Sabtu, 21 Februari 2009

Sastrawan Lokal dan Koran Lokal

“Karya-karyaku kini tidak sudi lagi dimuat koran daerah kita. Apa salahku? Apa kurang bermutu dibanding karya-karya penulis lainnya?” keluh seorang sastrawan Babel.

Dulu karya-karyanya, seperti cerpen dan puisi, memang sering dimuat di sebuah koran lokal yang sangat terkenal. Namun, entah karena ‘ada perkara apa’, akhir-akhir ini karya-karyanya tidak lagi pernah tampil di koran itu. Padahal dia masih rajin menulis. Dia pernah mengirimkan karya-karyanya di koran lokal lainnya, dan ternyata dimuat. “Itu pun tanpa honor,” ungkapnya suatu waktu.

Di mata saya, dia bukan sastrawan dini hari tadi. Sejak masih SD dia telah menekuni sastra, terutama puisi, sampai setelah meraih gelar sarjana sekian tahun silam. Dibanding dia, saya justru tidak ada sekukunya, dan bukan siapa-siapa. Saya menekuni sastra di saat perjalanan kuliah saya tiba di persimpangan. Tetapi keluh-kesahnya sungguh mengusik pikiran saya. Ada apa ini?

A. Problem Lokal

Aktualisasi diri ternyata bukan saja tuntutan jiwa para ABG. Krisis identitas pun bisa melanda orang yang tidak belia lagi. Keinginan untuk (tetap) ‘dikenal banyak orang’ pun merupakan sebuah tuntutan jiwa sebagian orang. Kenapa? Rupanya mayoritas orang tetap membutuhkan penghargaan di mata banyak orang. Eksistensi diri pada wadah publis lokal seringkali melanda sebagian orang lokal, termasuk sastrawan lokal.

Kehadiran media cetak atau koran lokal memberi peluang bagi publisitas karya sastrawan lokal, ditambah honor meski tidak sampai jutaan rupiah. Mereka semakin bersemangat untuk semakin meningkatkan kualitas karya karena berharap akan dipublikasikan dan dibaca banyak orang. Satu kali pemuatan disusul pemuatan berikutnya, diakui atau tidak, kian menaikkan rasa percaya diri mereka. Apalagi ketika karya yang dimuat tersebut diperbincangkan dalam sebuah forum diskusi sastra lokal dan menuai segudang pujian.

Tetapi, rupanya hal itu membuat sebagian sastrawan lokal terlena. Mereka selalu mengirimkan karya di koran lokal, lalai memperhitungkan bahwa masih ada koran-koran luar daerah yang siap memuat karya mereka. Dari segi kualitas, barangkali karya mereka sudah lebih dari layak untuk berkiprah lebih jauh, menyeberangi laut, melangkahi pulau, melintasi propinsi, menjangkau ibukota, bahkan melebihi teritorial Nusantara.

Suatu ketika karya sastrawan lokal tidak lagi terakomodasi oleh koran lokal yang telah terkenal dengan alasan yang tidak jelas. Tak pelak ketidakmuatan karya dinilai berpotensi mengimbas pada nama sang sastrawan, yang terjadi adalah terkikisnya rasa percaya diri sang sastrawan tersebut. Apalagi koran lokal tersebut masih memberi ‘tempat’ bagi karya sastra dari sastrawan luar daerah. Barangkali ada semacam kekhawatiran, dirinya (ketenaran masa silam) dilupakan orang. Semacam krisis eksistensi.

Dan, sebagai sastrawan yang selalu bergumul dengan perasaan, satu pertanyaan yang senantiasa meneror adalah ‘apa salahku’. Masih bagus bahwa introspeksi ‘apa salahku’ dilakukannya. Artinya, dia masih bersedia melihat dirinya serta mencari kekurangan-kekurangan dalam dirinya melalui karya-karyanya. Jika enerji itu dialirkan secara positif dalam berkarya, niscaya dia akan semakin rajin dan tekun berkreasi. Alhasil, tidak mustahil, dia akan menghasilkan karya yang betul-betul bermutu kelas satu.

Untuk koran lokal, ada beberapa hal yang mungkin menjadi bahan pertimbangan mereka dalam pemuatan karya. Pertama, banyaknya karya-karya yang masuk dari sastrawan lainnya. Kedua, karya-karya sastrawan lain pun berkualitas. Ketiga, keselarasan dengan misi dan visi perusahaan koran itu sendiri. Keempat, siapa pembacanya, baik status sosial, ekonomi ataupun kecenderungan minat mereka. Ingat, ini media massa, plural, bukan hanya untuk massa sastrawan. Seberapa banyakkah pembaca yang benar-benar menyukai karya budaya (sastra)?

Juga persoalan hakekat pers dan fungsinya sebagai agen perubahan, kontrol sosial, dan alat pendidikan. Kecenderungan koran lokal, semisal Bangka Pos, adalah memuat karya-karya sastra yang bertema aktual, berisi kritik sosial, dan berpesan moral secara gamblang. Apa boleh buat. Mungkin sudah menjadi kebijakan redaksional.

B. Sekadar Saran

Saya tidak tahu ‘apa salahnya’ sesungguhnya. Saya bukan pemimpin redaksi, redaktur budaya, apalagi Tuhan. Saya tidak tahu apa saja kebijakan redaksional koran lokal terhadap karya para sastrawan lokal dalam publisitasnya. Saya tidak tahu seberapa cerdas redaktur budaya dalam menyeleksi karya yang masuk setiap minggu untuk pemuatannya.

Yang saya tahu, pertama, sastrawan berkaliber seperti dia sudah bukan waktunya lagi bingung soal publikasi di media lokal. Toh publikasi yang bertendensi ‘aktualisasi diri’ (terkenal) sudah bukan masa dia lagi. Toh beberapa kali karya-karyanya dimuat di koran luar daerah, dan mendapat honor yang distandarkan oleh koran itu.

Kedua, masih ada media massa cetak lainnya. Sastrawan lokal sebaiknya tidak lagi melulu berkutat pada pemuatan karyanya di koran lokal yang satu-satunya. Kirimkan ke koran atau media massa cetak lainnya, baik yang berskala lokal maupun nasional. Alamat? Kan tidak susah mencari korannya di tempat penjualan koran, internet, dan informasi rekan-rekan sastrawan. Ada Koran Tempo, Kompas, Suara Pembaruan, Republika, Media Indonesia, Sinar Harapan, Jawa Pos, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Lampung Post, Sumatera Ekspres, Riau Pos, Batam Pos, dan koran-koran lainnya, juga majalah seperti Horison, Femina, Kartini, Matra, Gadis, Kawanku, Jurnal Cerpen, dan lain sebagainya. Kalau memang yakin pada kualitas karya sendiri, kirimkan saja ke media massa tersebut. Beres!

Atau, buat saja media sendiri, semisal newsletter yang berisi karya sastra lokal. Di Yogyakarta ada sebuah majalah yang dicetak dalam format fotokopi HVS kwarto dilipat dua, dan dalam jumlah secukupnya sesuai kemampuan rekening mereka. Harganya Rp.1000,- saja. Dijual di beberapa toko buku dan tempat-tempat yang biasa dipagelarkan acara budaya. Nama majalahnya adalah BEN! Majalah Luar Biasa.

Ketiga, karakteristik koran. Ini penting. Seorang sastrawan harus jeli melihat karakteristik koran tertentu. Ada koran yang sering memuat karya-karya yang bersifat ‘menggurui’ dan sastra sebagai papan tulisnya. Ada koran yang bersifat aktual, alias selalu memunculkan karya sastra yang ‘masih hangat’ dalam tema dan pembicaraan umum. Ada juga koran yang murni melihat karya sastra seutuhnya sastra sebagai sastra, bukan akibat pembicaraan hangat (aktual) maupun mimbar ceramah. Ada lagi koran yang lebih mengutamakan penulis-penulis baru (baru belajar menulis, dan belum terkenal di daerahnya apalagi nasional). Selain itu, ada koran yang cenderung mengangkat tema-tema religius.

Keempat, selera subyektif redaktur. Nah, yang ini memang ruwet. Tapi penulis sastra harus jeli. Tidak semua redaktur betul-betul murni menghargai sebuah karya sastra sebagai karya sastra yang berkualitas secara cerdas dan obyektif. Celakanya, kalau ternyata sang redaktur tidak suka pada penulisnya, entah alasan subyektif apa.

Berikut masih terpengaruh oleh karya titipan rekan kerja di koran tempatnya bekerja tanpa mempertimbangkan seberapa bobot karya tersebut. Tambah celaka, redakturnya sering memuat karyanya sendiri di koran tempatnya bekerja!

Tapi ya terserah redakturnya, yang berhak mutlak meloloskan karya ke proses cetak. Maka, sekali lagi, daripada berpurbasangka buruk terhadap redaktur, kirimkan saja karya sastra ke koran lain yang redakturnya memiliki selera sastra sama dengan penulisnya, atau redakturnya betul-betul obyektif pada masukan naskah sastra.

Kelima, persiapkan karya sebaik-baiknya untuk suatu lomba. Sastrawan lokal yang telah terkenal seperti dia sebaiknya tetap mengasah kemampuan untuk berkompetisi di ajang perlombaan, baik berskala lokal (daerah lain, misalnya Lampung, Padang, Riau, Bandung, Yogyakarta, dll.) maupun berskala nasional. Disamping sebagai uji nyali bagi diri sendiri sekaligus menakar kemampuan diri, juga dapat menunjukkan kepada daerah lain bahwa sastrawan Bangka Belitung masih ada dan memiliki karya yang layak diperhitungkan.

Saya pikir, Sunlie Thomas Alexander (sastrawan kota Belinyu yang pernah menjadi nominator sayembara cerpen di majalah Horison, dan cerpen-cerpennya dimuat di beberapa media nasional), Ian Sancin (sastrawan asal Belitung yang naskah sinetronnya menanti pelaksanaan dari Ibukota), Larsi De Isral (sastrawan muda Padang yang kini menetap di Pangkalpinang, dan karya-karyanya telah meramaikan sastra nasional), Kario (sang ‘raja pantun’ dari kampung Kurau Bangka Tengah yang telah menjangkau Negeri Jiran), dan sastrawan Babel lainnya (yang belum saya kenal) sudah menyuntikkan semangat baru kepada kita untuk berkecimpung melampaui teritorial Negeri Serumpun Sebalai ini.

Keenam, tetaplah berkarya. Paling penting bagi sastrawan yang sungguh-sungguh sastrawan adalah berkarya. Sastrawan dikenal lewat karyanya apalagi berkualitas. Bukan karena sebutan orang lain tapi tanpa menghasilkan karya sastra berkualitas. Dimuat atau tidak, sastrawan tetap menulis. Kepuasan seorang sastrawan sejati adalah ketika idenya berhasil menjadi sebuah karya utuh. Tidak dimuat oleh media massa lokal, tidak berarti telah menamatkan riwayat kesastrawanannya. Jika memang sastrawan tersebut selalu menyediakan karya-karya berkualitas, justru redaktur koranlah yang akan meminta karya kepada sang sastrawan dengan alasan-alasan logis.

Selamat berkarya!

*******

Sri Pemandang Pucuk, Oktober 2005

Tidak ada komentar: