Sudah terbukti, dia anak kos yang tidak pindah-pindah selama lebih dari satu dekade. Bapak kos-nya malu untuk naikkan uang kos. “Mas kena tarif lama aja ya…” mungkin itu ucapan Bapak Kosnya.
Jogja memang berhati nyaman kala itu.
Ia tersenyum sambil pamer giginya. “Bapak kosku sayang sama aku.” Sebagai Budak Bangka kalau senyum gigihnya utuh, padahal di kampungnya gigi teman-temannya sudah berjendela. Rontok habis kena cuka, maklum rajin banget makan pempek. Hal lain, sebagai seorang tukang gambar, ia bosan menggambar rupa, malah menggambar dengan kata. “Aku tuh nggak bisa menulis cerpen…nggak tahu kok bisa dimuat di Sinar Harapan, Bangka Pos, dll.” Ajaib memang, kok bisa dimuat orang yang nggak bisa bikin cerpen. Cer-penis, yang mengaku tidak bisa menulis ya cuma dia.
Badannya pun mengikuti selera humornya. Waktu di tahun 1995, ia masih berselera memakai baju kaos hitam pendek ketat, dengan logo kelinci kecil putih di dada. 7 tahun kemudian, wajahnya berubah. Lebih bulat. Kupikir ini mengikuti karakter orang-orang lucu yang selalu lebih bulat wajahnya. Lihat aja si Pran. Makanya Datuk Maringgi itu kurus-ceking. Sedangkan Jaya dan Wimar gendut lucu. Tapi GM kurang.
Jadi, tukang gambar ini mentransfer imajinasi tokoh kartunnya dalam rupa tubuhnya sendiri. Dari penggemar angkat barbel, berubah menjadi pecinta indomie Babarsari.
Malam ini, dia khusus kirim email, di subject ia tulis: foto terbaruku, bung. Sebagai penikmat gambar, dan sahabat tukang gambar, aku berusaha berpikir keras. Apa gambar yang ia bayangkan untuk wajah kontemporernya. Kami tidak bertemu sekitar 6 tahun sudah. Yang pasti dia lulus pada akhirnya. Entah apa imajinasinya atas rupanya kali ini?
Soal imajinasinya itu aku tak khawatir. Salah satu cerpennya berjudul “Seekor Anjing Menelan Bom”.
Ini foto Si Onoy. Namanya agak aneh, rupanya diambil dari penggalan suku kata terakhir Agustinus Wahyono. Dibalik. Ya, hidup harus dibalik biar lucu. Mungkin itu filsafat hidup kawanku ini. Sudah macam apa kamu sekarang kawan? Masih berpuisi, jatuh cinta, sms hingga subuh dan tak lupa kau tuliskan seluruh pojok rumah kami dengan rasa hatimu itu. “Mana sketsa wajah kawan perempuanku, yang pacar kamu itu?” Mungkin foto ini kau ambil saat kau pandang wajahnya. Pelan aja kalau lihat, nanti tersipu dia.
***
Onoy adalah tukang gambar lebih dari satu dekade untuk UAJY. Dari tahun 1990-an hingga 2000-an ia masih menggambar untuk kampus UAJY. Sebuah kerja bakti yang panjang. Onoy bisa dikontak lewat e-mail: sayagusnoy@yahoo.com atau HP: 081213920967.
Sebagai kawan makan mie rebus saya bersyukur ia bisa menulis puis lagi. Sebelumnya ia sempat lenyap ditelan gambar bangunan. Jejak jiwanya sempat tak terlihat. Ini sketsanya tentang seorang perempuan kawanku, yang kini jadi kekasihnya itu.
- Jocylen
mereka menunggu adukan kopisusu
sedang hitam silam masih mengadu rindu
: percumbuan bulanbiru
masih mereka menunggu secangkir kopisusu
para peracik sibuk mengatur waktu
: kopisusu mencumbu bulanbiru
Sentul Bogor, 2008
*******
(Kenapa hidup itu kadang mirip anjing menelan bom, Noy?)
Birmingham, 2008
*) Dominggus Elcid Li, Alumni Fisip UAJY, kini kuliah S-3 di Birmingham Inggris.
==================================================

Minggu, 01 Maret 2009

Sarjana Ngeracau Menulis Esai Seperti Kartun


Setelah saya mengomentari (sebanyak 19 halaman kertas kuarto dengan spasi 1 ½) cerpen karya Willy Siswanto tapi dipangkas habis-habisan (mungkin 6-7 halaman kertas kuarto) oleh redaktur budaya lantas dimuat, saya sempat kuatir bahwa komentar saya hanya menjilati kulit, tidak menjangkau inti (esensi) sastra (karya).

Kekuatiran saya terjawab manakala sebuah pesan singkat menyelinap dalam HP saya. “Esai sarjana yg tdk tajam pd inti sastra dan ngeracau, bagiku jd sprt kartun,” katanya. Duh!

Kesalahan siapakah hingga kesarjanaan saya disebut-sebut, dianggap ngeracau, dan esai saya diidentikkan dengan kartun ?


A. Gelar Akademis

Sarjana Strata-1 Arsitektur saya gapai di Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Semasa kuliah saya diajarkan tentang Struktur dan Konstruksi Bangunan, dan Asas-asas Perancangan Arsitektur. Masing-masing lebih dari 1 semester. Normal ditempuh dalam 9 semester atau 4,5 tahun untuk menjadi seorang sarjana.

Struktur dan konstruksi bangunan dapat dimulai dari pondasi, balok, plat lantai, ring balok, dan seterusnya. Itulah kekuatan suatu bangunan. Sementara dalam asas-asas perancangan, ada materi mengenai esensi bangunan berdasarkan fungsi-fungsinya.

Selama kuliah saya pun aktif dalam kegiatan jurnalistik tingkat fakultas. Majalah kami bernama Majalah Mahasiswa Teknik SIGMA. Juga menerbitkan buletin Dies Natalies kampus. Dan saya termasuk membidani Unit Penerbitan Pers Mahasiswa tingkat universitas (beranggota mahasiswa dari fakultas-fakultas yang ada di UAJY, misalnya FISIP, Biologi, Industri, Ekonomi, dan lain-lain).

Saya pernah membuat karikatur untuk souvenir pembicara “Mengintip Demokrasi Lewat Lubang Humor” yang diselenggarakan oleh FISIP UAJY. Wajah-wajah yang saya permak ketika itu adalah GM Sudarta, Wiemar Witoelar, Jaya Suprana, Darmanto Djatman, Permadi, dan Udin Majalah Humor. Dalam acara seminar FISIP UAJY lainnya pun saya membuat karikatur pembicara untuk souvenir. Saya tidak dibayar sepeser pun karena saya menikmati solidaritas-idealisme kawan-kawan FISIP.



Tugas saya mula-mula sebagai seorang illustrator, kartunis/karikaturis. Tapi saya pun harus bertugas melakukan reportase seperti wartawan. Pembekalan kami diadakan setiap tahun selama satu minggu dalam kegiatan Apresiasi Jurnalistik Mahasiswa, yang selalu mengundang tokoh-tokoh pers senior di Yogyakarta. Dan pelatihan menulis yang paling intens saya lakukan dalam kegiatan sehari-hari di sekretariat SIGMA. Selama menulis ulang dari kaset rekaman ke tulisan, saya sering didampingi oleh senior-senior saya. Sebab, kata mereka, saya harus menulis hasil reportse dengan benar sesuai isi repotase itu sendiri. Kemudian saya diajari cara mengeditnya supaya nanti saya bisa menggantikan tugas senior sebagai editor ketika mereka tidak lagi aktif di pers mahasiswa.

Kartun, bagi saya, bukan hanya saya gambar tetapi saya tulis dalam suatu esai. Ada yang pernah dimuat di majalah Citta Jaya UAJY. Satu kali saya mengadakan pameran tunggal “Karikartun” di selasar kampus Teknik UAJY. Pun orang-orang yang saya kenal dan temui, mulai dari satpam parkir kampus, cleaning service hingga rektor termasuk rektor dari luar kampus UAJY karena tugas ekstrakurikuler saya sebagai wartawan mahasiswa, yang juga menjaring berita hingga luar Yogyakarta.


Dosen Arsitektur Ir. Djarot Pubadi, MSc dan Dosen Teknik Sipil UAJY Ir. FX Soehadi



Mantan Rektor UAJY Drs. Silvester A. Kodhi (1993) dan Eks Kekasih Kawanku, 2002



Rektor UGM Moh.Adnan, 1992 dan Rektor UMY Ir. Dasron Hamid, 1992


Dalam berilustrasi, kartun/karikatur, saya pun merambah ke luar kampus setelah saya melintasi penerbitan majalah dari fakultas lain seperti FISIP, Ekonomi, Industri dan seterusnya..Saya paling anti menyandang julukan “Jago Kandang” (di kampus sendiri).

Pertama-tama lomba kartun opini, saya hanya memperoleh Juara Harapan I di Penerbitan Kanisius Yogyakarta, dan juara II di lingkup muda-mudi gereja Baciro yang luas wilayahnya hingga Babarsari – tempat kos saya. Berikutnya kartun-kartun (gagcartoon) saya di media massa umum, seperti di Majalah HUMOR, INTISARI, LIGHTCLUB, BUSOS, Tabloid BOLA, mingguan Minggu Pagi Yogya, dan lain-lain.


Tidak cukup menjadi peserta lomba atau kontributor dadakan untuk media massa umum. Selanjutnya saya menjadi juri Lomba Karikatur tingkat Mahasiswa se-Yogyakarta dan sekitarnya. Rekan juri saya waktu itu adalah Zacky (Dosen di Fakultas Disain Komunikasi Visual Institut Seni Indonesia dan juga illustrator beberapa buku kumcer Seno Gumira Ajidarma) dan Joko Santoso (mahasiswa ISI sekaligus illustrator Harian Kedaulatan Rakyat). Pernah juga menjadi Juri Lomba Lukis di sebuah gereja di daerah Mlati Sleman, berdampingan dengan seorang guru Seni Rupa SMA dan mahasiswa ISI.



Berkartun dan menulis tentang kartun bukanlah satu-satunya kegiatan saya. Saya juga membuat esai-esai, khususnya opini sosial. Kalau di lingkup kampus saya sudah terbiasa muncul termasuk dibukukan dalam kumpulan esai “Kampus Demokratis” sekaligus membuat kartun-kartun opini untuk setiap tulisan yang dimuat.



B. Gelar Non-Akademis

Menulis esai dan sastra merupakan kegiatan saya setelah saya merasa selesai dalam kegiatan kampus. Tanpa mengerti teori, saya menulis cerpen atau puisi dan mengirimkannya ke media massa. Bangka Pos, Sriwijaya Pos, Batam Pos, Lampung Post, Sinar Harapan, dan seterusnya, termasuk kumpulan cerpen tingkat nasional.

Lomba menulis, baik menulis esai maupun sastra pernah saya lakoni. Sebab, menurut saya, lomba itu sama seperti ujian di sekolah. Apakah pelatihan menulis saya cukup untuk lingkungan kampus, kepuasan diri, ataukah karena diminati oleh subyektivitas redaktur media massa

Dalam kancah lomba yang diselenggarakan oleh Harian Bangka Pos melalui even Ekawarsa-nya (1999), saya meraih Juara I Lomba Menulis Artikel. Sementara satu esai dan satu cerpen masuk nominasi. Saya pun menjadi nominator untuk Lomba Menulis Esai Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) Jakarta sekaligus berada pada tulisan pertama dalam buku “Bunga Rampai Esai HAKI”.  

Lomba menulis cerpen pertama saya masuk lima besar di Dewan Kesenian Sleman Yogyakarta. Kemudian di Dewan Kesenian Bengkalis Riau, dan Majalah SAGANG Riau. Dan, tahun 2006, meraih Cybersastra Award untuk Cerpen Pilihan Terbaik

Dalam puisi, saya hanya menjadi nominator lomba puisi Rakyat Merdeka Jakarta.



Setelah beberapa kali dimuat dan masuk lima besar lomba menulis cerpen dan puisi, barulah saya belajar teori, yang saya pelajari dari buku-buku, contohnya “Teori Menulis Prosa” karya Suminto A. Sayuti, “Menulis itu Gampang” karya Arswendo Atmowiloto, dan lain-lain. Saya memiliki lebih dari lima buku teori menulis cerpen. Ndilalahnya, saya pun pernah tergabung sebagai juri (bersama Raudal Tanjung Banua dan Agus Prih) Lomba Menulis Cerpen tingkat Pelajar se-Yogyakarta.




Begitulah. Ada kepuasan tersendiri ketika saya harus menghadapi ujian-ujian dan seleksi-seleksi tingkat luar Yogyakarta ketika itu. bertarung karya tingkal luas membuat semangat saya selalu menyala. Saya hanya ingin melihat perjalanan proses kepenulisan saya sudah sampai taraf mana.



Ternyata saya pun pernah diminta menjadi seorang pembicara seminar tentang sastra internet di Universitas (dulu IKIP) Negeri Yogyakarta, juga seorang pembicara seminar setelah menjadi nominator lomba menulis esai HAKI yang semula jadi pembicara tingkat nasional di Yogyakarta selanjutnya tingkat semi internasional di Jakarta, yang kebetulan saya bersanding dengan Martha Tilaar. Setiap sesi selalu diisi oleh pembicara dari luar negeri, baik dari Asia, Eropa maupun Amerika.


C. Sebuah Bangunan Tulisan

Setiap bangunan mempunyai sistem struktur tertentu agar tetap kokoh dan tahan lama. Rumah tinggal satu lantai, dua lantai, dan seterusnya, apartemen sekian puluh lantai, hangar, rumah genset, dan lain-lain, memiliki sistem struktur yang berbeda.

Berkaitan dengan suatu karya sastra, saya mengamatinya dengan cara memandang seperti bangunan. Bangunan cerpen, yang kemudian saya melihat dari esensi hingga strukturnya. Memang yang terpenting awalnya adalah menulis, bukan mempelajari. Namun untuk lebih jeli melihat kekurangan sendiri, saya belajar teori seperti teori-teori arsitektur.

Di samping itu saya mengikuti diskusi-diskusi tentang sastra. Ada kritik, ada tepuk tangan. Sebab diskusi-diskusi lebih mengarah kepada perkembangan sastra terkini. Bagi saya, teori mengembalikan kepada pengetahuan esensial. Diskusi lebih mengarahkan saya kepada aplikasi dan modifikasinya, bahkan mungkin sampai pada penemuan teori terbaru.

Saya pun mencoba membuat semacam apresiasi. Mula-mula pada karya kawan-kawan di sastra internet, semisal buku kumpulan puisi karya Nanang Suryadi lalu dimuat di situsnya. Berikutnya, menanggapi esai Binhad Nurrohmat dan tanggapan (kritik) saya tersebut dimuat di harian Sinar Harapan Jakarta. Lalu menanggapi statement-statement Sutardji Calsoum Bahri yang kemudian dimuat di Cybersastra dan mendapat perhatian khusus dari penulis Kohar A. Ibrahim.

Sampai kemudian pengamatan saya terhadap kartun di Bangka Pos dan buku kumpulan cerpen “Stannium Comp”-nya Willy Siswanto (WS).


D. Gugatan WS

Esai sarjana yg tdk tajam pd inti sastra dan ngeracau, bagiku jd sprt kartun,” gugat WS dalam sebuah SMS kepada seorang kawan.

Saya mengetahui nama dan kiprah WS, mula-mula dari sepupu saya, baik secara lisan maupun kliping koran yang dikirimkan oleh adik sepupu saya. WS adalah ketua Komunitas Pekerja Sastra Pulau Bangka (KPSPB). Komunitas ini menyeruak ketika sastra, khususnya sastra kontemporer, di Bangka belum kelihatan gregetnya. Media massa yang waktu itu baru muncul adalah Bangka Pos, yang pada lembar budayanya digawangi oleh Nurhayat Arif Permana (Alik).

Dari kliping koran kiriman adik sepupu itu, saya pun menemukan berita seputar Lomba Desain Logo Bangka Belitung, dan sebuah KTP beserta perempuan bernama Rida dari Belinyu. Saya kurang paham, kenapa dulu saya dikirimkan kliping-kliping tersebut.

Kemudian dari buku-buku KPSPB, barulah saya mengetahui nama WS, bergelar Diploma II bidang Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas (jaman dia, kampus itu masih berstatus IKIP) Sanata Dharma Yogyakarta. Diploma II atau dua tahun alias empat semester (bedakan antara Diploma II Pendidikan Bahasa Inggris dan Sarjana S-1 Arsitektur yang membuat skripsi sendiri sekaligus gambar rencana-rancangan arsitekturnya agar tidak terjebak pada opini yang "ngeracau"). Tahun 2003 saya menemuinya di rumahnya. Saya ingin lebih mengenal, selain sosoknya, juga kapasitas intelektualnya dalam menulis (melalui karya-karyanya).

Karya-karyanya yang paling "fenomenal" dan saya kritisi ketika itu adalah kumpulan cerpen pertamanya. Kalau tidak salah, tulisan saya sebanyak 19 halaman itu dimuat di sebuah harian lokal setelah dipotong sana-sini oleh redakturnya. Pemotongan tersebut sama sekali tanpa ijin alias seenak udelnya sang redaktur budaya. Sama sekali tidak memiliki etika atas karya tulis orang lain. Seharusnya redaktur itu mengembalikan dulu tulisan-tulisan saya dengan melampirkan sebuah catatan khusus.

Selain itu, saya tidak mengetahui kapasitas sang redaktur budaya dalam menulis karya semacam yang saya buat. Saya belum pernah membaca satu pun tulisan kritisnya mengenai sebuah karya sastra genre cerpen, yang berbobot-obyektif, kecuali cerpen-cerpen si redaktur yang bergaya sama dengan WS. Apa boleh buat, mentang-mentang redaktur budaya, bertindak ngawur pun suka-suka dia, dan toh perusahaan koran itu tetap memakainya.

Kembali ke cerpen-cerpen WS. Isi cerpen-cerpennya cenderung "menggurui" (sok pintar / keminter) karena cerpen yang dibuatnya benar-benar ceramah pendek, ceracau pendek, cerewet pendek dan cercaan pendek. Cerpen-cerpen seperti masa tempo doeloe atau pantas untuk bacaan sehat untuk murid SD-SMP karena berisi nasihat-nasihat atau komentar-komentar yang sudah tidak layak dibaca oleh orang berumur di atas 25 tahun.

Jangankan bicara soal inti (substansi) cerpen, lha wong esensi dan struktur cerpen saja WS tidak mengerti sama sekali. Apakah WS hanya tahu bahwa inti cerpen itu ceracau pendek atau ceramah pendek, "sok menggurui / sok keminter"? Alih-alih menjadikan cerpen sebagai "media kritik sosial", "media diplomasi seorang Diploma II", "kendaraan ceramah", lebih baik sekalian saja membuat naskah esai atau ceramah.

Alumni D-II Pendidikan Bahasa Inggris Universitas (dulu IKIP) Sanata Darma Yogyakarta dan aktif di majalah kampusnya, tapi kok tidak mengerti esensi cerita pendek? Saya, S-1 Prodi Teknik Arsitektur UAJY yang jelas-jelas tidak berhubungan dengan kebahasaan semacam itu, merasa "dibodohi" oleh "guru" alumni USD Yogyakarta itu. Beruntungnya, saya tidak pernah belajar menulis pada WS sehingga saya tidak disesatkan pada teori sastra genre cerpen yang ngeracau bikinan WS.

Barangkali Anda tidak percaya tulisan saya ini, lantas menuduh saya seenaknya mengritisi karya WS? Silahkan baca Anda sendiri kumpulan cerpen "Stannium Comp"-nya itu.

Karya cerpennya yang paling aneh untuk meraih juara I Lomba Menulis Cerpen adalah cerpen Marga. Cerpen yang sama sekali tidak jelas esensi-struktur teoritisnya, yaitu pada konflik, tokoh protagonist-antagonis-nya dan dimensi waktunya itu anehnya menjadi pemenang I hanya lantaran kriteria Tema. 

Saya mempertanyakan kualitas dewan jurinya, apakah mengerti esensi cerpen ataukah tidak mengerti sama sekali. Esensi saja tidak tahu, bagaimana sebuah karya bisa dinyatakan sebagai cerpen sekaligus juara I (padahal di buku teori pelajaran bahasa dan sastra Indonesia untuk SMP sudah jelas tertera tentang esensi cerpen)?

Salah seorang jurinya, yakni redaktur harian lokal, sama sekali tidak mengerti apa itu esensi cerpen itu. Pantas saja saya membaca cerpen-cerpen si redaktur itu pun tidak memiliki esensi sebagai cerita pendek (short story), melainkan ceramah pendek, ceracau pendek, cerewet pendek, dan cercaan pendek. Sama tidak mengertinya kedua manusia itu. 

Kalau sudah begini, jelas sangat "ngeracau" (pinjam kata dari SMS WS). Pantas saja saya kemudian "dimusuhi" bahkan "diancam mati" (secara fisik!-baca SMS ancaman mati) oleh sang redaktur budaya sampai-sampai Sunly Thomas Alexander melarang saya pergi ke Pangkalpinang karena menghawatirkan keselamatan jiwa-raga saya dari ancaman mati (KONTRA INTELEKTUAL) seorang Sarjana Agama (yang tiba-tiba merasa berhak mengambil alih wewenang Sang Pencipta dengan cara hendak menghabisi hak hidup saya di dunia fana ini!) yang juga Redaktur Budaya (yang melestarikan budaya primitif dan bar-barianis).

Tapi baiklah. Mungkin saya yang bersalah karena menulis sebanyak 19 halaman kertas kuarto dengan spasi satu setengah. Mungkin lagi saya yang bersalah atas pemuatan esai yang membahas kulit, tidak menukik pada inti sastra. Mungkin pula saya yang bersalah karena gelar kesarjanaan saya ternyata tidak menghasilkan suatu esai sastra yang bermutu – hal yang tak pernah saya perhatikan sebagai seorang sarjana Teknik. Ataupun saya yang bersalah atas kengeracauan saya. Dan saya yang bersalah karena menulis esai seperti kartun – salah satu hobi menggambar saya ketika masih SMP dulu.

Saya tidak pantas menyalahkan kinerja redaktur budaya karena redaktur budaya bahkan siapa pun bisa berdalih ini-itu. Saya sangat bisa memaklumi kapasitasnya dalam bercerpen (tidak mengalami proses seleksi alami sebagaimana proses kreatif yang teruji dalam lingkup nasional), meski nasib/takdir menempatkannya sebagai seorang redaktur budaya. Saya tidak pantas menyalahkan komentar cerpenis WS itu karena memang pemuatan esai sebatas kulit saja dan cerpenis tersebut adalah sastrawan paling hebat (?) di Bangka Belitung.

Namun saya pikir, alangkah naifnya jika komentar cerpenis tersebut sama dengan penilaian para pembaca lainnya, terlebih pembacanya adalah Bapak Suhaimi Sulaiman, Bapak L.K. Ara, Bapak Ian Sancin, Bapak DN Kelana, Ibu Ira Esmiralda Kurnia, Bapak Sunlie Thomas Alexander, Bapak Kario, dan sastrawan berkelas atas di Babel lainnya.

Agar kesan ‘komentar kulit’ dari satu orang tidak menjadi vonis kolektif, kemudian saya memberikan komentar asli saya (yang belum digunting habis-habisan oleh redaktur budaya) kepada beberapa sastrawan kelas atas di Babel. Saya tidak harus membela diri saya sedemikian rupa.

Saya pun berpikir, apakah seorang WS setelah mendirikan sekaligus mengetuai KPSPB lantas menjadi seorang diktator sastra yang sama sekali tidak memahami arti resepsi sastra, “kritik sastra”, egaliter sastra, bahkan ungkapan “pengarang mati setelah karya tercipta”, atau secara singkatnya seorang WS benar-benar KONTRA INTELEKTUAL PASCA STADIUM COMA?

Saya teringat pada kritik orang-orang Pujangga Lama terhadap karya-karya Chairil Anwar. Bukan Chairil Anwar sendiri yang membela karyanya, melainkan seorang HB Jassin melakukan pembelaan terhadap karya kepenyairan Chairil Anwar. Peristiwa sekian puluh tahun itu ternyata tidak berlaku di Bangka Belitung era millennium ini. Memang sejarah tidak selalu menjadi tolok ukur cukup penting bagi setiap orang, termasuk bagi seorang WS. Persoalannya, apakah WS lebih hebat daripada Chairil Anwar dan HB Jassin, mungkin begitulah yang nyata dalam geliat sastra kontemporer di Babel?

Namun obyektivitas para pembaca tetap saya junjung, apalagi saya pernah lebih lima tahun berkecimpung sebagai wartawan, illustrator, layouter, editor, dan pemimpin redaksi di pers kampus saya dulu di Yogyakarta. Saya berikan pula tulisan saya mengenai pengamatan terhadap karya WS itu di sini. Biarlah para pembaca sendiri yang dapat menemukan, apakah komentar saya benar-benar ngeracau (bikin kacau), sebatas kulit ataukah sampai pada inti sastra.

Jangan lupakan pula, "Catatan Kepada Rakyat", yang kemudian saya buat ulasannya dengan judul "CATATAN KEPADA PENYAIR" dan saya muat di situs ini juga. Kalau saya kaitkan dengan prinsip hidup menulisnya "hidup (mencari nafkah) dari menulis, menulis harus menghidupi (memperoleh nafkah)", tindakan CURANG-CULAS-nya sangat lumrah. Lantas bagaimana dengan kasus LOGO Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang pernah menghebohkan ketika perlombaan, penjurian, dan seterusnya?

Di luar itu, sebagian rekan sastrawan di Babel mengenal seorang WS adalah seniman proposal, seniman proyektif, dan makelar seni. Saya pernah heran melihat betapa ngototnya WS menyodorkan karya-karya lukisnya ke pemprov untuk mengisi dinding-dinding kantor gubernur dan dinas-dinas. waktu itu dinding-dinding kantor masih bersih dari pajangan apa saja, dan WS merasa lukisannya wajar (wajib?) mengisi kekosongan bidang vertikal tersebut. Pada bagian ini saya susah membedakan posisi WS sebagai seniman ataukah pedagang lukisan.

WS juga saya kenal sebagai sastrawan proposal atau sastrawan APBD. Selama bergaul dengan WS, saya melihat WS getol menuntut realisasi ABPD bidang kesenian-kebudayaan. Selama saya bergaul dengan beberapa sastrawan berkaliber nasional, kecuali L.K. Ara, sastrawan-sastrawan tersebut betul-betul survive dan menelorkan kreasi berkualitas tanpa adanya campur dana APBD. Contohnya Saut Situmorang, Raudal Tanjung Banua, Joko Pinurbo, Puthut EA, Eka Kurniawan, dan lain-lain, bisa survive dan berkualitas tanpa mengemis atau merengek pada belas kasihan birokrat untuk membagikan remah-remah APBD. 

Lha WS? Belum juga jelas kehebatannya bersastra, sudah menuntut pencairan APBD sebesar ini-itu untuk menghidupi dunia sastra Babel. Menurut saya, seorang WS bisa "gulung kata" sedini mungkin jika hidup di kantong-kantong seni yang sudah padat seniman dan tidak terhembus angin APBD!

Saya sangat berharap para pembaca bersedia menuliskan pembelaan terhadap karya WS yang telah saya kritisi tersebut. Saya tidak akan membela tulisan yang telah saya publikasikan itu sebab saya memberikan peluang sepenuh kepada sidang pembaca untuk "dibantai" secara intelektual pula.

Namun jikalau komentar-komentar saya benar, mohon jujurlah kepada saya sekaligus pembaca lainnya, lalu tuliskan kejujuran itu! Jangan cuma lihai bergunjing menghabiskan energi tanpa hasil berupa tulisan argumentatif alias menjadi pecundang dan pengecut yang sama sekali tidak mampu menuliskan argumentasi intelektual!


*****
Sungailiat, November 2005-Maret 2006