Rabu, 25 Maret 2009

Catatan Kepada Siapa

(Secuil Ulasan Cacat Terhadap Puisi Catatan Kepada Rakyat)

Tulisan ini sebelumnya (tahun 2006) pernah saya buat tapi tidak pernah sudi dipublikasikan oleh media massa cetak mana pun, baik di daerah saya sendiri (Bangka Belitung) ketika itu maupun di lingkup nasional (ibukota). Oleh karenanya dengan tidak membatasi publisitasnya, tahun 2007 saya mengirimkan tulisan tersebut ke sebuah situs internet, dan judulnya Catatan Kepada Penyair. Namun kenapa pada kesempatan ini saya munculkan kembali meski dengan judul berbeda, Catatan Kepada Siapa?

Begini. Pada 07 Januari 2009 saya menerima kiriman dari Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Bangka Belitung Yan Megawandi, yaitu buku Antologi Penyair Bangka-Belitung Lintas Generasi Badala terbitan Emas Bangka Production, September 2008, yang dieditori oleh Sunlie Thomas Alexander. Buku tersebut dikirimkannya pada saya lantaran memuat juga dua puisi saya, dan ada puisi Willy Siswanto berjudul Catatan Kepada Siapa.


A. Dua Puisi Catatan Kepada Rakyat

Pertama, karya Gautama Indra alias Peter Siswanto versi Harian Bangka Pos (2001) atau buku antologi puisi Balada, hal.38-39 (Emas Bangka, 2008).

Catatan Kepada Rakyat

Yang hilang di pelataran rumah pengasingan dalam hujan
Malam pekat 11 Maret 1949

Sejarah seperti batubatu gunung yang kikis digerus air hujan di lereng Menumbing dan menggelinding ke Sungai Mentok Asin, keruh oleh peradaban dan tenggelam ke bawah plastik dan sampah polutan. Air laut Selat Bangka tak akan lagi mampu merontokkan lumut dan kulit kerang yang menutupi wajahnya. Tetapi sampai kapanpun, ia adalah batu gunung, juga bila berada di kolam taman atau museum purbakala. Di ruang istana atau rumah rakyat jelata. Ia milik alam. Ada meskipun jaman meninggalkannya.

Bukanlah mereka yang tak mengalami revolusi, / yang mengerti arti perjuangan. / Penderitaan adalah kebanggaan bagi anak cucu. / Ketika bendera berkibar dalam setiap relung hati. / Menyuarakan kemerdekaan. Warisan satu-satunya.

Bukan catatan tentang pembunuhan dan kebiadaban. / Tetapi jalan terakhir pembelaan hak dalam memperoleh hidup. / Atas penjajahan, kita layak kobarkan / -- pengorbanan yang ikhlas dan niat yang utuh.

Tidak pantas kami berlindung dan sembunyi di balik punggungmu, / Menikmati kekuasaan dengan anggur dan gelimang emas. / Atau meninabobokanmu dengan ketergantungan hutang. / -- Seperti politik, ekonomi juga tak pantas / menjadi panglima pembangunan. / Apalagi militerisme.
Junjung di kepalamu, hukum dan kemanusiaan. / Panggul di pundakmu, keadilan dan kesejahteraan. / Dan perdamaian akan tersemai seperti butiran embun.

Telah aku lihat jauh ke depan. / Kita akan terus mengalami pergolakan / Menyingkirkan benalu kefasikan dan kemungkaran / Menata lagi nurani dalam derai tangis dan legam tanah air. / Tak perlu lagi ada darah bersimbah menggenangi pangkuan ibu.

Kepadamu akhirnya, / Aku titipkan bangsaku.

Sejarah seperti angin gunung. Berhembus mengitari padang dan lembah. Membawa putik-putik sari ke pelaminan ilalang dan padi. Menggiring layar perahu nelayan ke geliat ombak lautan. Menjemput kehidupan. Senantiasa. Tak pernah berhenti, meskipun manusia tidak mengenangnya.

Pangkalpinang, 6 Juni 2001


Kedua, karya Willy Siswanto, versi buku antologi Kaki-Kaki Telanjang, hal.41 (Yayasan Aktualita Karsa Pangkalpinang, 2005).

CATATAN KEPADA RAKYAT

yang hilang di pelataran rumah pengasingan
dalam hujan malam pekat 11 Maret 1949
Sejarah seperti batubatu gunung yang kikis digerus air hujan di lereng Menumbing dan menggelinding ke Sungai Mentok Asin, keruh oleh peradaban dan tenggelam ke bawah plastik dan sampah polutan. Air laut Selat Bangka tak akan lagi mampu merontokkan lumut dan kulit kerang yang menutupi wajahnya. Tetapi sampai kapanpun, ia adalah batu gunung, juga bila berada di kolam taman atau museum purbakala. Di ruang istana atau rumah rakyat jelata. Ia milik alam. Ada meskipun jaman meninggalkannya.

Sejarah seperti angin gunung. Berhembus mengitari padang dan lembah. Membawa putik-putik sari ke pelaminan ilalang dan padi. Menggiring layar perahu nelayan ke geliat ombak lautan. Menjemput kehidupan. Senantiasa. Tak pernah berhenti, meskipun manusia tidak mengenangnya.
Pangkalpinang, 6 Juni 2000


B. Dua Pencipta

Keduanya saudara kandung. Gautama Indra alias Peter Siswanto adalah adik kandung Willy Siswanto. Keduanya berasal dari Kutoarja, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, dan merantau, menetap sampai berkeluarga di Bangka Belitung, tepatnya Kotamadya Pangkalpinang. PS dan WS sama-sama ‘Siswanto’, dan beralamat tinggal yang sama pula; Jalan Lembawai 16 Pangkalpinang (biodata PS versi Bangka Pos tahun 2001). Di situ juga alamat Sekretariat KPSPB (versi Lagu Putih Pulau Lada, tahun 2000, hal.61), dan YAKP (versi kumpulan cerpen Stannium Comp 2250 karya WS tahun 2005, hal.2) yang telah menerbitkan beberapa buku sastra.

Lebih jelasnya, silahkan simak :

Pencipta pertama, Gautama Indra alias Peter Siswanto (GI/PS), lahir di Kutoarjo (Kabupaten Purworejo), Jawa Tengah, 3 Mei 1977. Lulus Diploma III Jurusan Akuntansi sebuah STIE di Bandung. Selain banyak menulis puisi dan cerpen di Bangka Pos, puisinya pernah meraih Juara I Lomba Cipta Puisi Peringatan 100 Tahun (Haul) Bung Karno 2001 (Jakarta).

Pencipta kedua, Willy Siswanto (WS), lahir di Kutoarjo (Kabupaten Purworejo), Jawa Tengah, 29 Januari 1967. Lulus Diploma II Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di IKIP (sekarang Universitas) Sanata Dharma Yogyakarta. Menyelesaikan Scripture Venture Training di Baguio City, Manila, Filipina dan studi pengamatan seni dan kehidupan sosial rakyat marjinal di Paranaque, Metro, Manila, 1992, serta meraih diploma dalam studi jarak jauh manajemen dari PPM, Jakarta, 1993, dan mengikuti Magang Nusantara Bidang Senirupa oleh Yayasan Kelola di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung 2003. Pernah menjadi redaktur majalah bahasa Inggris Dialogue (1985-1987), contributor tetap untuk UCAN News (Hongkong) dan mingguan Hidup (Jakarta), serta penyumbang naskah untuk bulletin Amnesty International – Asia. Menulis cerpen dan puisi dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sejak SLTA, juga artikel, berita, esai. Tulisannya dipublikasikan di majalah Hai, jurnal Kolong Budaya, harian Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Sriwijaya Post, Bangka Pos, tabloid Media Guru, Genius, Hello, Suara Bangka, Bangka Ekspres, dan lain-lain. Puisi-puisinya juga tergabung dalam sejumlah antologi bersama seperti BARI I (KPPMP, 1996), Lagu Putih Pulau Lada (KPSPB, 2000), dan lain-lain. Masih seabrek lagi debutnya di Bangka Belitung.


C. Para Juri dan Editor

Secara kualitas melalui penjurian berskala nasional, terbukti bahwa puisi CKR diciptakan oleh GI/PS. Peringatan Haul Bung Karno 2001 tentu saja berbeda jauh dengan Haul Bung Katro (katro – pinjam istilah Thukul Arwana), baik skala popularitas-historitas di dalam negeri maupun luar negeri. Para juri dalam lomba berskala nasional itu pun bukanlah orang-orang yang gugup menilai kualitas puisi, baik esensi, struktur, substansi, inovasi, kualifikasi, licentia poetica, maupun aspek lainnya dalam suatu pagelaran kompetisi nasional.

Secara publisitas, kemunculan pertama puisi CKR dalam keseluruhannya di media massa cetak adalah di harian Bangka Pos tahun 2001, yang mana bisa dikategorikan “skala regional-lokal”. Artinya, editor publikasinya adalah redaktur budaya Bangka Pos ketika itu. Publik pembaca langsung menerima “hasil ciptaan” alias kreasi seni sastra berbentuk puisi yang berjudul CKR itu “diciptakan” oleh GI/PS, bukan WS.

Sepakat atau tidak, terbukti bahwa pada tahun 2001 secara nasional dan regional-lokal puisi CKR merupakan ciptaan GI/PS. Publik nasional dan regional-lokal pun melihat puisi CKR diciptakan oleh GI/PS, bukan WS (2005), AS, BS, CS, DS, ES, FS, GS, HS dan Siswanto seterusnya selain Peter Siswanto. Kemunculan pertama di media massa cetak Bangka Pos dengan nama kreatornya “GI/PS”, menurut saya, sudah lebih dari cukup untuk menjelaskannya.

Munculnya puisi CKR ciptaan WS dalam buku KKT terbitan Yayasan Aktualita Karsa Pangkalpinang (YAKP) tahun 2005 dengan pengurangan isi puisi CKR kreasi GI/PS, jelas memunculkan pula sebuah kontroversi meski agak kurang gizi, baik itu pada sisi si kreator maupun editornya. Siapa pencipta puisi CKR yang sesungguhnya karena sebelumnya tertera nama GI/PS tapi kenapa bisa diaku oleh WS dalam buku KKT-nya? Penerbit buku KKT adalah YAKP, yang otomatis memiliki kaitan penuh secara yuridis-notaris, dan memiliki struktur organisatoris yang terdiri atas ketua, anggota, dan lain-lain.

Tidak hanya berhenti di situ. September 2008, tiba-tiba publisitas puisi CKR kreasi GI/PS di Bangka Pos (2001) dikukuhkan kembali dalam buku antologi bersama Balada bahkan bergabung dengan beberapa puisi karya orang Babel nomor satu (Gubernur) dan Kepala Dinas Pariwisata-Kebudayaan memperlihatkan perbedaan yang kentara dengan publisitas-dokumentasi puisi CKR kreasi WS dan buku KKT (2005) sebagai antologi tunggal (satu penulis). Tentu saja editor buku Balada lebih memahami soal pendokumentasian puisi karya GI/PS dalam kumpulan bersama karena ini pun mempertaruhkan reputasi seorang Sunlie Thomas Alexander.

Melalui suatu pembicaraan (berkaitan dengan penerbitan buku KKT), Ketua YAKP Ki Agus Hazirianjaya alias Ian Sancin pernah mengaku pada saya, WS sama sekali tidak melibatkan orang-orang yayasan (WS terhitung anggota) termasuk ketuanya sendiri dalam proses memilih, mencetak dan menerbitkan kumjak KKT (termasuk kumcer SC 2250, 2005) bahkan stempel YAKP pernah berada di tangan WS dalam kurun waktu lama.


D. Waktu Pembuatan dan Publikasi

Waktu pembuatan kedua puisi CKR menunjukkan angka yang berbeda. Puisi CKR versi Harian Bangka Pos 2001 dan buku Balada 2008 diciptakan GI/PS pada 6 Juni 2001. Sedangkan Puisi CKR versi buku KKT 2005 diciptakan WS pada 6 Juni 2000. Tanggal dan bulannya sama tapi tahunnya berbeda. WS lebih dulu “mencipta”-nya (tahun 2000); satu tahun sebelum GI/PS “mencipta”-nya (tahun 2001). Selisihnya hanya 1 tahun.

Pada waktu publisitas-dokumentasi-nya, penunjukkan waktu terlihat rentang yang lebih jauh. Puisi CKR kreasi GI/PS dipublikasikan tahun 2001 dan berikutnya, 2008. Sedangkan puisi CKR kreasi WS dipublikasikan dalam buku KKT, tahun 2005. 2001/2008 melawan 2005.

Perbedaan angka tahun itu seolah memperlihatkan semacam petunjuk lainnya, “siapa menjiplak siapa”. Namun siapa yang berani menjamin bakal menemukan “siapa kreator asli”-nya, memergoki “siapa plagiator”-nya, ataupun “siapa sejatinya pendusta” yang bermain patgulipat angka dalam puisi CKR?


E. Konsistenitas Berkreasi Sastra
Barangkali kesamaan judul dan kemiripan isi bisa didalihkan sebagai suatu kebetulan belaka. Lalu status darah kedua penciptanya, yakni WS dan GI/PS yang masih kakak-adik sekandung, pun bisa juga didalihkan sebagai suatu kebetulan. Kebetulan GI/PS adalah adik kandung WS; WS adalah kakak kandung GI/PS. Realitas dan sejarah apa pun sangat memungkinkan untuk diplintir dan menjadi satu kesimpulan : kebetulan.

Lantas apakah akhir tahun 2008 puisi CKR ter-“abadi”-kan dalam buku Balada pun mutlak dan patut disimpulkan sebagai suatu kebetulan belaka? Selain itu, kebetulan lagi, STA yang menjadi editornya, yang mana sebelumnya saya mengetahui puisi CKR dari kliping STA sendiri. Kebetulan lainnya, saya mendapat kiriman buku tersebut sebab saya berada di Jakarta dan buku tersebut kebetulan dikirim oleh Yan Megawandi. Serba kebetulan, Catatan Kebetulan Rakyat, beres?

Kebetulan bukanlah satu-satunya jawaban pamungkas untuk menutupi kebatilan yang senantiasa bergerilya dalam sisi gelap diri manusia. Masih ada lainnya yang mungkin bisa menjadi sejenis petunjuk, yaitu konsistenitas dalam berkreasi seni khususnya sastra. Jika melihat pada dari kiprah berseni sastra dan rupa beserta seabrek-abrek prestasi di Babel dan terhimpun dalam sebuah biodata (tidak jelas, apakah fakta ataukah fiktif), jelaslah WS lebih berpeluang dipercaya sebagai pencipta puisi CKR. Publik sastra di Babel lebih mengenal nama WS (dengan seabrek karya di Bangka Pos seperti puisi, cerpen dan esai hingga tahun 2009) daripada GI/PS (karya-karya seni GI/PS sudah amat sangat jarang sekali muncul di media massa cetak Babel hingga awal tahun 2009).


F. Beberapa Dugaan Sementara

Dalam perkembangan kesenian di Babel satu dekade ini, nama dan karya WS sangat sering berkeliaran dalam aktualisasi karya di media cetak Babel. Konsistenitas dan kuantitasnya pun jelas lebih di atas kreasi GI/PS. Hal ini bukan mustahil menimbulkan dugaan, puisi CKR sebenarnya diciptakan oleh WS sebagaimana tertera dalam buku KKT 2005 itu. Imbas dari kepercayaan itu, GI/PS berpeluang besar dianggap “penglaim” yang tidak sah, pencuri karya, plagiator, dan sejenisnya.

Dugaan sebaliknya, GI/PS adalah kreator aslinya (sesuai dengan pengakuan nasional dan publisitas regional tahun 2001), sedangkan WS sejatinya adalah seorang plagiator (tahun 2005). Dugaan ini tentu saja cukup mencengangkan, mengingat reputasi kesenimanan seorang WS yang sangat terkenal di Babel selama lebih 5 tahun pasca KPSPB. Kemungkinan dugaan atas kecurangan WS ini tidak disepakati oleh sebagian publik sastra Babel, meski jika ada kemungkinan atas kecurangan WS.

Sebagian lainnya menduga, tahun 2001 WS sengaja memakai nama adiknya (GI/PS) untuk mengangkat (mengatrol) nama (pamor) adiknya dalam sebuah even kompetisi tingkat nasional. Sungguh mulia sekali kelihatannya. Namun, mengapa kemudian, tahun 2005, WS memunculkan lagi puisi CKR itu dalam buku antologi puisi tunggal WS, KKT? Kalau memang niat WS mulia (kendati berlumur dusta), mengapa pula (4 tahun kemudian) WS menariknya kembali ke dalam buku kumpulan puisi WS, seolah tidak ikhlas?

Atau, puisi CKR merupakan hasil kolaborasi kakak-adik sekandung itu? Meski puisi CKR semula terpublikasi tahun 2001 atas nama GI/PS, 4 tahun kemudian kelihatannya WS hendak mengatakan bahwa sesungguhnyalah sebagian isi puisi tersebut diciptakan oleh WS. Oleh karenanya WS mengurangi banyak bagian dari puisi tersebut. Apakah memang begitu?

Motivasi awal (2001) dan selanjutnya (2005) menunjukkan sisi kontradiktif (mirip yin-yang) yang signifikan. Di luar dugaan ini-itu yang berniscaya pada manipulasi realitas-intelektualitas kemanusiaan (humanisme), integritas diri (baca : kerendahan hati dan kejujuran) mempunyai peranan vital-absolut dalam diri seorang (calon) seniman sejak awal berproses kreatif sampai menghasilkan suatu kreasi bernama puisi. Integritas diri merupakan sebuah tantangan serius (bagi diri si kreator sendiri), yang jauh lebih serius-menggemaskan daripada ajang kompetisi kualified-bonafid tingkat dunia sekalipun.

Kreativitas, konsistenitas dan produktivitas bukan jaminan sahih bagi orisinalitas kreasi. Mengakui secara terbuka mengenai “hasil cuplikan” atas susunan syair kreasi orang lain lalu mencantumkannya ke catatan kaki suatu karya sendiri merupakan bagian dari manifestasi suatu integritas. Kalau boleh saya menilai, kedua saudara kandung ini, baik GI/PS maupun WS, sama sekali tidak menunjukkan integritas yang mumpuni tersebut, dan terpublikasi-terdokumentasi di rubrik budaya Bangka Pos (2001) atas nama GI/PS, lalu buku KKT (2005) atas nama WS, dan selanjutnya dalam buku Balada (2008) atas nama GI/PS.

Demikian pula waktu pembuatan dan publisitasnya. Sebuah permainan angka yang “dipaksakan” atau “direkayasa” oleh entah “siapa” di antara kakak-adik itu. Puisi CKR kreasi GI/PS dengan 6 Juni 2001, meraih prestasi prestisius dalam skala nasional, dan publisitasnya 2001. Sementara puisi CKR kreasi WS dengan 6 Juni 2000 cukup terpublikasi dalam buku KKT 2005.

Dalam dugaan selanjutnya, puisi CKR karya GI/PS yang terpublikasi di Bangka Pos 2001 bukan atas kehendak GI/PS. Tetapi tidaklah demikian dengan pusi CKR karya WS, sebagaimana sebelumnya sudah disampaikan oleh ketua yayasan. WS sendirilah yang berkehendak memublikasikan puisi tersebut dalam buku KKT dengan membawa-bawa YAKP sebagai penerbit. Jelas terlihat perbedaan latar belakangnya, antara yang “dipublikasikan” (bukan atas kehendak GI/PS) dalam rubrik budaya Bangka Pos tahun 2001 dan dikukuhkan dalam buku antologi bersama (Balada, 2008) itu, sedangkan puisi CKR yang “dipaksa” oleh WS sendiri sembari melakukan “one man show” agar muncul kesan puisi itu “dipilih” (dari segi orisinalitas dan kualitas) oleh YAKP.

Dari beberapa hal di atas, entah GI/PS ataukah WS, salah seorang di antaranya jelas-jelas tidak menghargai (melecehkan?) : pertama, Bung Karno (Soekarno – Presiden RI I) yang nama beliau diperingati dalam 100 Tahun (Haul) Bung Karno; kedua, keluarga besar Bung Karno; ketiga, para panitia dan juri Lomba Cipta Puisi Peringatan 100 Tahun (Haul) Bung Karno; keempat, institusi berkompeten, pemimpin serta para awaknya, yaitu Harian Bangka Pos, Yayasan Aktualita Karsa, dan Emas Bangka; kelima, sidang pembaca; keenam, diri sendiri; dan lain-lain..


G. Hak Atas Kekayaan Intelektual dan Integritas Diri
Dugaan dan manipulasi realitas-intelektualitas insani, betapa-apa pun canggihnya, ujung-ujungnya hanya mengaburkan inti persoalan : hak cipta. Karya seni/sastra merupakan hak atas kekayaan intelektual (HAKI) dalam kategori hak cipta. Pelanggarannya, semisal plagiatisme, termasuk pidana. Dengan kata lain, hak cipta atas sebuah puisi dijamin secara yudisial, dan penciptanya maupun pihak lain (pembaca, calon plagiator) harus menyadari perlindungan hukum tersebut. Hukum pun diadakan sejak semula dan mengalami perkembangan terus-menerus hingga salah satu produknya dinamakan HAKI bermanfaat untuk mengatur dan mengendalikan karakter-karakter negatif dalam diri manusia terhadap sesamanya.

Sialnya, kegiatan plagiarism dalam kreasi sastra bukan satu-dua kali terjadi bahkan pelakunya tidak lain adalah oknum sastrawan sendiri! Kalau sudah begini, jelas menunjukkan karakter buruk dalam diri oknum itu sendiri. Betapapun buku-buku seputar teori dan masalah HAKI sudah banyak dijual, lagi-lagi persoalannya berkutat pada karakter/tabiat/akhlak/integritas melulu.

Begitu pula kaitannya dengan puisi CKR; apakah GI/PS dicap plagiator ataukah justru WS plagiator utamanya, pedang HAKI bukanlah senjata pamungkasnya. Keduanya bisa berdalih. Keduanya bisa menyusun dalil-dalil konspiratif-manipulatif dengan motivasi apa pun, apalagi mereka masih saudara kandung, ataukah sama sekali tidak mampu mengakui apa-apa secara gentle-cerdas-intelek.

Integritas diri (baca: kerendahan hati dan kejujuran) pada akhirnya tetaplah mutlak diagungkan dalam berkreasi puisi, sekalipun kreasi tersebut sama sekali tidak sanggup meraih penghargaan apa-apa dalam rangka gengsi dan ganjaran status lomba. Saya pun bangga atas ketidakbermutuan puisi-puisi saya karena semuanya tercipta tanpa nila “plagiat” atau “dibuatkan” oleh orang-orang terdekat saya. Biar jelek asalkan jujur-murni karya sendiri, bukan “menjiplak” seperti puisi CKR karya GI/PS ataukah WS yang juara nasional atasnama Bung Karno itu.

*******
Balikpapan, 2009

1 komentar:

Dea Anugrah mengatakan...

halo bang.....ayo maen ke blog ku sepasangbalingbaling.blogspot.com