Minggu, 01 Maret 2009

Sarjana Ngeracau Menulis Esai Seperti Kartun


Setelah saya mengomentari (sebanyak 19 halaman kertas kuarto dengan spasi 1 ½) cerpen karya Willy Siswanto tapi dipangkas habis-habisan (mungkin 6-7 halaman kertas kuarto) oleh redaktur budaya lantas dimuat, saya sempat kuatir bahwa komentar saya hanya menjilati kulit, tidak menjangkau inti (esensi) sastra (karya).

Kekuatiran saya terjawab manakala sebuah pesan singkat menyelinap dalam HP saya. “Esai sarjana yg tdk tajam pd inti sastra dan ngeracau, bagiku jd sprt kartun,” katanya. Duh!

Kesalahan siapakah hingga kesarjanaan saya disebut-sebut, dianggap ngeracau, dan esai saya diidentikkan dengan kartun ?


A. Gelar Akademis

Sarjana Strata-1 Arsitektur saya gapai di Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Semasa kuliah saya diajarkan tentang Struktur dan Konstruksi Bangunan, dan Asas-asas Perancangan Arsitektur. Masing-masing lebih dari 1 semester. Normal ditempuh dalam 9 semester atau 4,5 tahun untuk menjadi seorang sarjana.

Struktur dan konstruksi bangunan dapat dimulai dari pondasi, balok, plat lantai, ring balok, dan seterusnya. Itulah kekuatan suatu bangunan. Sementara dalam asas-asas perancangan, ada materi mengenai esensi bangunan berdasarkan fungsi-fungsinya.

Selama kuliah saya pun aktif dalam kegiatan jurnalistik tingkat fakultas. Majalah kami bernama Majalah Mahasiswa Teknik SIGMA. Juga menerbitkan buletin Dies Natalies kampus. Dan saya termasuk membidani Unit Penerbitan Pers Mahasiswa tingkat universitas (beranggota mahasiswa dari fakultas-fakultas yang ada di UAJY, misalnya FISIP, Biologi, Industri, Ekonomi, dan lain-lain).

Saya pernah membuat karikatur untuk souvenir pembicara “Mengintip Demokrasi Lewat Lubang Humor” yang diselenggarakan oleh FISIP UAJY. Wajah-wajah yang saya permak ketika itu adalah GM Sudarta, Wiemar Witoelar, Jaya Suprana, Darmanto Djatman, Permadi, dan Udin Majalah Humor. Dalam acara seminar FISIP UAJY lainnya pun saya membuat karikatur pembicara untuk souvenir. Saya tidak dibayar sepeser pun karena saya menikmati solidaritas-idealisme kawan-kawan FISIP.



Tugas saya mula-mula sebagai seorang illustrator, kartunis/karikaturis. Tapi saya pun harus bertugas melakukan reportase seperti wartawan. Pembekalan kami diadakan setiap tahun selama satu minggu dalam kegiatan Apresiasi Jurnalistik Mahasiswa, yang selalu mengundang tokoh-tokoh pers senior di Yogyakarta. Dan pelatihan menulis yang paling intens saya lakukan dalam kegiatan sehari-hari di sekretariat SIGMA. Selama menulis ulang dari kaset rekaman ke tulisan, saya sering didampingi oleh senior-senior saya. Sebab, kata mereka, saya harus menulis hasil reportse dengan benar sesuai isi repotase itu sendiri. Kemudian saya diajari cara mengeditnya supaya nanti saya bisa menggantikan tugas senior sebagai editor ketika mereka tidak lagi aktif di pers mahasiswa.

Kartun, bagi saya, bukan hanya saya gambar tetapi saya tulis dalam suatu esai. Ada yang pernah dimuat di majalah Citta Jaya UAJY. Satu kali saya mengadakan pameran tunggal “Karikartun” di selasar kampus Teknik UAJY. Pun orang-orang yang saya kenal dan temui, mulai dari satpam parkir kampus, cleaning service hingga rektor termasuk rektor dari luar kampus UAJY karena tugas ekstrakurikuler saya sebagai wartawan mahasiswa, yang juga menjaring berita hingga luar Yogyakarta.


Dosen Arsitektur Ir. Djarot Pubadi, MSc dan Dosen Teknik Sipil UAJY Ir. FX Soehadi



Mantan Rektor UAJY Drs. Silvester A. Kodhi (1993) dan Eks Kekasih Kawanku, 2002



Rektor UGM Moh.Adnan, 1992 dan Rektor UMY Ir. Dasron Hamid, 1992


Dalam berilustrasi, kartun/karikatur, saya pun merambah ke luar kampus setelah saya melintasi penerbitan majalah dari fakultas lain seperti FISIP, Ekonomi, Industri dan seterusnya..Saya paling anti menyandang julukan “Jago Kandang” (di kampus sendiri).

Pertama-tama lomba kartun opini, saya hanya memperoleh Juara Harapan I di Penerbitan Kanisius Yogyakarta, dan juara II di lingkup muda-mudi gereja Baciro yang luas wilayahnya hingga Babarsari – tempat kos saya. Berikutnya kartun-kartun (gagcartoon) saya di media massa umum, seperti di Majalah HUMOR, INTISARI, LIGHTCLUB, BUSOS, Tabloid BOLA, mingguan Minggu Pagi Yogya, dan lain-lain.


Tidak cukup menjadi peserta lomba atau kontributor dadakan untuk media massa umum. Selanjutnya saya menjadi juri Lomba Karikatur tingkat Mahasiswa se-Yogyakarta dan sekitarnya. Rekan juri saya waktu itu adalah Zacky (Dosen di Fakultas Disain Komunikasi Visual Institut Seni Indonesia dan juga illustrator beberapa buku kumcer Seno Gumira Ajidarma) dan Joko Santoso (mahasiswa ISI sekaligus illustrator Harian Kedaulatan Rakyat). Pernah juga menjadi Juri Lomba Lukis di sebuah gereja di daerah Mlati Sleman, berdampingan dengan seorang guru Seni Rupa SMA dan mahasiswa ISI.



Berkartun dan menulis tentang kartun bukanlah satu-satunya kegiatan saya. Saya juga membuat esai-esai, khususnya opini sosial. Kalau di lingkup kampus saya sudah terbiasa muncul termasuk dibukukan dalam kumpulan esai “Kampus Demokratis” sekaligus membuat kartun-kartun opini untuk setiap tulisan yang dimuat.



B. Gelar Non-Akademis

Menulis esai dan sastra merupakan kegiatan saya setelah saya merasa selesai dalam kegiatan kampus. Tanpa mengerti teori, saya menulis cerpen atau puisi dan mengirimkannya ke media massa. Bangka Pos, Sriwijaya Pos, Batam Pos, Lampung Post, Sinar Harapan, dan seterusnya, termasuk kumpulan cerpen tingkat nasional.

Lomba menulis, baik menulis esai maupun sastra pernah saya lakoni. Sebab, menurut saya, lomba itu sama seperti ujian di sekolah. Apakah pelatihan menulis saya cukup untuk lingkungan kampus, kepuasan diri, ataukah karena diminati oleh subyektivitas redaktur media massa

Dalam kancah lomba yang diselenggarakan oleh Harian Bangka Pos melalui even Ekawarsa-nya (1999), saya meraih Juara I Lomba Menulis Artikel. Sementara satu esai dan satu cerpen masuk nominasi. Saya pun menjadi nominator untuk Lomba Menulis Esai Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) Jakarta sekaligus berada pada tulisan pertama dalam buku “Bunga Rampai Esai HAKI”.  

Lomba menulis cerpen pertama saya masuk lima besar di Dewan Kesenian Sleman Yogyakarta. Kemudian di Dewan Kesenian Bengkalis Riau, dan Majalah SAGANG Riau. Dan, tahun 2006, meraih Cybersastra Award untuk Cerpen Pilihan Terbaik

Dalam puisi, saya hanya menjadi nominator lomba puisi Rakyat Merdeka Jakarta.



Setelah beberapa kali dimuat dan masuk lima besar lomba menulis cerpen dan puisi, barulah saya belajar teori, yang saya pelajari dari buku-buku, contohnya “Teori Menulis Prosa” karya Suminto A. Sayuti, “Menulis itu Gampang” karya Arswendo Atmowiloto, dan lain-lain. Saya memiliki lebih dari lima buku teori menulis cerpen. Ndilalahnya, saya pun pernah tergabung sebagai juri (bersama Raudal Tanjung Banua dan Agus Prih) Lomba Menulis Cerpen tingkat Pelajar se-Yogyakarta.




Begitulah. Ada kepuasan tersendiri ketika saya harus menghadapi ujian-ujian dan seleksi-seleksi tingkat luar Yogyakarta ketika itu. bertarung karya tingkal luas membuat semangat saya selalu menyala. Saya hanya ingin melihat perjalanan proses kepenulisan saya sudah sampai taraf mana.



Ternyata saya pun pernah diminta menjadi seorang pembicara seminar tentang sastra internet di Universitas (dulu IKIP) Negeri Yogyakarta, juga seorang pembicara seminar setelah menjadi nominator lomba menulis esai HAKI yang semula jadi pembicara tingkat nasional di Yogyakarta selanjutnya tingkat semi internasional di Jakarta, yang kebetulan saya bersanding dengan Martha Tilaar. Setiap sesi selalu diisi oleh pembicara dari luar negeri, baik dari Asia, Eropa maupun Amerika.


C. Sebuah Bangunan Tulisan

Setiap bangunan mempunyai sistem struktur tertentu agar tetap kokoh dan tahan lama. Rumah tinggal satu lantai, dua lantai, dan seterusnya, apartemen sekian puluh lantai, hangar, rumah genset, dan lain-lain, memiliki sistem struktur yang berbeda.

Berkaitan dengan suatu karya sastra, saya mengamatinya dengan cara memandang seperti bangunan. Bangunan cerpen, yang kemudian saya melihat dari esensi hingga strukturnya. Memang yang terpenting awalnya adalah menulis, bukan mempelajari. Namun untuk lebih jeli melihat kekurangan sendiri, saya belajar teori seperti teori-teori arsitektur.

Di samping itu saya mengikuti diskusi-diskusi tentang sastra. Ada kritik, ada tepuk tangan. Sebab diskusi-diskusi lebih mengarah kepada perkembangan sastra terkini. Bagi saya, teori mengembalikan kepada pengetahuan esensial. Diskusi lebih mengarahkan saya kepada aplikasi dan modifikasinya, bahkan mungkin sampai pada penemuan teori terbaru.

Saya pun mencoba membuat semacam apresiasi. Mula-mula pada karya kawan-kawan di sastra internet, semisal buku kumpulan puisi karya Nanang Suryadi lalu dimuat di situsnya. Berikutnya, menanggapi esai Binhad Nurrohmat dan tanggapan (kritik) saya tersebut dimuat di harian Sinar Harapan Jakarta. Lalu menanggapi statement-statement Sutardji Calsoum Bahri yang kemudian dimuat di Cybersastra dan mendapat perhatian khusus dari penulis Kohar A. Ibrahim.

Sampai kemudian pengamatan saya terhadap kartun di Bangka Pos dan buku kumpulan cerpen “Stannium Comp”-nya Willy Siswanto (WS).


D. Gugatan WS

Esai sarjana yg tdk tajam pd inti sastra dan ngeracau, bagiku jd sprt kartun,” gugat WS dalam sebuah SMS kepada seorang kawan.

Saya mengetahui nama dan kiprah WS, mula-mula dari sepupu saya, baik secara lisan maupun kliping koran yang dikirimkan oleh adik sepupu saya. WS adalah ketua Komunitas Pekerja Sastra Pulau Bangka (KPSPB). Komunitas ini menyeruak ketika sastra, khususnya sastra kontemporer, di Bangka belum kelihatan gregetnya. Media massa yang waktu itu baru muncul adalah Bangka Pos, yang pada lembar budayanya digawangi oleh Nurhayat Arif Permana (Alik).

Dari kliping koran kiriman adik sepupu itu, saya pun menemukan berita seputar Lomba Desain Logo Bangka Belitung, dan sebuah KTP beserta perempuan bernama Rida dari Belinyu. Saya kurang paham, kenapa dulu saya dikirimkan kliping-kliping tersebut.

Kemudian dari buku-buku KPSPB, barulah saya mengetahui nama WS, bergelar Diploma II bidang Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas (jaman dia, kampus itu masih berstatus IKIP) Sanata Dharma Yogyakarta. Diploma II atau dua tahun alias empat semester (bedakan antara Diploma II Pendidikan Bahasa Inggris dan Sarjana S-1 Arsitektur yang membuat skripsi sendiri sekaligus gambar rencana-rancangan arsitekturnya agar tidak terjebak pada opini yang "ngeracau"). Tahun 2003 saya menemuinya di rumahnya. Saya ingin lebih mengenal, selain sosoknya, juga kapasitas intelektualnya dalam menulis (melalui karya-karyanya).

Karya-karyanya yang paling "fenomenal" dan saya kritisi ketika itu adalah kumpulan cerpen pertamanya. Kalau tidak salah, tulisan saya sebanyak 19 halaman itu dimuat di sebuah harian lokal setelah dipotong sana-sini oleh redakturnya. Pemotongan tersebut sama sekali tanpa ijin alias seenak udelnya sang redaktur budaya. Sama sekali tidak memiliki etika atas karya tulis orang lain. Seharusnya redaktur itu mengembalikan dulu tulisan-tulisan saya dengan melampirkan sebuah catatan khusus.

Selain itu, saya tidak mengetahui kapasitas sang redaktur budaya dalam menulis karya semacam yang saya buat. Saya belum pernah membaca satu pun tulisan kritisnya mengenai sebuah karya sastra genre cerpen, yang berbobot-obyektif, kecuali cerpen-cerpen si redaktur yang bergaya sama dengan WS. Apa boleh buat, mentang-mentang redaktur budaya, bertindak ngawur pun suka-suka dia, dan toh perusahaan koran itu tetap memakainya.

Kembali ke cerpen-cerpen WS. Isi cerpen-cerpennya cenderung "menggurui" (sok pintar / keminter) karena cerpen yang dibuatnya benar-benar ceramah pendek, ceracau pendek, cerewet pendek dan cercaan pendek. Cerpen-cerpen seperti masa tempo doeloe atau pantas untuk bacaan sehat untuk murid SD-SMP karena berisi nasihat-nasihat atau komentar-komentar yang sudah tidak layak dibaca oleh orang berumur di atas 25 tahun.

Jangankan bicara soal inti (substansi) cerpen, lha wong esensi dan struktur cerpen saja WS tidak mengerti sama sekali. Apakah WS hanya tahu bahwa inti cerpen itu ceracau pendek atau ceramah pendek, "sok menggurui / sok keminter"? Alih-alih menjadikan cerpen sebagai "media kritik sosial", "media diplomasi seorang Diploma II", "kendaraan ceramah", lebih baik sekalian saja membuat naskah esai atau ceramah.

Alumni D-II Pendidikan Bahasa Inggris Universitas (dulu IKIP) Sanata Darma Yogyakarta dan aktif di majalah kampusnya, tapi kok tidak mengerti esensi cerita pendek? Saya, S-1 Prodi Teknik Arsitektur UAJY yang jelas-jelas tidak berhubungan dengan kebahasaan semacam itu, merasa "dibodohi" oleh "guru" alumni USD Yogyakarta itu. Beruntungnya, saya tidak pernah belajar menulis pada WS sehingga saya tidak disesatkan pada teori sastra genre cerpen yang ngeracau bikinan WS.

Barangkali Anda tidak percaya tulisan saya ini, lantas menuduh saya seenaknya mengritisi karya WS? Silahkan baca Anda sendiri kumpulan cerpen "Stannium Comp"-nya itu.

Karya cerpennya yang paling aneh untuk meraih juara I Lomba Menulis Cerpen adalah cerpen Marga. Cerpen yang sama sekali tidak jelas esensi-struktur teoritisnya, yaitu pada konflik, tokoh protagonist-antagonis-nya dan dimensi waktunya itu anehnya menjadi pemenang I hanya lantaran kriteria Tema. 

Saya mempertanyakan kualitas dewan jurinya, apakah mengerti esensi cerpen ataukah tidak mengerti sama sekali. Esensi saja tidak tahu, bagaimana sebuah karya bisa dinyatakan sebagai cerpen sekaligus juara I (padahal di buku teori pelajaran bahasa dan sastra Indonesia untuk SMP sudah jelas tertera tentang esensi cerpen)?

Salah seorang jurinya, yakni redaktur harian lokal, sama sekali tidak mengerti apa itu esensi cerpen itu. Pantas saja saya membaca cerpen-cerpen si redaktur itu pun tidak memiliki esensi sebagai cerita pendek (short story), melainkan ceramah pendek, ceracau pendek, cerewet pendek, dan cercaan pendek. Sama tidak mengertinya kedua manusia itu. 

Kalau sudah begini, jelas sangat "ngeracau" (pinjam kata dari SMS WS). Pantas saja saya kemudian "dimusuhi" bahkan "diancam mati" (secara fisik!-baca SMS ancaman mati) oleh sang redaktur budaya sampai-sampai Sunly Thomas Alexander melarang saya pergi ke Pangkalpinang karena menghawatirkan keselamatan jiwa-raga saya dari ancaman mati (KONTRA INTELEKTUAL) seorang Sarjana Agama (yang tiba-tiba merasa berhak mengambil alih wewenang Sang Pencipta dengan cara hendak menghabisi hak hidup saya di dunia fana ini!) yang juga Redaktur Budaya (yang melestarikan budaya primitif dan bar-barianis).

Tapi baiklah. Mungkin saya yang bersalah karena menulis sebanyak 19 halaman kertas kuarto dengan spasi satu setengah. Mungkin lagi saya yang bersalah atas pemuatan esai yang membahas kulit, tidak menukik pada inti sastra. Mungkin pula saya yang bersalah karena gelar kesarjanaan saya ternyata tidak menghasilkan suatu esai sastra yang bermutu – hal yang tak pernah saya perhatikan sebagai seorang sarjana Teknik. Ataupun saya yang bersalah atas kengeracauan saya. Dan saya yang bersalah karena menulis esai seperti kartun – salah satu hobi menggambar saya ketika masih SMP dulu.

Saya tidak pantas menyalahkan kinerja redaktur budaya karena redaktur budaya bahkan siapa pun bisa berdalih ini-itu. Saya sangat bisa memaklumi kapasitasnya dalam bercerpen (tidak mengalami proses seleksi alami sebagaimana proses kreatif yang teruji dalam lingkup nasional), meski nasib/takdir menempatkannya sebagai seorang redaktur budaya. Saya tidak pantas menyalahkan komentar cerpenis WS itu karena memang pemuatan esai sebatas kulit saja dan cerpenis tersebut adalah sastrawan paling hebat (?) di Bangka Belitung.

Namun saya pikir, alangkah naifnya jika komentar cerpenis tersebut sama dengan penilaian para pembaca lainnya, terlebih pembacanya adalah Bapak Suhaimi Sulaiman, Bapak L.K. Ara, Bapak Ian Sancin, Bapak DN Kelana, Ibu Ira Esmiralda Kurnia, Bapak Sunlie Thomas Alexander, Bapak Kario, dan sastrawan berkelas atas di Babel lainnya.

Agar kesan ‘komentar kulit’ dari satu orang tidak menjadi vonis kolektif, kemudian saya memberikan komentar asli saya (yang belum digunting habis-habisan oleh redaktur budaya) kepada beberapa sastrawan kelas atas di Babel. Saya tidak harus membela diri saya sedemikian rupa.

Saya pun berpikir, apakah seorang WS setelah mendirikan sekaligus mengetuai KPSPB lantas menjadi seorang diktator sastra yang sama sekali tidak memahami arti resepsi sastra, “kritik sastra”, egaliter sastra, bahkan ungkapan “pengarang mati setelah karya tercipta”, atau secara singkatnya seorang WS benar-benar KONTRA INTELEKTUAL PASCA STADIUM COMA?

Saya teringat pada kritik orang-orang Pujangga Lama terhadap karya-karya Chairil Anwar. Bukan Chairil Anwar sendiri yang membela karyanya, melainkan seorang HB Jassin melakukan pembelaan terhadap karya kepenyairan Chairil Anwar. Peristiwa sekian puluh tahun itu ternyata tidak berlaku di Bangka Belitung era millennium ini. Memang sejarah tidak selalu menjadi tolok ukur cukup penting bagi setiap orang, termasuk bagi seorang WS. Persoalannya, apakah WS lebih hebat daripada Chairil Anwar dan HB Jassin, mungkin begitulah yang nyata dalam geliat sastra kontemporer di Babel?

Namun obyektivitas para pembaca tetap saya junjung, apalagi saya pernah lebih lima tahun berkecimpung sebagai wartawan, illustrator, layouter, editor, dan pemimpin redaksi di pers kampus saya dulu di Yogyakarta. Saya berikan pula tulisan saya mengenai pengamatan terhadap karya WS itu di sini. Biarlah para pembaca sendiri yang dapat menemukan, apakah komentar saya benar-benar ngeracau (bikin kacau), sebatas kulit ataukah sampai pada inti sastra.

Jangan lupakan pula, "Catatan Kepada Rakyat", yang kemudian saya buat ulasannya dengan judul "CATATAN KEPADA PENYAIR" dan saya muat di situs ini juga. Kalau saya kaitkan dengan prinsip hidup menulisnya "hidup (mencari nafkah) dari menulis, menulis harus menghidupi (memperoleh nafkah)", tindakan CURANG-CULAS-nya sangat lumrah. Lantas bagaimana dengan kasus LOGO Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang pernah menghebohkan ketika perlombaan, penjurian, dan seterusnya?

Di luar itu, sebagian rekan sastrawan di Babel mengenal seorang WS adalah seniman proposal, seniman proyektif, dan makelar seni. Saya pernah heran melihat betapa ngototnya WS menyodorkan karya-karya lukisnya ke pemprov untuk mengisi dinding-dinding kantor gubernur dan dinas-dinas. waktu itu dinding-dinding kantor masih bersih dari pajangan apa saja, dan WS merasa lukisannya wajar (wajib?) mengisi kekosongan bidang vertikal tersebut. Pada bagian ini saya susah membedakan posisi WS sebagai seniman ataukah pedagang lukisan.

WS juga saya kenal sebagai sastrawan proposal atau sastrawan APBD. Selama bergaul dengan WS, saya melihat WS getol menuntut realisasi ABPD bidang kesenian-kebudayaan. Selama saya bergaul dengan beberapa sastrawan berkaliber nasional, kecuali L.K. Ara, sastrawan-sastrawan tersebut betul-betul survive dan menelorkan kreasi berkualitas tanpa adanya campur dana APBD. Contohnya Saut Situmorang, Raudal Tanjung Banua, Joko Pinurbo, Puthut EA, Eka Kurniawan, dan lain-lain, bisa survive dan berkualitas tanpa mengemis atau merengek pada belas kasihan birokrat untuk membagikan remah-remah APBD. 

Lha WS? Belum juga jelas kehebatannya bersastra, sudah menuntut pencairan APBD sebesar ini-itu untuk menghidupi dunia sastra Babel. Menurut saya, seorang WS bisa "gulung kata" sedini mungkin jika hidup di kantong-kantong seni yang sudah padat seniman dan tidak terhembus angin APBD!

Saya sangat berharap para pembaca bersedia menuliskan pembelaan terhadap karya WS yang telah saya kritisi tersebut. Saya tidak akan membela tulisan yang telah saya publikasikan itu sebab saya memberikan peluang sepenuh kepada sidang pembaca untuk "dibantai" secara intelektual pula.

Namun jikalau komentar-komentar saya benar, mohon jujurlah kepada saya sekaligus pembaca lainnya, lalu tuliskan kejujuran itu! Jangan cuma lihai bergunjing menghabiskan energi tanpa hasil berupa tulisan argumentatif alias menjadi pecundang dan pengecut yang sama sekali tidak mampu menuliskan argumentasi intelektual!


*****
Sungailiat, November 2005-Maret 2006

Tidak ada komentar: