Minggu, 06 Februari 2011

buku kumpulan cerpen pertama


BUKU : KUMPULAN CERITA PENDEK

JUDUL : DI BAWAH BAYANG-BAYANG BULAN

ISI : 12 CERITA PENDEK

KARYA : AGUSTINUS “GUS NOY” WAHYONO -- SI BUKAN SIAPA-SIAPA

TEBAL : viii + 106 HALAMAN

UKURAN : 14 CM X 21 CM.

SAMPUL : SOFT COVER

CETAKAN : I

TAHUN TERBIT : 2011

PENERBIT : ABADI KARYA, BALIKPAPAN (INDIE BOOK)

HARGA BUKU + ONGKOS KIRIM RP.35.000,-


Di tangan Gus Noy, realitas fakta dan imajinasi fiksi bisa saling menyalip tanpa harus ada batasan. Logika cerita, yang biasanya dipertahankan untuk konsistensi gaya, menjadi tidak penting. Antara realitas fakta yang betul-betul digarap secara realis, dengan perwujudan metafora yang merupakan simbol di balik fakta, bisa saja digarap dalam satu medan cerita tanpa harus ada penghubung logika yang jelas. Batasan antara teknik realis dan teknik surealis, menjadi tidak penting. Imajinasi pembaca diajak untuk mengabaikan aturan keduanya. (Kata Pembuka “Imajinasi Tanpa Tepi” oleh Joni Ariadinata)


Potret realitas yang disampaikan dengan meminjam peran Oji, dalam cerita-cerita Gus Noy, mungkin sebuah cara cerdik untuk tidak menyinggung perasaan siapa pun. Hampir dalam seluruh cerita pendeknya yang terhimpun dalam buku “Di Bawah Bayang-Bayang Bulan” ini mengandung ironi. Sang pengarang menyuguhkan suasana satire, sedikit sarkasme, dengan sisipan absurditas yang membuat kita terbawa arus imajinasinya dan – terkadang – berakhir dengan kejutan yang mengundang senyum. (Kata Penutup “Peran Oji untuk Sejumlah Kritik” oleh Kurnia Effendi)


Sekilas Kata Kawan-Kawan Lainnya :


MENARIK: membaca Oji yang membuat akucerita patah hati di satu cerpen dan masuk penjara di cerpen yang lain! (Bonari Nabonenar, sesama pengarang, tinggal di Surabaya)


Oji bermonolog tentang kehidupan sehari-hari. Kadang ironi sosial membuncah di sela-sela naluri gaib. Prosa yang memungut era kekinian tanpa lipstik yang berkecambah, tanpa bertendensi menjadi übermensch. Oji, tetap Oji, Sang Pencatat lingkungan. (Sigit Susanto, penulis buku “Lorong-Lorong Dunia”, tinggal di Swiss)


Barangkali secara sederhana bisa saya katakan bahwa Gus Noy sedang berusaha berbicara tentang realitas kerakyatan dengan bahasa rakyat; baik rakyat sastra pun rakyat luas pada umumnya. Kira-kira tawaran apa yang lebih baik daripada itu? (Wahyudianto “Cak Bono” Sonybono Didik EW, moderator milis Apresiasi Sastra, dan alumni Bahasa dan Sastra Inggris Universitas Negeri Surabaya)


Cerpen-cerpen Gus Noy kebanyakan menyajikan aneka paradoks sosial dan ironi kehidupan dengan cara yang menarik, getir dan dalam. Kelebihan Gus Noy adalah kejujurannya bertutur tidak terjebak pada klise dan kenaifan. Dengan simbol-simbol dan metaforanya, Gus Noy tetap menjaga unsur “sastra” dalam cerita-ceritanya, namun para pembaca yang awam sekalipun saya kira masih dapat dengan mudah memahami amanat dari cerita-ceritanya. Boleh dibilang, Gus Noy adalah salah satu dari sedikit sastrawan Indonesia yang berhasil mengawinkan “sastra serius” dan “sastra pop”. (Iwan “Bung Kelinci” Sulistiawan, penulis buku “Miskin Tapi Sombong”, dan dosen STBA LIA Jakarta Selatan)


Perpaduan realitas fiksional dalam cerpen Gus Noy terasa menyegarkan dengan kesukaannya menampilkan semangat kebermainan yang konyol tapi menggemaskan. (Donny Anggoro, penulis buku “Sastra yang Malas”, novel “Cimera”, kumpulan cerpen “[…] dan Cerita-Cerita Lainnya”, tinggal di Jakarta)


Cerita-cerita Gus Noy memotret persoalan sosial-politik dalam bahasa yang lugas tapi tajam. Tanpa tendensi berlebih, justru dengan hasrat bermain-main namun serius, ia menjalankan strategi literer jitu yang jarang dicoba ‘ceritapendekis’ lain : kisah-kisahnya hadir kepada kita bagaikan karikatur (estetis, pedas terkadang kocak). (Sunlie Thomas Alexander, cerpenis & periset Parikesit Institute Yogyakarta)


Saya rasa, Gus Noy termasuk cerpenis yang tidak tergoda pada euforia para cerpenis muda kita yang latah memuja pencanggihan linguistik. Gus Noy tetap menulis dengan bahasa yang wajar-wajar saja. Persoalan yang diangkatnya pun cenderung persoalan kemanusiaan sehari-hari, yang kebanyakannya diceritakan dengan irama datar. Ia seperti pencerita yang berdarah dingin. Bagi beberapa orang, cerpen-cerpen datar semacam ini mungkin dibilang kurang filosofis, kurang mengeksplorasi psikologi tokoh atau psikologi peristiwa, kurang dalam, atau apalah. Namun, kedataran cerita dan/atau kedataran cara bercerita adalah juga sesuatu yang sah dan memiliki kelebihannya tersendiri. (Amien Wangsitalaja)


======================================================

======================================================


Buku dapat dipesan langsung pada :

GUS NOY BALIKPAPAN (087812294466)

ALI AKBAR BANGKA (081377991655)