Sabtu, 21 Februari 2009

Absurditas Berakhir Bias

Cerpen Kambing Hitam Memperkosa Kuda karya Syafei Aminulah Mastiha (Bangka Pos edisi Minggu, 07 Agustus 2005) memulai dengan cerita absurd (absurdisme). Seekor kuda betina mengadu ke kantor polisi atas perkosaan yang dilakukan oleh tuannya terhadap dirinya pada suatu hari.

Perkosaan terjadi satu kali saja. Ketika akan diteruskan pada perkosaan kedua, kuda betina itu membujuk tuannya untuk tidak terlalu tergesa-gesa karena masih ada perjalanan berikutnya dan, tentu saja, ada waktu lain untuk ‘begituan’ lagi. Sewaktu bujukan berhasil ditelan tuannya, kesempatan itu dimanfaatkan oleh kuda betina untuk melarikan diri dan mengadu ke kantor polisi.

Sebuah absurdisme yang menarik sekali, mengingatkan saya pada cerpen Dzikir Sebutir Peluru (1998) karya Agus Noor. Agus menceritakan, pada suatu malam senyap Kiai Karnawi yang sedang berdzikir tiba-tiba dikunjungi oleh sebutir peluru dalam keadaan tertunduk, pucat, dan pasrah. Peluru itu tidak mau melakukan kehendak tuannya yang akan membunuh para petani, namun memilih nyasar ke rumah sang kiai untuk mengadu. Kemudian disusul oleh peluru lainnya.

Sementara dalam buku Aliran-Jenis Cerita Pendek (1999) Korrie Layun Rampan menuliskan, jenis sastra absurd selalu ingin menyeleweng dari norma umum, bahkan melanggar hukum alam dan penalaran.

Bisa jadi pula, kuda betina hanya sebuah simbol. Mungkin seorang pembantu rumah tangga atau karyawati/bawahan. Sedangkan sang tuan adalah majikan, direktur, atau atasan/pimpinan.

Pemaksaan kehendak sering kali dilakukan oleh seseorang yang memiliki kekuatan (power); entah kekuatan fisik ataupun kekuatan posisi/status dalam suatu lingkungan terhadap orang lain yang sama sekali tidak memiliki kekuatan apa pun dalam lingkungan itu pula. Ketidakberdayaan semacam itu tak jarang menjadi mangsa empuk, bukan saja dalam tindak pelecehan seksual tetapi juga penindasan (eksploitasi) lainnya semisal kerja rodi.

Lalu, seperti biasa, pelaku pemaksaan selalu berdalih apa saja dan mencari penyebab lain yang mengakibatkan dirinya nekat berbuat. Melalui dialog tokoh kuda betinanya, Syafei menulis, “Sudah tahu dirinya salah, masih juga berkelit. Pakai mengkambinghitamkan pihak lain segala. Kalaupun benar saya menggodanya, mestinya dia bertahan. Bukan malah sebaliknya, seperti buaya digiring ke sungai. Iya, kan?

Artinya, pemaksa tidak bersedia mengakui bahwa kehendak itu berasal dari dorongan dalam dirinya sendiri, bukan dari apa dan siapa yang berada di luar dirinya, walaupun jelas-jelas terbukti secara laboratoris. Alangkah susahnya mengatakan “ya” atau “tidak” sejujurnya, bahkan berikutnya harus melalui proses tetek-bengek dan dialog-dialog apologis yang ujung-ujungnya kembali pada asal: kesalahan sendiri.

Dan setan selalu dijadikan kambing hitam. Dalam dogma agama, setan merupakan biang dosa, kejahatan, aib, dan segala keburukan lainnya. Akibatnya, dalam kehidupan masyarakat beragama seperti Indonesia, lagi-lagi setan dijadikan biang keladi atas segala kejahatan yang dilakukan oleh manusia. Setan sudah sarat dosa-salah. Sudah cukuplah setan menanggung penghakiman abadinya. Syafei menuliskan, “Setiap ada maling, ada pemerkosaan, kami yang dituding sebagai biang kerok! Memangnya manusia itu sendiri apa?

Ya, manusia sendiri itu apa? Ada semacam gugatan atas hakikat dan hegemoni manusia. Kata orang, selama manusia masih tinggal dalam raga dan memiliki jiwa, dalam diri tiap-tiap manusia terkandung hasrat atau nafsu liar yang harus dikendalikan, dikekang, dikurung, dan disadari sebagai kelemahan diri. Kesadaran untuk mengakui kelemahan (kesalahan) diri memang tidak segampang ketika melakukan pembenaran diri.

Begitulah dugaan pertama saya mengenai “pesan” yang mungkin hendak disampaikan oleh Syafei Aminulah Mastiha melalui cerpen Kambing Hitam Memperkosa Kuda.

Dugaan saya berikutnya, cerita absurd yang mengusung perilaku penyimpangan/kelainan seksual (sexual deviation) semacam itu, atau istilah kerennya zoofilia / bestialitas, memang sungguh-sungguh terjadi pada kehidupan sebagian kecil orang sejak berabad-abad silam.

Kalau saya tidak keliru, ketika di penjara semasa pertanggungjawaban atas kasus mantan tabloid Monitor, Arswendo Atmowiloto pernah mencatatkan sedikit perilaku menyimpang tersebut, yang mana beberapa oknum napi menjadikan angsa betina sebagai obyek pelampiasan hasrat syahwat. Andai angsa betina itu juga mengadu ke kantor polisi, apakah masa kurungan mereka akan ditambah sekian tahun lagi?

Sayangnya, absurditas cerpen tersebut ‘diganggu’ oleh beberapa hal. Diantaranya, pertama, penokohan. Pada awalnya tokoh yang muncul adalah kuda betina. Ketika tokoh kuda mengikuti alur cerita, tokoh yang kemudian mendominasi sebagian besar bangunan cerpen adalah tuannya yang bernama Abudoif.

Pada bangunan cerpen, sebaiknya tokoh dominan, atau sebut saja tokoh utamanya, segera dimunculkan pada bagian-bagian awal/pembukaan agar pembaca bisa menangkap siapa sebenarnya tokoh utamanya. Sedangkan dalam cerpen karya Syafei tersebut, fokus ke tokoh utamanya kemudian menjadi bias, apakah kuda betina yang mula-mula datang untuk mengadu, ataukah Abudoif dengan sidang kasusnya. Tidak jelas.

Kedua, realisme. Absurdisme yang telah tersaji dan bergizi sejak awal cerita namun berikutnya “digerogoti” oleh situasi realis (normal) melalui unjuk rasa para pekerja seks komersial yang membentang spanduk berbunyi “Buka Matamu Abudoif”, seakan hendak mengingatkan, masih ada manusia perempuan yang siap dan normal untuk diajak ‘begituan’, bukan dengan binatang berupa seekor kuda betina.

Kenapa manusia-manusia harus selalu ditampilkan sebagai juru bicara? Kalau pada awal cerita seekor kuda telah tampil dan mengadukan masalahnya, absurditas akan semakin asyik jika para pengunjuk rasa atau juga pengacara, saksi ahli, saksi sidang, korban lainnya serta pengunjung sidang itu justru dari kalangan binatang, termasuk yang berpotensi menjadi obyek penyimpangan seksual, dan lengkap dengan dramatisasi aksi serta situasinya.

Sayang sekali realisme dibiarkan semakin merontokkan bangunan absurdismenya melalui ucapan terdakwa Abudoif, “Biar kuda saya puas.” Sampai di situ absurditas cerpen tersebut akhirnya bias.

*******

Sungailiat, 18 Agustus 2005

Tidak ada komentar: