Sabtu, 21 Februari 2009

Subyektivitas Selera Siapa Saja

Puisi adalah sebuah karya sastra yang paling subyektif dibanding karya-karya genre sastra lainnya, meski unsur-unsur instrinsik dan ekstrinsiknya dalam struktur karya sastra ‘bisa’ dipelajari. Setiap pemuisi memiliki kebebasan subyektif dalam berkarya seperti membuat metafofora, metonimia, aliterasi, licentia poetica, dan lain-lain untuk menciptakan suatu estetika puitik. Sebaliknya, masing-masing pembaca pun memiliki kebebasan dalam mengungkapkan persepsi dan resepsinya atas sebuah puisi, entah estetis ataupun tidak estetis sama sekali.

Estetika sebuah puisi bersifat relatif, tidak absolut. Siapa pun, entah pemuisi ataupun penikmat, memiliki subyektivitas absolut terhadap sebuah puisi, baik pada kualitas estetisnya ataupun tanpa estetika apa pun. Dan parameter estetika tersebut selalu beragam bahkan tidak layak dipaksakan oleh pemuisi kepada penikmat, pakar kepada pembaca, pengamat kepada penikmat, atau antar penikmat sendiri. 

Radhar Panca Dahana (1999) mengatakan, sastra adalah sebuah demokrasi yang sesungguhnya. Pembaca adalah raja di depan sebuah karya sastra, tak satu pun yang dapat memaksanya. Begitu pun sebaliknya, pengarang adalah raja saat ia menuliskan karyanya. Tak seorang pun dapat menindas ide dan imajinasinya.

Begitu pula jika pembaca menyimak puisi Kabar Kepada Kawan (KKK) berikut ini.
wahai kawan, / siapakah yang tak turut menelan nestapa / pada duka sesama meronta papa / negeri para pahlawan digempur gempa
tapi kenapa, wahai kawan / diantara kita ada yang masih merasa / diri adalah makhluk tak bernoda / lantas mencibir atau curiga / pada uluran kasih dunia peduli hidup demi hibur lara sesama kita
sungguh celaka pula, wahai kawan / diantara kita memanfaatkan / kemalangan sebagai iklan / untuk pamer atau perkaya diri
wahai kawan, / siapakah yang tak turut menelan duka / pada ragaraga tanpa jiwanyawa / ditelikung tsunami di depan mata

Puisi tersebut tergabung dalam antologi puisi untuk bencana tsunami Maha Duka Aceh yang memuat sekitat 160 puisi karya penyair dari berbagai daerah di Indonesia seperti Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Jakarta, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Lampung, Banten, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali serta sejumlah daerah lain, dieditori oleh Endo Senggono bersama sejumlah rekannya, diterbitkan oleh Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin Jakarta (2005), dan dijual ke perorangan dan berbagai lembaga yang berkepentingan yang hasil penjualannya disumbangkan untuk anak-anak korban gempa dan tsunami di NAD serta Sumatera Utara (Sumut).

Menurut Djamal D. Rahman (Kompas, 28/01/2005), buku Maha Duka Aceh itu diluncurkan di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta pada 28/1/2005 pukul 20.00, dan acara peluncurannya diselenggarakan atas kerja sama PDS HB Jassin, Masyarakat Sastra Peduli Aceh, dan DKJ (Dewan Kesenian Jakarta, pen.). Mereka yang akan tampil membacakan puisi di antaranya Sides Sudiarto DS, Budiman S Hartoyo, Slamet Widodo, serta mantan peragawati Ratih Sanggarwati dan artis Tamara Blezinsky. WS Rendra juga diundang untuk membacakan orasinya. Adapun pentas musik dipandu oleh peharpa Maya Hasan, dan diisi, antara lain, oleh musisi Jocky Suryopyajogo.

Kalau tim panitia (penerbit buku MDA) ‘melayakkan’ puisi KKK diikutkan dalam kumpulan puisi karya penyair-penyair nasional seperti Sitor Situmorang, Mustofa Bisri, Gunawan Muhammad, Danarto, Djamal D. Rahman, Mudji Sutrisno, Ari MP Tamba, Rieke “Oneng” Diah Pitaloka, Golagong, Putu Fajar Arcana, Fikar, Ikra, Todung Mulya Lubis, Binhad Nurrohmat, Budiman Sh., Yudhistira, Nurhayat Arif “Alik” Permana, dan lain-lain, rupanya tidak demikian dalam benak orang lain, termasuk Seniman Pangkalpinang Willy Siswanto (WS). Sekitar pertengahan Februari 2006 WS mengirim SMS kepada Sunlie Thomas Alexander. “Memoar untuk satu-satunya puisi dalam Mahaduka Aceh dari penyair Bangka Belitung, Afrizal Malna dan (penulis lupa nama seorang lagi) tertawa lucu,” tulis WS. Cuma itu.

Tulisan ini tidak sedang bersusah-payah hendak membela puisi KKK karena bermutu atau tidaknya (dalam kerangka subyektivitas siapa pun!) puisi itu toh sudah sampai kepada banyak orang, baik para penyair yang karyanya termuat di buku tersebut maupun kalangan non-sastrawan semenjak acara peluncurannya. Yang mungkin perlu dilakukan di sini adalah, bagaimana membantu WS merajut ulang jala-jala logikanya agar bisa berfungsi kembali secara normal dan berkualitas baik sebagai penangkap kemungkinan-kemungkinan positif yang selama ini terlanjur lolos dari realitas obyektifnya akibat jala tersebut mengalami disfungsi, rapuh serta dirobek sana-sini oleh supersubyektivitas sikap patronistik seorang WS.

Dari SMS tersebut tampak ‘impotensi intelektual’ seorang WS dalam pemaparan kritik atau persepsi. Seniman asal Kutoarjo Jawa Tengah itu tidak menyusun paparan telaah yang cerdas, jika memang ia ‘menilai’ atau ‘menghakimi’ bahwa puisi KKK hanya pantas jadi bahan tertawaan. WS masih ‘tergantung’ oleh rekomendasi resepsi orang lain, khususnya penyair besar nasional seperti AM, untuk ‘mengejek’ puisi sekaligus penciptanya. Maknanya, WS (sebagai tokoh sastra di Babel) tidak mampu melakukan sebuah ‘penilaian’ atau sampai kepada ‘penghakiman’ yang benar-benar arif, argumentatif, konstruktif, akuratif dan edukatif.

Sikap WS via SMS itu justru melahirkan dugaan negatif (ini pun subyektif) bahwa WS cemburu (iri hati) atas pemuatan puisi KKK dalam buku berskala nasional tersebut; kenapa tidak ada puisi karya WS dalam buku berskala nasional tersebut padahal di Babel nama WS telah mendapat pengakuan dari sebagian kalangan, dan indoktrinisasi puisi-puisi WS (tanpa itikad edukatif untuk mengenang legenda kepenyairan Hamidah yang menasional) di kalangan siswa SD melalui lomba baca dalam rangka H.U.T. Perpustakaan Kota Pangkalpinang tahun 2005 lalu.

Dari SMS tersebut muncul beberapa hal yang patut disampaikan dalam rangka ‘wacana’ praksis sastra dan ‘politik’ penerbitan buku sastra. Pertama, puisi KKK ikut terpilih dan tergabung dalam buku nasional tersebut bukanlah atas desakan, rengekan ataupun ‘sogokan’ kreatornya. Bukan pula lantaran permintaan secara pribadi atau belas kasihan panitia perekrut karya. Perekrutan karya diumumkan di media massa alias terbuka untuk umum. Panitia perekrut puisi-puisi itu jelas tidak terdiri dari WS beserta seluruh anggota keluarganya.

Proses penyeleksian pun tentunya tidak asal-asalan karena tergabung bersama karya penyair-penyair besar nasional. Puisi yang memang amburadul, tentunya belum pantas bersanding dengan karya-karya besar para penyair nasional. Panitia pun pasti mempunyai argumentasi tersendiri, dan bersedia mempertanggungjawabkan kualitas dan kinerja mereka dalam penyeleksian puisi-puisi yang masuk ke meja redaksi.

Penyeleksian itu tentu saja berbeda jauh dari kerja imajiner Penerbit Yayasan Aktualita Karsa Pangkalpinang yang menerbitkan antologi puisi tunggal Kaki-kaki Telanjang (KKT) karya WS (2005), yang ternyata seluruh kerja keredaksionalannya dilakukan sendiri (one man show) oleh WS tanpa sedikit pun melibatkan ketua yayasan serta anggota-anggota lainnya sehingga puisi Catatan Untuk Rakyat (tanpa sungkan-sungkan) bisa tergabung dalam KKT padahal puisi dengan judul (serta sebagian isinya) yang sama pernah menang lomba puisi di Jakarta tahun 2001 serta dipublikasikan oleh Bangka Pos (2001) atas nama Gautama Indra alias Peter Siswanto, adik WS.

Kedua, tertawaan Afrizal Malna (AM) dan penyair besar nasional lainnya bukan sekadar respon negatif (‘penghinaan’) sekaligus tolok ukur absolut untuk menggagalkan partisipasi puisi KKK dalam buku itu sekaligus menarik kembali peredarannya. Sebaliknya, respon itu justru suatu penghargaan bahwa seorang AM masih sudi melirik dan mengritik puisi KKK. Sungguh tidak relevan jika kualitas puisi tersebut harus ‘diadu’ dengan pencapaian artistik puisi-puisi AM. Ketidakbermutuan puisi KKK di kepala botak AM jelas wajar karena AM telah memiliki kriteria tertentu (kalau tidak mau menyebut ‘absolut’) yang jelas boleh subyektif pula!

Jelas jangan juga dibandingkan dengan komentar WS sendiri pada sampul belakang kumpuluan sajak KKT, yang yang seolah-olah ulasan penerbit atau pengamat sastra bermutu. “Kekuatan karya sastra dalam kakikaki telanjang justru berada pada pilihan kata sederhana yang mudah dicerna dan pada refleksi verbal yang dihadirkan sebagai sekedar catatan atau gugatan ! / sajak-sajak potret yang terdokumentasikan di dalamnya mampu berbicara faktual tentang realita hidup manusia tanpa hamburan hiperbolisme atau sentimentalisme / inilah sajak-sajak lugas / yang hadir tanpa keributan teori dan lipstik profanisme seni untuk seni,” begitu tulis WS sendiri. Sebuah tragedi memilukan plus memalukan dalam dunia sastra Indonesia!

Ketiga, standar kualitas dalam kerangka logika subyektif seorang WS tidak berlaku bagi panitia (PDS HB Jassin Jakarta) yang telah ‘menilai’ kualitas estetika-artisitik sebuah puisi. Memangnya siapa WS bagi panitia ataupun bagi penyair-penyair nasional? Memangnya siapa (apa hebatnya) WS dalam sejarah kritik sastra Indonesia mutakhir? Sampai tahun 2005 itu tidak ada satu pun puisi karya WS (apalagi nama WS) yang pernah menjadi perbincangan (puja-puji) kalangan sastrawan berskala nasional! Lantas, apa artinya (faedahnya) SMS dari WS itu untuk kontribusi berkualitas bagi perkembangan sastra Indonesia mutakhir?

Itulah. Lagi-lagi subyektivitas getas seorang WS atas puisi KKK malah membuahkan ironi, mengingat kiprah WS dalam jagad sastra Babel sudah lebih lima tahun. Lebih ironi bila disandingkan dengan puisi Catatan Kepada Rakyat (2001) karya konspirasi dusta WS dan adiknya, PS. Puisi KKK adalah buah kejujuran yang tidak ‘memburu’ profit (honor) dan profil (gelar juara), melainkan suatu sumbangsih tulus untuk korban bencana tsunami Aceh 2004.

Maka, walau WS mati-matian menelaah puisi KKK dengan segala rumus puisi super canggih temuan pakar puisi dunia sekalipun, tetaplah suatu usaha ‘menjaring matahari’. Karena, bagaimanapun tajamnya ‘pisau telaah pinjaman’ dan tebalnya ‘kaca mata pribadi’ WS, tetaplah ia tidak akan pernah mampu ‘menggugat’ kualitas resepsi panitia sekaligus membatalkan keberadaan puisi KKK dalam buku tersebut. Tertawaan orang lain hanya memperbesar kecemburuan WS. Pencipta puisi KKK ataupun penyair muda Babel lainnya tidak perlu berkecil hati, ‘gantung kata’ apalagi ‘nekat gantung diri’ atas simpang-siur persepsi subyektif siapa pun, termasuk ‘ejekan’ (iri hati) Seniman WS yang ‘menunggangi’ persepsi penyair nasional.

Jadi, sekali lagi, kualitas puisi KKK dalam buku itu dan tertawaan penyair besar nasional bukan suatu persoalan paling krusial-fundamental bagi kreatornya, melainkan berpulang kepada normalitas, kualitas mekanisme intelektual, kebesaran jiwa, dan itikad edukatif seorang WS dalam menanggapi realitas-idealitas sebuah kreasi sastra melalui paparan kritis berkualitas atas suatu usaha penerbitan antologi bersama yang dilakukan oleh panitia. Meski persepsi dan resepsi subyektif-naif seorang WS itu sah-sah saja menurut teori resepsi sastra, WS tetap percuma membuat semacam ‘penilaian artistik’ ataupun ‘penghakiman strukturis-konstruktif’ atas bangunan puisi KKK dalam buku tersebut apalagi dengan cara ‘mendompleng’ apresiasi penyair nasional. Daripada membesar-besarkan rasa iri dan melakukan tindakan kontra intelektual melalui SMS, lebih baik WS sungguh-sungguh mempergunakan kesempatan yang ada untuk mempercantik kumis atau mempercanggih kacamatanya.

*******
Kobatin Bangka Tengah, Januari 2006

*) kartunis asal kampung Sri Pemandang Pucuk Sungailiat, kini menyepi di Koba.

Tidak ada komentar: