Sabtu, 21 Februari 2009

MENGINTIP KARTUN BANGKA POS

Suatu hari di bulan Juli 2004 saya melihat Harian Pagi Bangka Pos sudah menampilkan kartun sekaligus (mungkin) maskot di beberapa kepala rubrik. Tokoh-tokoh kartunnya bernama Mak Per dan Akek Buneng. Keduanya tampil dengan pakaian adat Melayu Bangka Belitung. Saya langsung teringat pada Bangka Pos edisi Minggu, 27 Februari 2000 yang pernah memuat artikel budaya berjudul “Katakan dengan Kartun”, yang secara sederhana mengungkapkan sedikit tentang kartun.

Kesadaran Bangka Pos atau paling tidak antara kehendak sekaligus kesadaran pemimpin perusahaan dan kemampuan kartunisnya menangkap kehendak itu terhadap kenyataan lokal, memang merupakan suatu kepatutan dalam sebuah penyelenggaraan pers daerah yang berkarakter lokal. Maksudnya, kartun yang ditampilkannya sebaiknya berkarakter lokal untuk memperkuat citra (image) dan identitas sebuah pers daerah.

Syukurlah, selama perjalanan waktu sekian tahun akhirnya Bangka Pos bisa menampilkan kartun sekaligus (mungkin) maskot yang berkarakter lokal. Dan, seperti sebagian orang mengenal Harian Kompas melalui Panji Koming-nya, Tabloid Bola melalui Sepakbolaria-nya, orang-orang Bangka Belitung sendiri mengenal Bangka Pos dan juga Belitung Pos melalui keberadaan Mak Per dan Akek Buneng. Dan dalam tulisan sederhana kali ini saya tertarik untuk mengintip kiprahnya.

A. Lagi, Sejengkal Tentang Kartun

Kehebatan (waduh!) seorang kartunis bukan pada kemampuannya membuat kartun dengan garis-garis bagus sekaligus distorsifikasinya saja. Melainkan pula wawasan, intelektualitas dan kreativitasnya dalam menerjemahkan realitas secara visual dan humoris. Selanjutnya, bagaimana kemahiran sang kartunis dalam mendekonstruksikan masalah-masalah aktual. Memang, seorang kartunis dituntut untuk begitu, termasuk posisinya yang tidak berbeda dengan seorang wartawan.

Kata orang pinter, adalah tema, yang kemudian membedakan genre kartun. Kartun yang bertema bebas dan semata untuk melucu disebut gag cartoon alias kartun humor. Sedangkan kartun yang bertema dan cenderung mengangkat hal-hal aktual secara kritis dengan tujuan menyindir, mengkritik, menggelitik dan sejenisnya disebut kartun opini. Satu hal yang paling penting adalah kadar humor atau lucu sesuai hakikat kartun sebagai gambar lucu, meskipun lucu itu sendiri sebenarnya relatif. Relatif, maksudnya, bisa lucu bagi kartunis atau juga bagi pemimpin redaksinya tapi tidak lucu bagi oknum atau institusi yang merasa disindirnya.

Kartun opini ini terdiri dari kartun politik (political cartoon), kartun editorial (editorial cartoon), dan karikatur (carricature). Kartun politik merupakan tanggapan seorang kartunis terhadap situasi politik yang terjadi. Substansinya cenderung pada persoalan politik itu sendiri. Akibat spesifikasinya sebagai kartun politik, obyek yang dibahas melulu politik sehingga kurang fleksibel padahal tidak setiap masalah aktual berkaitan dengan politik.

Kartun editorial merupakan alternatif opini dari editorial media massa, atau juga versi lain dari tajuk rencana, tajuk ulas atau gerbang opini, yang dipakai oleh redaktur media massa melalui visual kartunal. Menurut beberapa kalangan pers, kartun opini merupakan alat komunikasi yang lebih aman karena pesan yang disampaikannya tidak tuntas menghakimi. Bobot sebuah kartun opini sama dengan sebuah artikel opini.

Berkaitan dengan hal di atas, dalam buku Hari Pers Nasional (1995) G.M. Sudarta berpendapat, gambar-gambar yang mengandung komentar atau kritik sosial yang muncul berkala pada media massa bisa disebut sebagai editorial cartoon (kartun editorial – Pen.) atau political cartoon (Kartun Politik – Pen.)

Sementara karikatur, seperti yang juga sudah sering kali dibicarakan oleh orang-orang pinter, merupakan tanggapan terhadap seseorang (tokoh dikenal, public figure) yang sedang menjadi perbincangan banyak orang. Karakteristik sebuah karikatur adalah pada garis-garis yang “melebih-lebihkan” bagian tertentu dari anatomi tokoh yang sedang dimaksudkan dan sesuai dengan kegiatannya beserta respon lingkungannya. Dalam dunia pers, karikatur pun dimaksudkan untuk menyindir, mengritik, menggelitik atau menyentil tokoh yang dikarikaturkannya.

Dalam tulisan ini, kecuali kartun humor (gag cartoon), saya akan mengatakan kartun opini dengan satu kata saja: kartun.

B. Kartun di Harian Pagi Bangka Pos

Kali pertama saya melihat kemunculan kartun opini strip Mak Per dan Akek Buneng secara full color karya Yudi R. pada halaman muka Harian Pagi Bangka Pos edisi Minggu di bulan Juli 2004. Barangkali Bangka Pos sengaja hendak memberi ciri khusus pada terbitan Minggu-nya. Tapi tentu saja posisi kartun strip tersebut cukup terhormat. Saat Lustrum I (25/05/2004), Bangka Pos telah memakai semacam maskot berupa kartun (mungkin Mak Per?) di halaman muka.

Dalam batasan sempit pengetahuan saya, kartun strip semacam itu biasanya bercokol di halaman bagian dalam, misalnya Panji Koming Harian Kompas dan Sepakbolaria Tabloid Bola. Muhamad Nashir Setiawan (2002) mengatakan, Koming merupakan salah satu wahana tajuk rencana Kompas. Kompas turut aktif membukakan cakrawala pengetahuan Panji Koming sebagai kartun editorial yang secara kontinu hadir menyuarakan visi surat kabar tersebut.

Anehnya, di edisi Minggu, 05/12/2004 kedua tokoh kartunnya tidak muncul pada isi episode yang bercerita tentang penjara Tuatunu. Mak Per dan Akek Buneng hanya menjadi kepala frame alias tidak terlibat apa-apa sebagaimana tokoh utamanya. Kasihan sekali kalau kedua tokoh tersebut ternyata terjebak dalam “penjara” dan tidak tahu jalan keluarnya.

Di samping itu, kartun yang selama ini dikategorikan sebagai kartun editorial/politik di Kompas adalah Oom Pasikom. Uniknya, selain berupa kartun editorial dan karikatur dalam satu frame, G.M. Sudarta juga kadang membuat kartun editorialnya dengan format strip (lebih dari satu frame). Di sini G.M. Sudarta membuat format yang fleksibel pada karya-karyanya.

Demikian pula dengan rubrik opini. Selain membuat kartun opini dengan sering menggunakan Akek Buneng sebagai tokoh utama seperti Oom Pasikom, Yudi juga membuat karikatur (rubrik opini edisi 21/06/2004, 29/06/2004, 14/08/2004, 31/08/2004, 02/09/2004, 06/10/2004, 30/12/2004, 04/02/2005, 17/03/2005, dll.) dengan ataupun tanpa menyertakan sosok Mak Per (29/06/2004) atau Akek Buneng. Tokoh yang saya ingat adalah Gubernur Babel Hudarni Rani, Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan Artika Sari Dewi.

Persoalan, apakah garis-garis estetika dalam kartun-karikatur karya Yudi sudah optimal atau belum, saya rasa, itu hanya bagian dari proses seni rupa dan bersifat relatif. Kalau pada beberapa tampilan kartun opini/karikatur (21/08/2004, 23/08/2004, 02/09/2004, 04/09/2004, dll.) Yudi masih menebalkan garis sisi-sisi kartunnya sebagai penegasan, selanjutnya tidak lagi. Namun kurang tepat jika kita bandingkan dengan kartun/karikatur karya Almarhum Thomas Aquino Lionard di masa lalu.

C. Antara Koming – Pailul dan Mak Per – Akek Buneng

Saya menduga (semoga keliru), dua tokoh kartun Bangka Pos tersebut mengekor dua tokoh kartun di Harian Kompas edisi Minggu, yakni Koming dan Pailul. Mengekor, atau istilah kerennya epigon, sah-sah saja sepanjang hal tersebut bukan tindakan “mencontoh mentah-mentah”. Kata “sah-sah saja” itu lantaran Bangka Pos memang berafiliasi dengan Kompas. Mencontoh mentah-mentah itu misalnya Mak Per dan Akek Buneng memiliki bentuk fisik yang mirip; mulai dari pakaian, bahasa khas sampai setting tempat dan jaman seperti Panji Koming.

Kenyataannya, mereka berbeda. Panji Koming bersetting di suatu tempat pada masa Majapahit, berpakaian seperti para punakawan dalam pewayangan Jawa, berbahasa dan berperistiwa (di-)sesuai(-kan) dengan jaman itu. Peristiwa-peristiwa aktual sekarang dikemas dalam jaman itu. Kemunculan tokoh Panji Koming pun hanya terbatas pada hari Minggu dan terletak di halaman dalam agak belakang. Memang pernah muncul selain hari Minggu, yakni “Ketoprakartoon Pailul” menjelang ketika PEMILU 1999 .

Sementara Mak Per – Akek Buneng bersetting di suatu tempat di Bangka Belitung pada masa dan suasana sekarang, berpakaian adat dan asesoris setempat, dan berbahasa daerah. Kehadirannya di Bangka Pos tidak melulu hari Minggu dan full color di halaman muka, terutama Akek Buneng atau kadang bersama Mak Per, melainkan juga pada rubrik opini/editorial di halaman bagian dalam (halaman 6) pada hari lain.

Tidak cukup sampai di situ. Kedua tokoh itu bisa menjadi maskot dan muncul pada identitas rubrik-rubrik tertentu, misalnya Senyum ala Masyarakat Serumpun Sebalai (SMS Humor), Akek Buneng di rubrik Arus Bawah, atau Mak Per di rubrik Teropong. Saya jadi teringat pada si Gundul Tabloid Bola.

Lantas, di mana letak epigonnya? Tapi ini dugaan saya lho ya. Pertama, munculnya dua tokoh berperan utama. Koming – Pailul di Harian Umum Kompas, sedangkan Mak Per – Akek Buneng di Harian Pagi Bangka Pos. Memang kehadiran dua tokoh dalam kartun adalah hal yang biasa. Kedua, agresivitas salah satu tokoh. Di Kompas, tokoh Pailul menjadi figur agresif, atraktif, dan ekspresif. Muhamad Nashir Setiawan (2002) menilai, Pailul mempunyai watak yang jujur, terus terang, amat cerdik, penuh akal, dan berani menghadapi siapa saja yang dianggapnya “bengkok” perilakunya. Di Bangka Pos tokoh Akek Buneng tampil agresif, atraktif, dan ekspresif, kendati Mak Per pernah muncul dengan gaya yang garang dan Akek Buneng diam saja (17/12/2004).

Selain itu, saya pernah melihat adanya pengaruh gaya Uderzo “Asterix”, Anton “Intisari” bahkan gaya komik kartun Jepang (manga) pada bagian-bagian tertentu di tokoh-tokoh kartun Yudi R.. Tapi semoga penglihatan saya keliru.

D. Ciri Khas, Anatomi, Asesoris, dan Konsistenitas

Ketika saya cermati sosok Mak Per dan Akek Buneng pada beberapa edisi, ada beberapa hal yang mengganjal di mata dan pikiran saya. Saya sempat khawatir, jangan-jangan justru mata dan isi pikiran saya yang keliru. Tapi biarlah, saya ungkapkan saja agar jelas betul di mana letak kekeliruan saya.

Secara perupaan, ada beberapa bagian yang, menurut saya, sebaiknya Yudi perhatikan lagi pada sosok tokoh-tokoh kartunnya. Betul bahwa proses menemukan karakter yang diinginkan pencipta kartunnya memerlukan waktu dan latihan-latihan yang intens. Sosok Koming – Pailul serta Oom Pasikom pada tahun-tahun awal kehadiran mereka pun pernah mengalami perubahan garis-garis anatominya sebelum yang sekarang sering kita lihat di Kompas. Artinya, pembenahan garis hingga sampai pada bentuk yang tepat (tepat dalam kehendak estetis penciptanya) merupakan proses penciptaan yang membutuhkan waktu tidak instan.

Sementara saya menemukan beberapa hal pada sosok Mak Per – Akek Buneng dalam beberapa kali kemunculannya di Bangka Pos. Dan saya sengaja mengambil contoh dari beberapa pemuatan saja, mengingat keterbatasan dokumentasi saya sebagai salah seorang pembaca Bangka Pos yang kurang loyal.

Pertama, rambut. Pada frame kepala/identitas, Mak Per digambarkan masih berambut hitam, dan Akek Buneng sudah beruban. Saya lihat edisi 18/07/2004 Mak Per dan Akek Buneng berambut seperti gambar di identitas tokoh. Juga pada edisi lainnya, masih seperti sedia kala, termasuk kartun opini ucapan Selamat Lebaran edisi 15/10/2004. Tapi, anehnya, edisi 11/07/2004, 25/07/2004, 08/08/2004, 29/08/2004, dll. Rambut keduanya berwarna terbalik. Mak Per beruban, dan Akek Buneng berambut hitam.

Kedua, raut wajah. Di bagian ini saya menangkap perbedaan raut muka antara Akek Buneng pada identitas tokoh/pemeran dalam kepala frame dengan Akek Buneng pada isi episode. Raut muka Akek Buneng pada identitas tokoh menampakkan wajah seorang kakek. Tetapi pada isi episode alias jalannya cerita, wajah Akek Buneng berubah menjadi muda (19/09/2004), bahkan kekanak-kanakan ( rubrik opini, edisi 09/07/2005). Karakter raut muka seorang akek jelas berbeda dengan pemuda, remaja atau anak-anak. Alangkah baiknya sang kartunisnya memilih; 1) kembali kepada bentuk awal seperti yang tergambar pada identitas tokoh yang terus-menerus ditampilkan sebagai kepala frame di halaman muka edisi Minggu, seperti konsep awalnya menggarap Mak Per – Akek Buneng, atau 2) mengganti raut wajah pada identitas tokoh/pemeran yang terus-menerus ditampilkan di halaman muka edisi Minggu.

Ketiga, bentuk hidung. Mak Per dan Akek Buneng memiliki bentuk hidung bulat, bahkan hidung Akek Buneng muncul lebih panjang, mirip sosis. Bentuk hidung semacam itu, jika diklaim sebagai ciri orang Melayu Bangka Belitung, kurang merepresentasikan ciri bentuk hidung khas Melayu Bangka Belitung atau mayoritas penduduk Negeri Serumpun Sebalai.

Barangkali sang kartunisnya mempunyai argumentasi-argumentasi tertentu. Namun, sewaktu kartun berada dalam batasan “Serumpun Sebalai”, terima atau tidak karakteristik kartunnya tidak lantas menggiring kesan pembaca pada ciri anatomi orang-orang yang berasal dari negeri-negeri nun jauh di belahan bumi bagian barat. Maaf kalau saya nekat mengatakan, distorsifikasi (eksagerasi) “kebablasan” sehingga keluar dari batasan “Serumpun Sebalai” yang sebelumnya telah berusaha dibangun.

Kalau boleh saya memberi saran, alangkah baiknya sang kartunisnya mempelajari kembali bentuk-bentuk hidung penduduk Serumpun Sebalai, kemudian temukan bentuk yang dapat menjadi ciri khas hidung lokal. Jangan sampai identitas lokal hanya ditekankan pada pakaian adat yang dikenakan oleh tokoh-tokoh kartunnya ibarat orang Barat yang tiba-tiba berpakaian adat sekaligus berbahasa Melayu Serumpun Sebalai lalu dianggap sebagai ciri khas orang Serumpun Sebalai.

Keempat, jari-jari tangan para tokoh; baik tokoh utama maupun sekadar figuran. Pada bagian ini kentara benar bahwa sang kartunis belum konsisten. Ada jari yang berjumlah normal, tetapi ada pula yang tidak normal. Ada yang berjari-jari lima, yakni di rubrik opini (hal.6) edisi 02/02/2005, 04/02/2005, 09/03/2005, 18/07/2005, 27/07/2005, dll. Ada yang berjumlah empat, yakni di rubrik opini (hal.6) edisi 19/03/2005, 22/03/2005, 16/06/2005, dll. Dan sayangnya lagi, ketidakkonsistenan tersebut kadang terjadi pula pada satu episode pemuatan, yakni kartun strip Mak Per – Akek Buneng edisi 30/01/2005, 24/07/2005, dll., dan rubrik opini edisi 20/06/2005, 23/06/2005, 30/06/2005, dll.

Wajar-wajar saja seorang kartunis ingin membuat kesan lucu melalui ketidaknormalan (distorsi) anatomi tokoh-tokoh kartunnya. Namun alangkah baiknya jika ia konsisten pada pilihannya. Juga bukan hal yang aneh, janggal atau kontemporer ketika jari-jari tokoh kartun dihilangkan satu alias tidak normal. Tokoh-tokoh film kartun Barat sudah lama menampilkannya. Sementara di Indonesia, setahu saya, baru Agus Jumianto – salah seorang kartunis Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta – yang kira-kira sejak hampir sepuluh tahun ini konsisten mengurangi jumlah jemari menjadi empat pada tokoh-tokoh kartunnya, dibarengi oleh bentuk anatomi kartunnya yang serba distorsif. Pada distorsifikasi bertahun-tahun tersebut Agus Jumianto berhasil menciptakan kekhasan dalam karyanya.

Kelima, asesoris. Beberapa bulan ini saya lihat bentuk kopiah yang dipakai Akek Buneng tidak mirip lagi dengan yang dipakai Akek Buneng pada identitas tokoh dalam kartun strip Minggunya. Kalau awal-awalnya kopiah Akek Buneng tampak karakter resam dan lekuknya, akhir-akhir ini sudah tidak jelas, mirip kain lusuh. Meskipun mungkin sebagian orang menganggap tidak penting, perbedaan bentuk kopiah pun merupakan suatu ketidakkonsistenan sang kartunis dalam membuat citra tokoh lokal ciptaannya sendiri.

E. Penutup

Kehadiran Mak Per dan Akek Buneng dengan aktualitas lokal di Harian Pagi Bangka Pos, semoga merupakan angin segar bagi kehidupan dunia kartun di Bangka Belitung masa depan. Seorang Yudi pun, semoga, kelak bisa konsisten pada pilihan garis-garis dan warnanya sampai menemukan jati diri yang pas bagi tokoh-tokoh kartunnya. Saya berharap, di kemudian hari muncul pula kartunis-kartunis berkaliber di Bangka Belitung ini seperti atau bahkan melebihi Almarhum Thomas Aquino Lionard – kartunis/karikaturis Harian Sore Sinar Harapan atau kini Suara Pembaruan yang berasal dari Sungailiat. Semoga.

*******

Sri Pemandang Pucuk Sungailiat, Agustus 2005

Tidak ada komentar: