Kamis, 05 Maret 2009

SAMA SEKALI BUKAN SASTRAWAN BANGKA BELITUNG


RIWAYAT KELUARGA AGUSTINUS WAHYONO DI BANGKA
A. AYAH, J. Slamet Sudharto
1. Mantan guru Sekolah Teknik (ST) Sungailiat
2. Mantan guru Sekolah Teknik Menengah (STM) Sungailiat
3. Mantan guru SMP Maria Goretti Sungailiat
4. Mantan guru SMP Sriwijaya Sungailiat
B. IBU, H. Tarini
1. Mantan Perawat Rumah Sakit Unit Penambangan Timah Bangka (UPTB) di Sungailiat
2. Mantan Perawat Rumah Sakit Medika Stania di Sungailiat
3. Bidan Senior di klinik bersalin di Sungailiat
C. KAKAK SULUNG, Dra. Chatarina Wahjuni
1. Mantan Staf Konsulat Jerman di Denpasar, Bali
2. Mantan Interpreter di PT Garuda Indonesia Airways, Jakarta
3. Mantan karyawan Asuransi Allianz Jerman, Jakarta
4. Guru Bimbingan Belajar Bahasa Inggris dan Jerman di Sungailiat
D. KAKAK KEDUA, Antonius Wahjudi, ST
1. Pegawai Negeri Sipil di Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung di Air Itam Pangkalpinang

= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
RIWAYAT PENDIDIKAN AGUSTINUS WAHYONO DI BANGKA :
1. TK Maria Goretti, Sungailiat
2. SD Maria Goretti, Sungailiat
3. SMP Maria Goreeti, Sungailiat, NEM 40,28
===================================================
===================================================

-->


Gus Noy : Dunia Paradoks Seorang Penulis Eksistensialis – oleh Titon Rahmawan *

(Sebuah persembahan untuk sahabatku Agustinus 'Onoy' Wahyono)
Dari situs http://langitkubiru.blogspot.com/2004_03_28_archive.html

Telah menjadi kodrat manusia untuk menetapkan pilihan-pilihan dalam kehidupannya. Pilihan-pilihan itu merupakan wujud dari kehendak bebas. Sebuah konsep pemikiran yang menyandarkan diri pada filsafat eksistensialisme Jean-Paul Sartre yang diungkapkan dalam novelnya 'La Nausee'. Bagi sebagian penyair atau penulis gagasan kebebasan bukan semata-mata tema yang mereka olah untuk mengukuhkan identitasnya tapi merupakan sebuah akar pemikiran yang mutlak sifatnya. Seperti dinyatakan Sartre, 'eksistensi tanpa kebebasan adalah suatu penjelmaan yang absurd'. Oleh karena itu kebebasan mereka jalani sebagai sebuah proses sadar diri, yaitu sadar akan keberadaan dan eksistensi dirinya sebagai seorang penyair atau penulis.

Bagi kebanyakan penyair atau penulis eksistensialis, tema kebebasan merupakan sebuah obsesi yang mendasari lahirnya karya-karya mereka. Secara intens mereka terus menerus mengunyah gagasan ini bahkan terbawa hingga kedalam sikap dan tindakannya sehari-hari, diwujudkan dalam upaya menyuarakan kebebasan berkarya, kebebasan menuangkan aspirasi, kebebasan berekspresi, dan kebebasan memunculkan identitas. Kondisi tersebut sejalan dengan pernyataan Sartre bahwa dalam diri manusia ada dua macam keberadaan, yaitu 'ada dalam diri' (l'entre-en-soi) dan 'ada untuk diri' (l'entre-pour-soi). Ada dalam diri adalah ada di dalam dirinya sendiri, sekedar mentaati prinsip identitas dalam arti tidak berhubungan dengan keberadaannya, sebuah kondisi yang memunculkan perasaan muak (la nausea) yaitu suatu situasi penolakan atas entitas dirinya sebagai seorang aku dengan ego pribadi yang menonjol, sementara ada untuk diri tidak mentaati prinsip identitas yang berhubungan dengan eksistensinya sebagai suatu hubungan yang ditentukan oleh kesadaran yaitu kesadaran sebagai manusia yang bukan sekedar obyek tapi juga sekaligus berperan sebagai subyek. Di mana manusia secara sadar untuk membuat pilihan-pilihan secara bebas atas segala tindakan dalam hidupnya dan mau mempertanggung-jawabkannya sebagai sebuah konsekuensi atas pilihan-pilihan hidupnya.

Hal inilah yang saya lihat pada seorang Agustinus 'Onoy' Wahyono, seorang penyair, cerpenis, esais, kartunis, yang secara 'sadar' menyatakan dirinya sebagai 'bukan pesajak, bukan penyair, bukan cerpenis, bukan siapa-siapa' sebuah sikap yag bukannya tanpa dasar. Sebagai seorang yang banyak berkecimpung dalam dunia seni dan sastra dan telah membuktikan diri tidak saja secara produktif berkarya namun juga telah menghasilkan karya-karya yang berbobot dalam berbagai genre apakah itu cerpen, esai, sajak, dan seabreg karya lain dalam bentuk ilustrasi, sketsa, grafis, desain arsitektur, desain kaos, yang seluruhnya ditekuni secara cermat dan tidak semata-mata dikerjakan dengan semangat 'tukang' tapi secara piawai telah menunjukkan bobot dan wawasan berkesenian yang tidak sembarang orang mampu mencapai tataran tersebut.

Namun sikap yang selama ini ia jalani justru seperti memunculkan sebuah paradoks yang mencoba 'mengingkari eksistensi dirinya sendiri' yang terasa kontra produktif. Apakah itu merupakan sebuah bentuk penolakan sebagaimana tergambar pula dalam beberapa karyanya, yang selalu menyelipkan unsur-unsur main-main, dan humor yang satir tapi selalu digarap dengan seluruh kapasitas serius seorang 'Onoy' ataukah sikap tersebut justru merupakan sebentuk dorongan 'ego' yang diungkap dengan gaya paradoks yang berlebihan? Sebagai sebuah keyakinan yang jumawa atas potensi lebih dalam dirinya?

Onoy sebenarnya mengakui bahwa dalam dirinya ada potensi yang selalu membutuhkan wadah untuk menampung luapan intuisinya, sebuah daya dorong bagi kreativitas yang luar biasa, meluber ke mana-mana bahkan hampir setiap hari dapat kita temui karya-karya postingannya di berbagai milis sastra, tetapi di lain pihak hasrat atas pengakuan itu ia tolak mentah-mentah dengan statement-statement yang seringkali keras dan pedas tanpa tedeng aling-aling. Oleh karena itu ia terus saja bergelut untuk memperlihatkan kebebasannya dalam upaya menundukkan diri sendiri.

Dari beberapa karyanya dapat kita lihat kecenderungan seorang Onoy dalam mengolah gagasan puitiknya maupun ragam dari tema-tema yang selalu menjadi bahan cerita pendeknya adalah merupakan sebuah bukti kegelisahan perwujudan dari pencarian eksistensi dirinya selama ini seperti muncul dalam karya-karyanya. Kebusukan, kepalsuan manusia dan dunia yang semu adalah tema sajak yang cukup sering ia garap seperti dalam sajak 'Sebatang Lilin Putih Membaca Salju Di Kilimanjaro' dan 'Sarapanku' kemudian karya-karya yang bertema kehampaan, kesunyian, kegalauan seperti pada sajak-sajak 'Hampa Hari Ini', 'Kata-kata Pamit Malam Itu', 'Ketika Aku Telah Sendiri' dan 'Telaga Galau Dalam Buaian Abadi'. Di luar itu permasalahan eksistensi diri sangat sering ia garap dalam sajak-sajak seperti 'Aku Ada Maka Karyaku Ada' dan juga 'Aku Ingin Menulis Saja Tanpa Peduli Apakah Sajak Ataukah Bukan' dan 'Waktu Puisiku Pasrah' kemudian tema lain adalah penolakan atas cinta seperti pada sajak 'Jangan Datangi Aku Dengan Asmaramu' dan 'Menjahit Hati Terbelah'

Dan masih banyak lagi karya-karya Onoy yang menggarap tema-tema eksistensialis semacam ini: sikap mandiri dan mementingkan diri sendiri seperti dalam cerpen pendek penuh kejutan 'Kala Gerimis Mengiris Malam'’ kemudian orang-orang yang gagal berhubungan dengan orang lain dan merasa terus menerus di kejar dosa seperti dalam cerpen 'Jadilah Bajingan Yang Sungguh-Sungguh' atau orang yang gagal memahami diri sendiri dalam cerpen 'Rayuan Pedang' juga cerpen-cerpen absurd semacam 'Di Bawah Bayang-Bayang Bulan' di luar itu Onoy banyak menulis karya-karya yang iseng sendiri yang terkumpul dalam sajak-sajak isengnya yang nakal penuh kejutan dan humor dan sajak-sajak protes yang ia sebut sebagai sajak-sajak slogan (pamflet) seperti 'Sajak dari Pinggir Jalan Raya Babarsari' dan 'Peringatan'.

Sekilas gambaran karya-karya di atas adalah sedikit dari lebih 400 sajak, cerpen dan karya-karya lain yang telah ia hasilkan selama ini yang nampak menunjukkan pergumulannya yang intens dengan diri sendiri. Dalam beberapa dialog Onoy sering menyatakan dirinya kecil, tidak berarti, tidak punya kelebihan apa-apa sehingga memaksanya untuk terus menerus mengkaji perjalanan kepengarangannya, sebuah pandangan yang mendorong dirinya untuk terus menerus belajar, karena dorongan tidak pernah puas ini yang menimbulkan perasaan 'sadar diri' yang barangkali tak wajar dalam kapasitasnya yang telah mampu membuktikan diri. Sebuah euphemisme yang sesungguhnya terlalu berlebihan namun menjadi suatu keadaan yang justru membuatnya terus menerus dilanda keresahan, kecemasan, kegelisahan oleh beban kreativitas sebagai konsekuensi pilihan-pilihan yang harus ia pertanggungjawabkan dalam proses pencarian jati dirinya. Kegelisahan yang secara kontradiktif mampu memicu kemampuan kreativitasnya disatu sisi tapi juga membelenggu kebebasannya di sisi yang lain. Sebuah kondisi di mana hasrat untuk melepaskan diri dari kecemasan itu semakin membuatnya menjauh dari kebebasan yang ia idamkan.

Di satu sisi ia mengakui kebebasan tapi dilain pihak juga menyangkalnya, sebuah tindakan yang kontradiktif sebagai sikap menipu diri sendiri yang sebenarnya berakar dari keinginan-keinginan untuk mengurangi kegelisahan, kesulitan dari pemenuhan ego pribadi, kecemasan yang timbul dari hasrat pribadi yang belum tercapai, dan mungkin pula lewat pergumulannya dengan dunia yang ia geluti selama ini belum memberikan kepuasan maksimal atau mungkin juga adanya permasalahan lain yang belum tuntas ia selesaikan.

Dari penelusuran saya atas perjalanan kepengarangan seorang Onoy sesungguhnya bermuara pada konflik dalam dirinya yang tak hentinya mempertentangkan antara kebebasan dan keterbatasan yang justru memicu kemampuan kreatif yang luar biasa dahsyat, sebuah kegelisahan yang menjadi sumber bagi lahirnya karya-karya yang mungkin saja akan menjadi fenomenal suatu ketika nanti bila Onoy tidak sekedar menuruti dorongan kreatif semata tapi mau secara mendalam mendedah ke inti pencariannya dan lebih banyak menulis dengan melibatkan isi hatinya yang terdalam.

Onoy adalah sebuah pribadi yang unik yang dikaruniai begitu banyak talenta yang luar biasa dan sesungguhnya mudah baginya untuk mengukuhkan eksistensinya di dunia tulis menulis yang menawarkan begitu banyak kemungkinan ini asal ia mau tetap jujur pada diri sendiri dan lebih peka merespon lingkungan tempat dia bertumbuh.

Jakarta 2004
*) Titon Rahmawan, penulis novel “Turquoise” (2007), alumni Arsitektur Universitas Sebelas Maret Solo, kini tinggal di Bekasi.

================================================================

-->
Gus Noy : Tukang Gambar Atma Jaya – oleh Dominggus Elcid Li *
Dari situs Fisip UAJY, http://www.formasinet.com/?p=91
Pagi itu di tahun 1995. Ketua Senat Mahasiswa FISIP meminta tolong, “Tolong ambil gambar, karikatur!” FISIP lagi punya acara seminar populer bertajuk “Mengintip Demokrasi Lewat Lubang Humor”. Sebagai mahasiswa baru, perintah ketua senat itu segera dijalankan.
Soeharto masih kuat-kuatnya, dan ‘Demokrasi Indonesia’ masih agak lucu. Krismon, masih jauh lah. Nasi kucing masih kita temui Rp. 200. Tambah gorengan, dan es teh, dengan Rp.500 sudah makan. Pokoknya krisis kapitalisme Amrik belum sampai mengorbankan negeriku. Dollar masih santai aja. Bukan seperti sekarang Rupiah sudah dihajar mampus, dan pasrah banget. Sialan memang pemimpin kelas teri. Modalnya menangis doang. Sorry, tukang gambar kembali kumengumpat!
Kalau seminar beginian, bagi para seminaris adalah ajang makan gratis–apalagi panitia, ada rapat-rapat, ada hari H, dan pembubaran. Banyak sekali hematnya. Ini juga taktik supaya hidup. Hubungannya dengan Tukang Gambar. Untuk menghemat biaya souvenir–juga sebagai bukti memang kreatif–untuk para pembicara, souvenir itu dibikin oleh mahasiswa arsitek UAJY.
Ya, Babarsari belum seramai sekarang. Pagi benar. Embun udara subuh masih mengapung di udara, motor melambung melewati SD Babarsari menuju rumah tukang gambar. Gambar akan dipakai siang nanti. Jadi mirip sinteron kejar tayang, penggarapannya sampai subuh. Kami baru pertama kali bertemu. Ia menggambar sampai subuh. Setelah mempersilahkan masuk tanpa basa-basi ia lanjutkan menggambar. Sedikit lagi.
Maklum ia menggambar untuk si GM.Sidharta, gambarnya harus serius biar tidak malu-maluin di hadapan suhu karikatur Indonesia. Tapi, ya itu ia lakoni saja. Tiga gambar lucu-lucu jadi lah. Si Kribo Wimar dan Si Gendut Pendek Jaya Suprana yang paling lucu, dari ketiganya ini. Gambar ketiganya ia tatap ulang. Sebelum kemudian dibungkus dan kubawa pergi.
***
Sekian tahun kemudian. Motorku sering parkir di kos tukang gambar . Terutama diantara tahun 2000-2002. Ada acara tidur siang. Pemiliknya entah sibuk menggambar bangunan, bikin cerpen, atau kalau pun keluar biasanya kuncinya tidak dicabut, dibiarkan begitu saja di bagian dalam. Hanya memang kaca nakonya yang harus digeser sedikit.
Kami bersahabat, jauh setelah gambar itu aku ambil. Jelas Bau kamarnya khas. Lembab, dan bau koran. Pecinta Kompas ini amat jarang mengilokan korannya. Makanya di sekeliling WC itu ada Kompas setinggi WC. Tepatnya di depan Burjo STTNAS, bilang aja teman kita, yakin lah Pak Kos mau lah kasi discount kamar kos.
Terakhir, sebelum minggat dari Jogja, kami bertemu dan berdiskusi soal jeruk. Jeruk dari sebuah pulau kecil di Maluku Tenggara, bisa tiba di tangan seorang perempuan di Kota Gudeg ini. Analisa kami macam-macam. Intinya, jeruk itu hanya berdiri di tangga. Lagipula, pohon jeruk itu tidak bisa ditanam di pulau lain, rasa jeruknya tak akan sama. Bahkan, seluruh pohon jeruk yang ditanam Oma-ku, ikut mati seturut kematiannya dari kanker payudara sekian tahun lalu. Susah memang dijelaskan rasa jeruk itu. Tapi, kami sepakat bahwa jeruk itu memang enak.
Dua bulan lalu dia bikin kejutan. “Aku mau kawin…”Sesaat kemudian ia tutup pintu YM itu. Tanpa menjelaskan dengan siapa. Tapi Si Dea alias Petir, mantan Ketua Senat Biologi tahun 1997 menyentil. Kartu si Tukang Gambar terbuka. Ternyata baru jadian dengan Bio Crew juga. Ah dunia yang kecil. Jarak Bangka dan Borneo serasa hanya sepelemparan batu. “Jeruk apa yang kau beri, kawan?” Bah, hebat juga ada yang bisa menyaingi Jeruk Kisar.
***
Acara seminar itu sendiri sukses. Lapangan basket indoor Mrican penuh pengunjung dari berbagai kampus. 13 tahun sesudah itu, GM, aku jarang ikuti kabarnya. Wimar masih sedikit lucu, tapi–menurutku– hanya Jaya yang masih setia mengintip lewat lubang humor. Sedangkan tukang gambar kawanku itu hidupnya juga masih dalam selera humor yang tinggi. Bagaimana tidak? Sudah terbukti, dia anak kos yang tidak pindah-pindah selama lebih dari satu dekade. Bapak kos-nya malu untuk naikkan uang kos. “Mas kena tarif lama aja ya…” mungkin itu ucapan Bapak Kosnya.
Jogja memang berhati nyaman kala itu.
Ia tersenyum sambil pamer giginya. “Bapak kosku sayang sama aku.” Sebagai Budak Bangka kalau senyum gigihnya utuh, padahal di kampungnya gigi teman-temannya sudah berjendela. Rontok habis kena cuka, maklum rajin banget makan pempek. Hal lain, sebagai seorang tukang gambar, ia bosan menggambar rupa, malah menggambar dengan kata. “Aku tuh nggak bisa menulis cerpen…nggak tahu kok bisa dimuat di Sinar Harapan, Bangka Pos, dll.” Ajaib memang, kok bisa dimuat orang yang nggak bisa bikin cerpen. Cer-penis, yang mengaku tidak bisa menulis ya cuma dia.
Badannya pun mengikuti selera humornya. Waktu di tahun 1995, ia masih berselera memakai baju kaos hitam pendek ketat, dengan logo kelinci kecil putih di dada. 7 tahun kemudian, wajahnya berubah. Lebih bulat. Kupikir ini mengikuti karakter orang-orang lucu yang selalu lebih bulat wajahnya. Lihat aja si Pran. Makanya Datuk Maringgi itu kurus-ceking. Sedangkan Jaya dan Wimar gendut lucu. Tapi GM kurang.
Jadi, tukang gambar ini mentransfer imajinasi tokoh kartunnya dalam rupa tubuhnya sendiri. Dari penggemar angkat barbel, berubah menjadi pecinta indomie Babarsari.
Malam ini, dia khusus kirim email, di subject ia tulis: foto terbaruku, bung. Sebagai penikmat gambar, dan sahabat tukang gambar, aku berusaha berpikir keras. Apa gambar yang ia bayangkan untuk wajah kontemporernya. Kami tidak bertemu sekitar 6 tahun sudah. Yang pasti dia lulus pada akhirnya. Entah apa imajinasinya atas rupanya kali ini?
Soal imajinasinya itu aku tak khawatir. Salah satu cerpennya berjudul “Seekor Anjing Menelan Bom”.
Ini foto Si Onoy. Namanya agak aneh, rupanya diambil dari penggalan suku kata terakhir Agustinus Wahyono. Dibalik. Ya, hidup harus dibalik biar lucu. Mungkin itu filsafat hidup kawanku ini. Sudah macam apa kamu sekarang kawan? Masih berpuisi, jatuh cinta, sms hingga subuh dan tak lupa kau tuliskan seluruh pojok rumah kami dengan rasa hatimu itu. “Mana sketsa wajah kawan perempuanku, yang pacar kamu itu?” Mungkin foto ini kau ambil saat kau pandang wajahnya. Pelan aja kalau lihat, nanti tersipu dia.
***
Onoy adalah tukang gambar lebih dari satu dekade untuk UAJY. Dari tahun 1990-an hingga 2000-an ia masih menggambar untuk kampus UAJY. Sebuah kerja bakti yang panjang. Onoy bisa dikontak lewat e-mail: sayagusnoy@yahoo.com atau HP: 081213920967.
Sebagai kawan makan mie rebus saya bersyukur ia bisa menulis puis lagi. Sebelumnya ia sempat lenyap ditelan gambar bangunan. Jejak jiwanya sempat tak terlihat. Ini sketsanya tentang seorang perempuan kawanku, yang kini jadi kekasihnya itu.
- Jocylen
mereka menunggu adukan kopisusu
sedang hitam silam masih mengadu rindu
: percumbuan bulanbiru
masih mereka menunggu secangkir kopisusu
para peracik sibuk mengatur waktu
: kopisusu mencumbu bulanbiru
Sentul Bogor, 2008
*******
(Kenapa hidup itu kadang mirip anjing menelan bom, Noy?)
Birmingham, 2008
*) Dominggus Elcid Li, Alumni Fisip UAJY, kini kuliah S-3 di Birmingham Inggris.
==================================================

Tidak ada komentar: