Sabtu, 21 Februari 2009

Masihkah Perlu Diskusi Tentang Esensi Karya (Seni) Sastra dan Estetika di Babel?

Selama empat pekan lalu rubrik Budaya harian Bangka Pos (19/2, 26/2, 5/3, 12/3) berusaha menampilkan dua wacana ‘esensi karya seni’. Semula sastrawan muda kelahiran Belinyu Bangka, 7 Juni 1977, Sunlie Thomas Alexander (STA) berani melemparkan wacana Mengembalikan Seni Pada Hakikatnya, yaitu seni untuk seni, estetika adalah tuan atas seni, dan mewaspadai seni yang dieksploitasi (atas nama estetika) untuk hiburan sesaat, striptease imajis, kendaraan kepentingan, mesin suatu –isme, atau seni untuk bukan seni.

Disebutkan nama dan karya LK Ara (LKA) dan Willy Siswanto (WS) oleh STA, wajar-wajar saja, mengingat kedua nama (sekaligus kiprahnya) tersebut cukup ‘menghegemoni’ di Babel; WS muncul sejak 1999 melalui Komunitas Pekerja Sastra Pulau Bangka sekaligus menjadi koordinatornya; LKA muncul sejak 2003 dengan bendera Yayasan Nusantara Jakarta dan menyandang gelar “pensiunan Balai Pustaka Jakarta”.

Wacana STA disambut oleh sastrawan nyaris lewat muda, kelahiran Tanjungpandan Belitung, 23 Mei 1963, Ki Agus Hazirianjaya alias Ian Sancin (IS) dengan wacana Memahami Esensi Karya Seni, yaitu estetika bersifat ‘lentur’, karya seni terolah dari empat aspek perasaan sebagai penyeimbang, penilaian karya seni harus dikembalikan pada khalayak, dan setiap karya memiliki spesifikasi dan segmentasi tersendiri.

Kedua wacana itu tidak mengajak mudik ke ‘hakikat atau esensi’ seni dengan teori dewa-dewa seni dunia, melainkan fungsi-orientasi. Tulisan ini pun tidak ingin ‘mudik’ ke ayat-ayat langit ‘hakikat/esensi’ seni dari sabda Sang Maha Seni atau ajaran Nabi Seni dalam sebuah kitab suci Seni. Hakikat (definisi-doktrin-filosofi kuno) seni dan estetika sastra telah digilas oleh roda-roda besi gerobak realita yang distir oleh pengertian dan persepsi (selera) pribadi masing-masing pembaca. Sebagian masyarakat hanya mau peduli pada ‘apa faedah seni bagi kehidupan nyata’. Juga, pasca tahun 2000 wacana-wacana sejenis telah dipaparkan penulis lain, seperti Saut Situmorang, Medy Loekito, Donny Anggoro, Alex R. Nainggolan, Subakastawa, dan lain-lain.

Estetika (keindahan) adalah darah sastra (susastra). Itu yang membedakan sastra dengan berita (news), artikel, iklan, informasi, dan lain-lain. Namun, waspadalah pada bujuk-rayu ‘estetika palsu’! Melalui esai di tabloid Minggu Pagi Yogyakarta tahun 2004 Raudal Tanjung Banua memperingatkan, kecenderungan perkembangan estetika sastra Indonesia mutakhir cuma mengeksploitasi bahasa hingga meluber jauh ke luar dari isi karya sesungguhnya. Akibatnya, muatan karya yang melarat itu terperangkap dalam busana menorisme belaka.

Resep ‘empat aspek emosi (perasaan)’ IS untuk penyeimbang olah karya seni, terasa kurang lengkap. Dengan menyebutkan ‘perasaan sosial’ tanpa melibatkan ‘perasaan individual’, jelas bias. Sebab ‘perasaan individual’ tetap sah dalam pengolahan karya seni. ‘Perasaan individual’ mungkin sama dengan ‘seni murni’. Seni murni, misalnya seni lukis, seni tari, seni patung, seni musik, dll. cenderung ‘menghamba’ pada subyektivitas estetika penciptanya.

Sedangkan seni dari pengolahan ‘perasaan sosial’ cenderung menjadi ‘seni terapan’ yang berkonotasi ‘pesanan’ dan ‘menghamba pada selera estetika industri-pasar’. Contoh seni terapan adalah disain, misalnya disain grafis (komunikasi visual), disain interior, disain tekstil, disain produk, dll. Khalayak ‘andil’ dalam konsep penciptaannya. Di mana keberadaan seni sastra?

Saut Situmorang memasukkan seni sastra dalam lingkup seni murni, dimana sang penciptanya adalah ‘tuhan’ atas karya sastranya sendiri. Ibarat seni lukis, pelukis bebas membuat bulan berwarna hijau atau mata seseorang berbentuk kuda lumping sedang nungging sambil mancing kepiting. Meski tidak sesuai dengan selera penikmat, ia (penikmat) sama sekali tidak layak mengubah, mengganti, menambahi, atau memperbaiki warna, bentuk atau setitik apa pun. Relevansinya dalam sastra, puisi misalnya, pembaca (setaraf ‘dewa’ sastra sekalipun!) tidak berhak mengganti kata, tanda baca atau tata kalimat dalam sebuah puisi, kecuali permintaan dari pencipta/pemuisi bersangkutan yang mungkin karena sedang belajar mencipta puisi. Sah-sah saja pembaca mengritik atau menelaah. Namun bukan untuk ‘mengutak-atik’ puisi seperti penikmat menambahi/memperbaiki warna sebuah lukisan. Perasaan individual kreator sah dan merdeka!

IS menyebutkan perasaan intelektual. Perasaan yang bagaimana? Pencipta (kreator) sering kali berpikir bahwa estetika dalam tiap kreasinya telah mencapai taraf intelektualitas puncak saat itu. Sepertinya tidak ada lagi yang harus diragukannya. Namun penilaian pembaca tidaklah demikian. Sebaliknya, ada pencipta yang merasa estetika kreasinya kurang berbobot intelektual (minimalis), tetapi dimuat redaktur media dan dikagumi pembaca. Atau, seperti puisi-puisi pamflet Wiji Thukul. Sepintas terkesan lugu lantaran ia hanya seorang buruh. Diksi-diksinya tidak muluk-meliuk seperti karya penyair besoar. Tetapi justru kesederhanaan intelektualitasnya-lah (plus orisinalitas, kejujuran, humanisme) yang menaikkan kualitas estetis puisi-puisi Wiji.

Lantas emosi (perasaan) estetika, rasa terhadap keindahan. Keindahan/estetika selalu berhubungan dengan perasaan. Pencipta merasa karya sastranya telah mencapai limit estetika dengan diksi dan komposisi yang sesuai kemampuannya. Ia tersenyum puas. Tetapi perasaan estetika pribadi tidak selalu sama (‘lentur’ seperti kata IS) dengan perasaan estetika setiap pembaca (orang lain, khalayak). Dan kalau tidak cocok dengan selera pembaca, siapa salah?

Selanjutnya, perasaan agama. ‘Perasaan agama’ ini lebih tepat disebut ‘perasaan religius’; suatu perasaan paling dalam, dalam lubuk hati nurani, atau basic. Menurut Dosen STAIN Purwokerto Abdul Wachid B.S. (1999), religiositas tidak selalu dihubungkan dengan agama (religi/religion). Ada religiositas yang tumbuh sebab religi, dan ada yang tidak oleh sebab religi atau oleh sebab, menurut Y.B Mangunwijaya, penghayatan terhadap hidup. Religiositas memang dapat bangkit dari pribadi non-agama (ateistis atau agnostic menurut IS, pen.). Religiositas ini disebut “dimensi kedalaman” oleh Filsuf Profetik Paul Tillich. Namun, tiap kebangkitan religiositas selalu dilandasi oleh keinginan baik untuk berbuat kebaikan kepada sesama makhluk. Dengan demikian, kesusastraan menjadi religius jika di dalamnya mempersoalkan dimensi kemanusiaan, termasuk moralitas, dalam kaitannya dengan dimensi transedental.


A. Seni untuk Siapa

‘Pertempuran’ wacana STA – IS lebih menjurus pada ‘fungsi-orientasi’ seni, ‘seni untuk siapa’. Kata ‘untuk siapa’ menjadi sangat penting, jika perjalanan sebuah karya seni (sastra) dari siapa akan berlabuh ke dermaga ‘siapa’ (seni untuk siapa). Siapa pembacanya (pembaca pertama, pembaca kedua, dan seterusnya), siapa penikmatnya, ‘segmentasi tersendiri’ (menurut IS). Andai IS membacakan dengan lantang puisi Peringatan karya Wiji Thukul lalu disusul cerpen sarat aurat karya Djenar Maesa Ayu di depan anak-anak TK di sebuah taman bermain, lalu ke para pejabat pemprov di depan kantor gubernur, ke para penjual sayur-mayur di pasar, atau ke dalam sebuah kandang ayam, tepatkah ‘khalayak’-nya (untuk siapa)? Hakikat (esensialitas) seni dan estetikanya tergantung perspektif dan persepsi siapa?

Spesifikasi karya seni sastra untuk segmentasi (pembaca) tersendiri memang tepat. Tetapi kalau dicampur dengan frasa ‘penilaiannya kembalikan kepada khalayak’, yang berkonotasi ‘umum’ (general), ‘tanpa segmentasi tersendiri’, jelas tidak sebegitu cair seperti wacana IS.

Kinayati Djoyosuroto (2005) mengatakan, dalam teori resepsi sastra pembaca terdiri atas dua kelompok, yaitu 1) pembaca biasa, yang membaca karya sastra sebagai hiburan, bukan sebagai bahan penelitian, dan 2) pembaca ideal, yang membaca untuk penelitian/pembahasan. Juga adanya pembaca eksplisit, yakni pembaca yang dituju oleh sebuah karya sastra, baik yang disebutkan secara langsung maupun tidak dalam teks sastra.

Apa penilaian dan ‘siapa’ penilai (pembaca)-nya merupakan dua hal yang berkaitan erat. Ambil contoh cerita-cerita Lupus karya Hilman sampai hiruk-pikuk fiksi aliran chicklit dan teenlit. Karya-karya semacam itu dinilai oleh sebagian ‘pembaca ideal’ sebagai karya popular berbobot sastra ‘nihilis’ yang dieksploitasi besar-besaran oleh monster kapitalisme milik industri penerbitan (dengan produksi yang tumpah-ruah, distribusi yang hilir-mudik, dan promosi yang hangar-bingar), bahkan ‘bukan karya sastra’ dan justru bertendensi ‘merusak citra sastra Indonesia kontemporer’. Tetapi toh tidak sedikit ‘pembaca biasa’ (ini juga khalayak seperti sebutan IS) menyukai karya-karya sastra popular tanpa repot mengais-ais unsur estetikanya.

Novel Saman karya Ayu Utami memperoleh apresiasi positif dari Gunawan Mohammad, Sapardi Djoko Damono, Y.B Mangunwijaya, dan lain-lain serta mendapat penghargaan tertinggi dari Dewan Kesenian Jakarta, tetapi ternyata tidak demikian positif di mata kalangan lainnya, termasuk STA dalam esainya. Atau pula antologi cerpen auratisme Djenar Maesa Ayu yang dinilai bagus oleh Sutardji Calzoum Bachri tapi kemudian ‘hakimi’ secara sinis oleh esai-esai sebagian sastrawan nasional, termasuk Penyair Medy Loekito.

Atau antologi puisi cybersastra Grafitti Gratitude terbitan Yayasan Multimedia Sastra Jakarta, 2001. Pada waktu peluncuran, buku ini ‘dihakimi’ Sutardji Calzoum Bachri sebagai ‘karya-karya sampah’ dan dihiasi makian, “Tai pun kalau dibungkus emas, bisa nampak indah!” Tak ayal Saut Situmorang menggugat ‘buktikan mana karya-karya sampah itu, sebutkan, dan berikan argumentasi yang berkualitas, jangan cuma bisa memaki’, dan Tardji bungkam (mungkin memang tidak mampu membuktikan dengan sebuah paparan persepsi yang berbobot).

Keberagaman sekaligus pertarungan persepsi di kalangan ‘pembaca ideal’ sendiri! Bagaimana dengan ‘pembaca biasa’? Tidak jelas karena tidak ada paparan persepsi yang mewakili khalayak ‘pembaca biasa’. Yang jelas, Saman-nya Ayu Utami, antologi cerpen auratis karya Djenar, juga chicklit-teenlit telah mengalami cetak ulang sebanyak beribu-ribu eksemplar. Khalayak pembaca muda-belia menyukai, industri buku sastra ‘memanfaatkannya’.

Donny Anggoro (2002) berkomentar, “Agak sulit memang menghadapi perilaku masyarakat yang membaca atau menikmati karya seni sekadar pragmatis eskapisme belaka. Membaca hanya ingin dibilang terpelajar kendati yang sesungguhnya dibicarakan adalah hasil review seseorang di sebuah koran atau halaman belakang komentar pakar yang tercantum sebagai “penglaris” sebuah buku. Yang berkarya hanya ingin dibilang sophisticated, gagah-gagahan, atau paling tidak lebih ingin menjadi bagian dari komunitas budaya tertentu yang sedang naik daun, bukan karena merasa perlu berbuat sesuatu setelah menyimak hasil sebuah pemikiran. Saya tak bermaksud menggugat orisinalitas. Yang saya gugat adalah apa sesungguhnya yang diinginkan dari si pencipta, juga penikmat. Mengapa begitu menghasilkan karya yang barangkali menurut sang pencipta terbaik tapi nyatanya belum memuaskan penikmatnya? Sedangkan bagi si penikmat yang entah sadar atau tidak selalu ingin mengejar mutu demi gengsi mengapa mencela mereka yang juga penikmat karya kitsch?

Memang patut diacungi jempol atas keberanian STA mengritik tajam-akurat puisi Sebuah Pidato di Pangkalan Beras karya LK Ara. Sinyalemennya benar bahwa ada ‘upaya’ memundurkan sastra melalui ‘seni untuk kepentingan non-sastra’ pada puisi tersebut. Tapi efektivitas kritik STA berhadapan dengan sunyi-senyap suara para pegiat sastra Babel lainnya, dan ketiadaan respon masyarakat umum. Mungkin Bupati Bangka Eko Maulana Ali tersenyum.

Di lain kalimat STA (mewakili sebagian sastrawan Babel?) menilai Willy Siswanto selalu menggurui (berceramah pendek) dalam cerpen-cerpennya dan menjadikan tokoh-tokoh cerpennya sebagai corong (robot, boneka, wayang). Kritik semacam itu pernah ditulis Cerpenis Semarang S. Prasetyo Utomo atas antolgi cerpen Lukisan Kaligrafi karya tunggal Gus Mus (Penerbit Kompas, 2003) yang dimuat Kompas, 15/1/2006, “Tokoh-tokoh cerpennya dekat dengan lingkup keseharian Gus Mus. Begitu pula dengan setting narasi, sangat dekat dengan dunia pesantren – tempat ia menghabiskan seluruh hidupnya. Ada saatnya Gus Mus tergelincir pada tradisi kelisanan yang melancarkan fatwa dalam teks sastra. Tentu ini mengurangi kadar estetika cerpen-cerpennya. Mestinya ia mengendalikan diri untuk mengekspresikan fatwa-fatwanya. Kalau ia bisa menahan diri untuk tak menyusupkan fatwa-fatwa keulamaan secara verbal dalam narasi fiksinya, cerpen-cerpen itu akan lebih merasuk empati pembaca. Layak disayangkan, fatwa yang tersisip itu telah menandai lahirnya diksi-diksi yang menggurui.”

Dalam buku Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta : UGM, 1998) Burhan Nugiyantoro bilang, “Tidak jarang tokoh-tokoh cerita dipaksa dan diperalat sebagai pembawa pesan sehingga sebagai tokoh cerita dan sebagai pribadi kurang berkembang. Secara ekstrem boleh dikatakan, mereka hanya sebagai robot yang selalu tunduk kepada kemauan pengarang dan tidak memiliki kepribadian sendiri. Tokoh cerita seolah-olah hanya sebagai corong penyampai pesan, atau bahkan mungkin merupakan refleksi pikiran, sikap, pendirian, dan keinginan-keinginan pengarang.”

Meski begitu, toh pengamat-penggiat sastra di Babel tidak berkomentar apa-apa lewat kritik sastra, dan cerpen-cerpen semacam itu masih memiliki ‘segmentasi tersendiri’ di Bumi Serumpun Sebalai, termasuk Bangka Pos. Lantas, untuk apa-siapa esensi seni dan estetika?

Sastrawan Sungailiat Ira Esmiralda pernah berkomentar, “Estetika sastra tergantung tingkat kedewasaan pemahaman pembaca. Jika pembaca telah mencapai tingkat kedewasaan pemahaman estetika tertentu, jelas penilaian estetika sastranya akan berbeda jauh dibanding penilaian dari pembaca yang baru atau sama sekali belum memiliki tingkat kedewasaan pemahaman estetika minimal. Begitu pula ketika pembaca menilai cerpen Willy, cerpen Sunlie, puisi Ara, bahkan cerpen-puisi karya Ira sendiri.”


B. Seni Tidak Untuk Siapa

Kalau tadi ada istilah ‘seni untuk siapa’, giliran istilah ‘seni tidak untuk siapa’. Apabila seni tidak digubris oleh khalayak tertentu, itu berarti ‘seni tidak untuk siapa’. Dan apabila seni dianggap sebuah usaha propaganda atau menyesatkan, itu pun berarti ‘seni tidak untuk siapa’ alias ‘berbahaya bagi siapa’. Mungkin ‘seni sastra tidak untuk pembaca berusia sekian’, ‘seni sastra tidak untuk pembaca beragama apa’, ‘seni sastra tidak untuk pembaca berotak seberapa’, ‘seni tidak untuk pembaca berwawasan antiseni’, dan lain-lain. Lantas siapa yang berani menghakimi ‘seni tidak untuk masyarakat’ alias ‘seni terlarang untuk publik’?

Bayangkan saja, suatu saat ‘segmentasi tersendiri’ berhadapan dengan ‘segmentasi yang berposisi politis-sosial yang kuat (power), atau ‘segmentasi bermassa (khalayak) anarkis-destruktif-sadis-berani mati’ tanpa peduli esensi seni apalagi estetika, apa yang bakal terjadi?

Puisi-puisi pamflet karya Wiji Thukul menyebabkan Wiji raib hingga kini, meski pada masa itu puisinya, terutama slogan ‘hanya satu kata: lawan!’, disukai oleh segmen demonstran (aktivis mahasiswa, buruh, LSM). Roman sejarah karya Pramoedya Ananta Toer pernah dilarang beredar oleh rezim Orde Baru, dan segmennya (peneliti) tak luput dari intimidasi ORBA. Di Yogyakarta karya-karya Khalil Gibran pun pernah menjadi “target operasi” dalam perburuan sekelompok pemuda fundamentalis-anarkis.

Dalam pidato penerimaan Hadiah Nobel Sastra 1957 Albert Camus berkata, “Seni bukanlah suatu kegembiraan yang dinikmati sendiri, dan seorang seniman tidak dapat hidup tanpa keindahan. Seniman juga tidak mungkin melepaskan diri dari kelompok masyarakatnya. Seniman berada di tengah-tengah keduanya, lebih mengharuskan diri untuk mengerti daripada menentukan baik-buruknya. Dalam kerja kita tak mungkin mengelakkan risiko serta serangan-serangan yang pahit.” Maka, jika seniman (sastrawan) bertahan mencipta ‘seni tidak untuk siapa pun’, sebaiknya ia berkreasi hanya dalam tempurung kepalanya sendiri (‘untuk dirinya sendiri’)."


C. Seni Untuk Apa

Istilah ‘seni untuk apa’ ini mirip dengan istilah “seni dalam rangka…”-nya Abdul Wachid B.S. Untuk apa para sastrawan berkreasi? Untuk profit (keuntungan material)? Untuk profil (terkenal, mengukuhkan eksistensi, menawarkan diri kepada siapa, dll.)? Untuk propaganda (menghasut, memfitnah, mengadu domba, menyesatkan, mempengaruhi, menjurus seksual, melawan, menjilat, dll.)? Untuk produk budaya (historis, etnis, kapitalis, akademis, seremonial, legenda, mitos, dll.)? Untuk kemanusiaan (humanisme), batin manusia? Untuk apa lagikah?

Istilah ‘seni untuk apa’ tak luput dari kecenderungan tendensius. Sepakat atau tidak, seni sering pula menjadi sekadar ‘mesin’ atau ‘media promosi’ untuk ‘menawarkan sesuatu’, entah anatomi manusia, anatomi pikiran, anatomi perasaan, anatomi apologi, anatomi sikap, anatomi hewan, anatomi tumbuhan, anatomi benda, anatomi lingkungan, anatomi sosial, anatomi situasi, anatomi konflik, anatomi teknologi maupun anatomi semesta. Dan, tawaran tersebut tak jarang pula membonceng tujuan-tujuan tertentu, misalnya perut (sastrawan, keluarga, rekening bank), pikiran (edukasi), perasaan (eksistensi, gengsi), dll.

Seorang seniman Babel berprinsip, “Seni untuk hidup, seni untuk nafkah.” Satu sisi, jika karya sastranya telah berkualitas tinggi, baik skala lokal maupun nasional apalagi dunia, tentu saja wajar berprinsip demikian. Tetapi kalau ia menjadikan ‘seni untuk mengemis ABPD’ di daerah lain, ia sengaja ‘menggadaikan’ reputasi dirinya semata demi profit. Atau ia tidak berkualitas tinggi dalam skala mana pun, tidak mustahil ia akan menjual ‘seni untuk materi’ (apa pun pledoi edukasinya). Karya seni sastra telah dirancang-bangun menjadi kompleks prostitusi!


D. Siapa Menghakimi Esensi Seni dan Estetika

IS berpendapat, “Penghakiman terhadap sebuah karya tanpa memberikan solusi adalah barbarisme karena sebuah karya jika tidak akan merusak tatanan atau etika dalam kehidupan maka karya itu menjadi syah untuk diapresiasi.”

Makna frasa ‘tatanan atau etika dalam kehidupan’ cenderung ‘bersayap’. Tidak jelas ‘tatanan atau etika’ menurut pendapat/prespektif siapa, batasannya apa, dan tatanan/etika itu yang bagaimana. Tidak jelas pula ‘kehidupan’ apa, siapa, dan siapa-siapa. ORBA juga sering memanfaatkan frasa semacam itu sebagai legitimator untuk melakukan tindakan represif yang naïf-agresif-posesif atas aktivitas dan produktivitas seni sastra, yang kemudian di-counter oleh Seno Gumira Ajidarma dengan kredo ‘ketika jurnalisme dibungkam, maka sastra berbicara’.

Karya-karya Wiji Thukul, Pramoedya, Rendra, dan seniman lainnya pernah ‘dihakimi’ sebagai ‘merusak tatanan atau etika dalam kehidupan politik rezim ORBA atau rezim brutal suatu kelompok fundamental’, maka solusinya sungguh ‘tidak sastrais’. Orang-orang rezim itu menganggap hanya merekalah yang ‘syah’ melakukan apresiasi dan penghakiman terhadap sebuah karya sastra.

Dari situasi tersebut Dosen Pasca-sarjana dan Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM Dr. Faruk H.T. (2000) berpendapat, “Sastra tidak pernah menjadi ‘penari yang menikmati tubuhnya sendiri’. Ia selalu dibuat gelisah oleh pandangan orang lain yang menontonnya, menjadi serba kikuk, menimbang-nimbang, dan akhirnya memaksakan diri untuk diterima dan diberi posisi meski sebagai musuh para penontonnya itu.”

Penghakiman (judgement) karya sastra yang dilakukan dalam suatu peradilan (diskusi) oleh kalangan sastrawan pun tidak wajib menelorkan solusi. Di Yogyakarta misalnya, beberapa sastrawan atau kelompok studi sastra non-formal melakukan apresiasi dan penghakiman (kritik) atas sebuah karya sastra lalu tidak menawarkan solusi apa-apa, toh di Kota Budaya sana geliat berkehidupan sastra tetap langgeng, maju, sehat, dan subur. Tidak ada tuduhan barbarisme apa pun. Semasa ‘proses peradilan’, pembelaan dilakukan oleh pihak lain (bukan oleh penciptanya sendiri) dengan pemaparan apresiasi sekaligus ‘banding’ atas ‘dakwaan’ sebelumnya.

Sementara, di Babel iklim apresiasif maupun penghakiman atas karya sastra belum terbukti konkrit-konsekuen-kontinyu-konsisten-kontekstual di lingkup pergaulan dan pergulatan artistik para sastrawan. Apresiasi dan penghakiman hanya mandi hujan liur dan ludah pergunjingan antarsastrawan. Lalu kering sendiri. Solusi sembunyi dalam selaput ilusi sunyi.

Ironisnya, di Babel sang pencipta (kreator) bisa leluasa membela kreasinya sendiri, dan ‘disahkan’ oleh redaktur koran lokal ! Kredo ‘pembaca adalah raja di depan sebuah karya sastra’ (Radhar Panca Dahana, 1999) tidak berlaku. Apresiasi atau kritik sastra secara tulisan justru ditentang secara lantang oleh penciptanya sendiri. Apresiasi ataupun penghakiman dicurigainya sebagai usaha instabilisasi atas eksistensi hegemoni kehidupan bersastranya, dan kudeta atas tampuk kekuasaan ‘raja’(?) sastra Babel! Sikap sastrawan semacam ini sungguh arogan, anti demokrasi, tidak egaliter, anti edukasi, dan kontra intelektual. Suatu ironi terkini.

Rupanya IS lalai, ‘rezim redaktur’ berperan penting sebagai ‘segmentasi tersendiri’ maupun ‘khalayak’ yang sangat berpengaruh. Sebelum karya sastra yang dimuat buku sastra maupun media massa kemudian tersebar ke ruang pembaca/penikmat, peran paling dominan sekaligus menjadi Hakim Agung adalah ‘redaktur’. Redaktur bukan hanya memprediksi ‘kebutuhan pembaca’, ‘kehendak pasar’ atau ‘tingkat pemahaman pembaca atas seni-estetika’, melainkan juga bisa ‘berspekulasi’ untuk menawarkan karya sastra ‘baru’ berestetika ‘tidak biasa’. Hakikat seni dan kualitas estetika sebuah karya sastra sering ‘ditentukan’ oleh redaktur.

Pemuatan puisi Sebuah Pidato di Pangkalan Beras karya LK Ara dalam antologi bersama Bangka Belitung Bercahaya dalam Pantun dan Puisi (2005) adalah contoh ‘kekuasaan redaktur’ (LK Ara adalah editor tunggal dan redaktur dominannya). Ada lagi puisi sejenis itu yang diciptakan oleh penyair lain tetapi tidak dimuat oleh redaktur buku Pelangi Budaya Bangka Tengah karena hati nurani redaktur (Irmansyah) masih berfungsi normal. Redaktur satu ini tidak terpengaruh pada ‘siapa pencipta’ tetapi ‘apa isi dan orientasi’ karya seni sastra.

Lain lagi dengan puisi Catatan Kepada Rakyat. Semula puisi ini karya Gautama Indra alias Peter Siswanto yang menang lomba tingkat nasional 2001 dan dimuat lagi di harian Bangka Pos tahun 2001. Tetapi puisi itu tergabung pula dalam buku kumpulan sajak Kaki-kaki Telanjang karya tunggal Willy Siswanto terbitan Yayasan Aktualita Karsa Pangkalpinang (2005). Menurut Ketua Yayasan Ki Agus Hazirianjaya (Ian Sancin), urusan redaksional dan tetek-bengeknya dilakukan oleh satu orang (one man show), yakni Willy Siswanto sendiri. O-ho!

Dibanding ‘khalayak’, redaktur lebih ‘berkuasa’ menentukan karya yang ‘berseni’ dan berestetika. Contohnya puisi Kabar Kepada Kawan (satu-satunya karya penyair dari Babel) yang ditertawai (diejek, dihina) oleh Afrizal Malna sekaligus Willy Siswanto. Namun redaktur dari Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin Jakarta menilai puisi tersebut layak bersanding dengan kreasi estetis para penyair nasional seperti Sitor Situmorang, Gunawan Mohammad, Danarto, Djamal D. Rahman,Mustofa Bisri, Mudji Sutrisno, Ari MP Tamba, Rieke “Oneng” Diah Pitaloka, Golagong, Putu Fajar Arcana, Todung Mulya Lubis, Binhad Nurrohmat, Nurhayat Arif “Alik” Permana, dan lain-lain dalam buku Maha Duka Aceh (2005).

Kasus lainnya, yang tidak diketahui oleh IS, adalah antologi cerpen pelajar Bintang Kesepian dan Cerpen-cerpen Lainnya terbitan Jendela Yogyakarta (2004) dan antologi cerpen pelajar Bintang Kesepian terbitan Unit Pers Mahasiswa UAJY (2004). Kedua antologi tersebut merupakan kumpulan cerpen pemenang Lomba Menulis Cerpen tingkal Pelajar Se-Yogyakarta yang dijurikan oleh Sastrawan Raudal Tanjung Banua, Guru Sastra SMA De Britto Agus Prih dan seorang mantan pendiri unit pers tersebut, tetapi berbeda isi. Redaktur Penerbit Jendela menyeleksi (menilai, menghakimi) cerpen-cerpen untuk dibukukan dan dijual atas dasar selera kapitalisme redaktur yang menafikkan urutan pemenang hingga nominasi, bahkan ada karya pemenang yang tidak dimuat dalam buku tersebut. Sedangkan UPM UAJY membukukan dan menerbitkan cerpen-cerpen tersebut berdasarkan urutan pemenang hingga nominator terakhir. Kedua lembaga dihuni oleh redaktur yang memiliki esensi seni dan estetika berbeda.

Demikian pula dengan ‘rezim redaktur media massa’. Ketika sebagian besar sastrawan ‘menghamba’ kepada publisitas media massa, posisi redaktur budaya/sastra menjelma sebagai Hakim Agung. Atas nama ‘kebijakan redaksional/perusahaan’, keputusan (penghakiman) redaktur adalah mutlak. Jika penghakiman/penilaian/apresiasi redaktur semata berdasar ‘selera supersubyektif-nya (like or dislike), kehidupan sastra pasti terancam dalam persebarannya. Dan memang redaktur tidak peduli bahwa penghakimannya selalu tanpa solusi (barbarisme?).

‘Segmentasi tersendiri’ atau ‘khalayak’ bergelar ‘redaktur’ inilah yang dilupakan oleh IS. Tampaknya IS menganggap keberadaan segmentasi tersendiri atau khalayak hanya setelah proses percetakan (penggandan), bukannya pada waktu proses seleksi dalam kinerja redaksi. Masing-masing redaktur menilai estetika dan segmen pembaca dalam perspektif yang berbeda. Cerpen-cerpen karya Rudi Gunawan pernah ditolak oleh redaktur Kompas tapi dimuat Media Indonesia dan media massa lainnya, lantas terkumpul dalam Kumpulan Cerpen Bukan Pilihan Kompas.

Pemahaman tentang esensi/hakikat seni maupun kualitas estetika yang benar itu hanya milik teori-logika redaktur. Mutlak. Sepakat atau tidak, di tangan redaktur, pemahaman seniman, sastrawan dan khalayak tentang tetek-bengek esensi seni dan estetika bisa jadi nonsens. Lebih celaka apabila redaktur koran ‘meloloskan’ pledoi (pembelaan diri) sang kreator terhadap kritik atas karyanya gara-gara redaktur tersebut sangat tidak memahami hakikat ‘persepsi, penghakiman dan pembelaan’ atas sebuah karya sastra, dan ‘mengkultuskan’ kreatornya. Oleh karenanya berteriaklah Abdul Wachid (2003), “Hidup-matinya sastra Indonesia di tangan redaktur!

Tetapi ada saat dimana esensi seni bukan milik logika-selera redaktur saja. Kriteria estetika tidak hanya ditentukan oleh redaktur. Yang menghadang secara frontal-brutal adalah rezim birokrasi-politis bahkan rezim ‘khalayak’ yang fundamental-radikal di suatu wilayah (teritorial). Di bawah tiang tirani ORBA, pencipta maupun khalayak bisa ‘bisu’. Di bawah bendera pelangi reformasi, sebagian pemahaman dan penghakiman atas seni (sastra), karya, dan estetika pernah berada dalam kekuasaan khalayak fundamental-brutal. Disusul kembali oleh industri, ekonomi (daya beli), minat masyarakat, dan tren. Kapitalisme industri penerbitan selalu sensitif-selektif-agresif dalam situasi represif-naif sekalipun.

Pada akhirnya seni dan estetika tidak pernah lagi bisa mudik ke hakikat/esensinya. Seni dan estetika telah tersesat dalam ‘lingkaran pansus’: pencipta-redaktur/penerbit-pembaca-kritikus-pencipta oportunis-redaktur-dst. Situasi materialis-hedonis-kapitalis sekarang ini jadi semacam neraka (kawah candradimuka?). Maka, suatu hari nanti siluman ‘anu’ berpidato budaya, “Bahwa sesungguhnya esensi seni ialah anu, estetika seni itu sesuatu yang anu. Yang terpenting adalah karya seni tetap menjadi anu atau tidak menjadi anu sama sekali. Silakan berkreasi dan berestetika secara anu untuk anu demi anu dalam perspektif anu. Persetankan saja kritikus anu!”

*******

Sri Pemandang Pucuk Sungailiat, 14 Maret 2006

Tidak ada komentar: