Sabtu, 21 Februari 2009

Menggumuli Kumpulan Cerita Pendek Stannium Comp 2250 Karya Willy Siswanto

Usai acara Saresehan Pameran Lukisan Tunggal Willy Siswanto di Pink Kafe Pangkalpinang, Selasa, 27 September 2005 lampau, saya minta buku Kumpulan Cerita Pendek Stannium Comp 2250 (Cetakan Pertama Agustus 2005, Yayasan Aktualita Karsa Pangkalpinang, 2005) karya pertamanya.

Mula-mula saya melihat buku terbungkus plastik tersebut ketika saya masuk ruang pameran (ruang makan Pink Kafe), dan di meja bulat telah hadir Budayawan Babel Suhaimi Sulaiman (waktu itu beliau sebagai pembicara saresehan seni rupa), dan sang pelukis sekaligus penulis, Willy Siswanto. Mujur sekali, cerpenis-penyair Babel kelahiran Kutoarjo (Jawa Tengah), 29 Januari 1967 itu akhirnya memberikan buku tersebut. Saya bilang, “Maturnuwun.” Artinya, terima kasih alias makase alias kamsia alias sinmung.

Willy Siswanto, dalam ingatan saya selama enam tahun terakhir, rajin melahirkan karya-karya yang senantiasa menuai decak kagum dari sebagian masyarakat peduli seni rupa dan seni sastra di Bangka Belitung sejak dia bersama kawan-kawannya memproklamirkan berdirinya Komunitas Pekerja Sastra Pulau Bangka (1999), dan Komunitas Pelukis Bangka (1999). Dia dan kawan-kawannya juga sering melakukan kegiatan seni dan sastra di seantero pulau Bangka. Pawai sastra, temu sastra, diskusi sastra, pameran lukisan, juara ini-itu, juri seni dan sastra, serta seabrek pujian dari banyak kalangan di bumi Serumpun Sebalai. Tulisan-tulisannya pun sudah merambah Ibukota bahkan menjangkau manca negara, seperti Filipina, Hongkong, dan lain-lain.

Maka, ketika Willy Siswanto memberikan buku kumpulan cerpennya kepada saya, serta-merta bergiranglah hati saya. Sungguh beruntung nasib saya saat itu. Saya sudah memiliki beberapa buku antologi puisinya. Sekarang kumpulan cerpen. Gratis lagi!

Lantas, di rumah saya segera membuka plastik pembungkus buku barunya. Saya sudah tidak sabar untuk melihat isinya. Sebab, sejak pandangan pertama saya sudah terpesona oleh tampilan sampul depan yang tertata artistik dengan kombinasi warna dan pemilihan jenis huruf yang estetis. Apalagi bahannya menggunakan kertas doff. Keren juga, pikir saya.

Tapi mata saya menangkap ‘sesuatu’ pada ilustrasi sampulnya. Sesuai dengan judul Stannium Comp 2250, sekerumunan bangunan alias sebuah kota didesain dengan kesan futuristik, mulai dari bentuk hingga bahan bangunan (besi metalik), dan berada di atas daratan yang menjulang dengan deburan ombak mencabik-cabik kaki daratan. Ada kesan, alam akan merobohkan kecanggihan kota tersebut. Sebuah imajinasi untuk tahun 2250.

Namun sayang, ilustrasi tersebut tidak terpadu (unity). Sekerumunan bangunan didesain dengan kesan futuristik (tahun 2250). Sedangkan kaki daratan yang bertarung langsung dengan terjangan ombak laut tidak digarap sepadan. Jangankan kita berpikir jauh tentang sebuah kota masa depan (tahun 2250 kelak), sebelum tahun 2000 negara-negara maju bahkan beberapa wilayah di Indonesia saja sudah berusaha mengantisipasi agresivitas abrasi dengan cara memperkokoh daratan tepi pantai dengan tanggul dan perkerasan. Mungkinkah pada tahun 2250 kelak kemajuan pembangunan nan canggih sama sekali tidak mengindahkan kawasan pesisir?

Untuk menggambarkan kesan ‘keropos’ pada kaki daratan, bisa saja dengan menggambarkan tanggul berbahan baja (besi metalik, istilah Willy Siswanto) seperti yang dipakai untuk sekerumunan bangunan dalam ilustrasi tersebut. Tetapi di beberapa bagian telah digerogoti ombak. Retak, bolong, karat, suatu bidang yang pecah ditambah dengan serpihan-serpihannya, dan lain-lain. Sehingga kawasan yang terbangun megah (high tech) betul-betul tampak merata hingga pesisir. Di situ jelas terpadu (unity) secara arsitektural.

Oops! Maaf, saya ngelantur. Pembicaraan kita bukan pada ilustrasi (seni rupa). Melainkan cerpen (seni sastra) dalam kumpulan tersebut. Terpaksa saya tinggalkan persoalan grafis pada sampul depan. (Yang penting isinya, Bung, bukan bungkusnya!)


I. Membaca Awal

Saya coba membuka lembar demi lembar serta kata demi kata dalam Kumpulan Cerpen setebal 166 halaman dan terdiri dari 14 cerpen tersebut. Pada halaman Daftar Isi (hal.8) saya melihat judul-judulnya. Anak Langit, Sangkar, Tanda Jasa, Teplok, Terdakwa, Sniper, Stannium Comp 2250, Boneka, Pidato, Kado Di Pagi Buta, Patung, Belatung, Marga, dan VCD.

Sayangnya, saya tidak menemukan halaman sumber naskah (nama media dan kapan publikasinya) sehingga saya tidak tahu, apakah cerpen-cerpen dalam kumpulan tersebut adalah cerpen-cerpen yang pernah terpublikasi di suatu media massa (cetak), ataukah sebelumnya sengaja disimpan oleh Willy Siswanto atau penerbit.

Kemudian, Kata Pengantar dari penerbit. Kata Pengantar dari penerbit biasanya merupakan sebuah jembatan komunikasi ataupun bentuk pertanggungjawaban atas penerbitan sebuah buku. Di dalamnya bisa berisi argumentasi (latar belakang dan alasan penerbitan) serta persuasi (untuk apa). Penulis Willy Siswanto telah menghasilkan puluhan bahkan mungkin ratusan cerpen, maka penerbit menyeleksi diantaranya lalu menerbitkannya dalam bentuk buku.

Atau, dari pengamat sastra. Biasanya penulis cerpen atau pengamat sastra yang sudah berpengalaman, kritikus sastra, kalangan akademisi, atau orang-orang yang memang memiliki kapasitas memadai untuk melakukan telaah sastra (cerpen). Mungkin berisi ulasan, komentar, kritik, kelebihan-kekurangan, dan lain-lain. Dari situ pembaca dapat memperoleh apresiasi awal mengenai cerpen-cerpen yang terkumpul.

Akan tetapi saya tidak menemukan ‘kata pengantar’ itu. Apakah pihak Penerbit Yayasan Aktualita Karsa Pangkalpinang merasa tidak perlu lagi memberi kata pengantar lantaran cerpen-cerpen Willy Siswanto dalam buku tersebut sudah tidak perlu diragukan lagi kualitasnya? Mungkin saja. Yang terang, pembaca sendiri diharapkan untuk membaca cerpen-cerpen Willy Siswanto, menangkap kesan/makna, dan memperoleh manfaat apa yang terkandung di dalamnya, tanpa perlu ‘diantar’ lagi oleh penerbitnya.


II. Membaca Isi Sekilas

Masuk ke halaman isi, saya sengaja membaca secara cepat sembari berharap suatu saat saya menemukan cerpen yang menarik minat baca saya. Satu judul, dua judul, tiga judul, dan seterusnya sampai judul cerpen ke-14. Selesai. Apa yang hinggap di benak saya setelah membaca tadi?

Pertama, ketergesa-gesaan, dan kurang teliti. Tampak jelas sekali, buku tersebut diterbitkan secara tergesa-gesa. Barangkali cerpen-cerpen yang terkumpul tidak mengalami proses editing atau pemeriksaan aksara secara matang. Buktinya, nyaris pada setiap cerpen terdapat tanda hubung (-) yang tidak benar pemakaiannya pada kata-katanya.

Diantaranya, menyam-bung, roda-nya, sekolah-nya, sebenar-nya, ter-ngiang-ngiang (cerpen Anak Langit), silsilah-nya, ber-arsitektur, bran-jangan, mem-bawa, jabatan-nya, pemakai-nya, ke-perempuanannya, diri-nya (cerpen Sangkar), kepeme-rintahan, per-dagangan, dima-kamkan, diplomasi-nya, orasi-nya (cerpen Tanda Jasa), pertan-dingan, per-cakapan, pene-rangan, mengupa-yakan (cerpen Teplok), menyorong-kannya, merun-dukkan, pertanyaan-pertanyaan-nya, rekon-struksi, men-dorongnya, se-hingga, perse-lingkuhannya, kepolisi-an (cerpen Terdakwa), dagangan-nya, ber-goyang, meng-instruksikan, didesak-kan, perumah-an (cerpen Sniper), dibelakang-nya (cerpen Marga), dan lain-lain.

Sebaliknya, ada yang perlu tanda hubung (-), malah tidak digunakan. Misalnya pada frase benda keras seperti gunung menerpanya tiba tiba dari belakang, lompat ke sini sana, kata kesana kemari (cerpen Anak Langit), pecah ruah, susah payah (cerpen Sniper), cikal bakal (cerpen Stannium Comp 2250), sebab akibatnya (cerpen Boneka), lalulalang (cerpen Belatung), terus menerus (cerpen Kado Di Pagi Buta), dan lain-lain.

Juga ada yang seharusnya disambung tapi malah dipisah. Misalnya pada frase perjuangan emak dengan pekerjaan nya, menawar kan diri untuk membersihkan kios (cerpen Anak Langit).

Kedua, kurang memperhatikan kaidah Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Seharusnya hal itu tidak lagi merupakan masalah bagi penulis papan atas di Babel ini. Menulis bukan aktivitas baru baginya. Namun sayang, tampaknya Willy belum mengerahkan seluruh kemampuan menulisnya. Sedangkan aturan EYD berlaku fleksibel untuk seni sastra bergenre cerpen, walaupun tetap ada ‘aturan’. Beda dengan puisi, yang bisa mempermainkan EYD demi efek puitik yang diinginkan oleh si pemuisi.

Dalam setiap cerpennya tidak sedikit dialog tokoh-tokohnya menggunakan kalimat langsung yang salah. Dari tanda baca hingga huruf kapitalnya.

“Ini mobil pengangkut sampah!”, kata bapak saat itu. (cerpen Anak Langit)

“Kamu tidak berangkat sekolah, nak ?” tanya emak suatu sore. (cerpen Anak Langit)

“Ada persoalan apa, Nyi mas? Kok nampaknya Nyi mas sedih?”, tanya Brata penuh perhatian dan belas kasih. (cerpen Sangkar)

“Tidak, mas”. Suaranya pelan. (cerpen Sangkar)

“Nak, lihatlah bapakmu menerima tanda jasa”. (cerpen Tanda Jasa)

“Iya. Mati lagi baru saja !. Bukan !. Bukan giliran wilayah kami hari ini !. Enggak. Aku gak tahu !. Iya aneh ! Baru lima hari lalu. Gelap, oi ! Gila !! Darimana duitnya ? Mau bikin pembangkit tenaga listrik sendiri?!” (cerpen Teplok)

“Nyalain apa sih dik?” Aku tidak bicara. (cerpen Teplok)

“Tidak, pak. Mampir ke tetangga dekat rumah.” (cerpen Terdakwa)

“Bung. Lari, bung. Mereka akan tangkap anda!” (cerpen Pidato)

“Tidak ada?. Tetapi anda masih idealis?” (cerpen Patung)

“Pendapatan mas sebagai guru honor pagi dan sore hanya pas-pasan untuk beaya hidup kita sehari-hari.” (cerpen Kado Di Pagi Buta)

“Aku habis bertengkar dengannya, yu “ jawab Amri membuka persoalannya. (cerpen VCD)

Beberapa itu cuma diantaranya. Masih banyak lagi kesalahan serupa. Saya sendiri sampai kewalahan sehingga harus mengabaikannya demi kelancaran proses pembacaan saya.

Kemudian kata “pun”, apakah disambung atau dipisah dari kata di depannya. Misalnya siapapun, apapun, sedikitpun, seorangpun, satupun, dan setetespun.

Lainnya adalah kerancuan penggunaan “di”, “ke” dan “dari” antara sebagai predikat (di-, dan ke-) dan kata depan untuk menunjuk tempat. Contohnya kata dibelakang, diatas meja, ditengah, dibawah, disamping, disana, disini, diujung, diluar, disebuah, menggotong keluar, bepergian keluar kota, darimana, dan lain-lain.

Jangan lewatkan pula kata “sekedar”. Lebih dari satu kali kata “sekedar” dipakai dalam cerpen-cerpen Willy. Benarkah kata “sekedar”? Apa asal katanya? Sebenarnya adalah “sekadar” yang berasa dari kata awalan “se-“ dan kata “kadar”. Lha kalau “sekedar”, dari awalan “se-“ dan kata “kedar”? Terkecuali kata “sekedar” berada dalam dialog, sebab dialog sebaiknya realis, tidak dibuat-buat seperti dialog seorang guru bahasa Indonesia dengan muridnya di sekolah.

Ketiga, tidak memanfaatkan catatan kaki. Keterangan panjang-lebar dijejalkan pada badan cerpen. Cerpen bukanlah artikel yang memiliki barisan-barisan penjelas. Barisan-barisan penjelas cenderung merusak jalannya cerita. Sebaliknya, penggunaan catatan kaki pada ruang setelah cerpen berakhir merupakan hal yang umum. Contohnya ketoprak, pakem, wedana, priyayi, cemara, jinjit, jarik kenanga kawung, panjenengan, semprong, skizofrenia, dan lain-lain.

Saya melihat penjelasan lebih panjang dalam cerpen Sangkar, tepatnya pada hal. 23. Larasati nampak ingin menumpahkan semua gejolak di dada yang selama ini ia pendam demi menjaga etika dan susila keluarga (percekcokan, pertengkaran atau sekedar selisih pendapat dalam keluarga jawa adalah aib yang memalukan bila didengar atau dilihat oleh tetangga. Dan itu mungkin sebabnya, demokrasi yang baik di Indonesia pada jaman itu juga bisa dimaksud-artikan sebagai ke-seragam-an suara, karena perbedaan adalah aib).

Tiga hal itulah yang sekilas hinggap dan mengusik benak saya, padahal saya membacanya secara cepat. Memang tidak terlalu prinsip karena mutu sebuah cerpen adalah isinya. Namun untuk ukuran seorang Willy Siswanto yang telah lebih sepuluh tahun menggeluti dunia tulis-menulis, kekeliruan-kekeliruan kecil semacam itu sepatutnya tidak perlu terjadi.

Lazimnya dalam sebuah penerbitan buku kumpulan cerpen, pada proses pracetak cerpen-cerpen yang dipersiapkan itu dikoreksi kembali. Pertama oleh cerpenisnya sendiri. Sebelum cerpenis menawarkan segepok cerpennya kepada penerbit, sebaiknya diteliti kembali, apakah karya-karya sudah siap diterbitkan atau belum. Butuh kesabaran, dan tekun membuka buku EYD. Kedua, setelah dirasa siap dan beres, barulah diserahkan kepada penerbit.

Willy Siswanto pun tampak terseret arus penggunaan frase “tidak bergeming” yang sering ditulis sebagian orang. Brata tidak bergeming, menunggu kalimat berikutnya. (cerpen Sangkar). Romilah tak bergeming. Kantuknya sudah luarbiasa berat menyerang (cerpen VCD). Apakah “tidak bergeming” dimaksudkannya adalah “diam”, “mematung”? Arti “tidak bergeming” itu “bergerak”. Untuk menyatakan “diam”, kata yang tepat adalah “bergeming”.

Begitu pula dengan frase yang mubazir. Misalnya Brata semakin bertambah bingung menyelami isi hatinya. (cerpen Sangkar) Kata “semakin” sudah menunjukkan “bertambah”. Lainnya, melongokkan kepala di sela pundak perempuan kurus dan seorang wanita muda. (cerpen Belatung). Adakah melongokkan kaki?

Terus, sambil meluruskan lengan menunjukkan telunjuknya ke arah gedung (cerpen Sniper). Menunjuk biasanya menggunakan jari telunjuk. Kalimat yang bagus, semisal ia sambil meluruskan lengan dan mengarahkan telunjuknya ke gedung. Berikutnya, salah satu demonstran mengacungkan kepalan tangannya ke udara.

Lagi, pada cerpen Belatung, ada tertulis menyelinapkan badan ke depan. Tidak perlu menyelinapkan badan lebih ke depan, tapi cukup dengan menyelinap lebih ke depan.

Atau, pada cerpen Anak Langit, ada tertulis memasukkan kembali gepokan uangnya ke dalam kantong. Sudah pasti, memasukkan ke dalam. Mana ada memasukkan ke luar. Bandingkan dengan sebentar saja mayat dan koper kulit telah masuk ke kantong plastik (cerpen Belatung). Disusul, motor anak sekolah yang ngebut nyerobot lampu merah, serta kolase dan instalansi bertebaran disusun di lantai (cerpen Patung).

Lainnya, pada cerpen Pidato. Badan kekar mereka dengan otot yang menyembul keluar seperti tambang besi, melabrakku. Kalau sudah menyembul, sebaiknya tidak usah dihiperbolis dengan “keluar”. Belum pernah ada kalimat “otot yang menyembul ke dalam”.

Sementara, dalam cerpen Anak Langit, kerancuan kalimat terjadi. Tetapi seketika lamunannya buyar. Tiba-tiba Badar, teman sekerjanya teriak dari seberang. (hal.15). Kata “seketika” menunjukkan suatu keterikatan masa/waktu yang sama antara peristiwa/kejadian satu dengan berikutnya. Dalam kalimat tersebut kata “seketika” terpisah dengan suatu peristiwa yang satu masa/waktu. Menurut saya, kalimat yang baik misalnya tetapi lamunannya langsung buyar ketika tiba-tiba Badar, teman sekerjanya, berteriak dari seberang. Atau, seketika lamunannya buyar tatkala tiba-tiba Badar teman sekerjanya, berteriak dari seberang.

Saya menduga, Willy tidak melakukan pemeriksaan ulang atas cerpen-cerpennya sendiri sebelum diserahkannya kepada penerbit. Kalau begitu, pihak penerbitlah yang sebaiknya memeriksa ulang sebab ada kalanya cerpenis masih teledor atau ada cerpen yang kurang laik (kurang bagus). Biasanya begitu prosedur tidak resminya.

Tapi ketika saya balik ke halaman redaksional (hal.3) dalam buku tersebut, saya tidak menemukan editor atau korektor aksara. Apakah Penerbit Yayasan Aktualita Karsa Pangkalpinang tidak memiliki tim editor atau korektor aksara? Sayang sekali jika ternyata penerbit tersebut tidak memiliki tim editor atau korektor aksara untuk proses awal penerbitannya. Sebab kenyatannya, nyaris di setiap halaman dalam cerpen-cerpen Willy Siswanto (yang mereka terbitkan) memiliki kekeliruan-kekeliruan yang sangat kasat mata. Padahal seharusnya hal-hal sepele semacam itu tidak perlu terjadi dalam terbitan mereka.


III. Membaca Lebih Dalam

Adakah hal lainnya yang diam-diam mengendap dalam pikiran saya? Sebentar. Beri waktu kepada saya untuk membacanya lebih lama dan tenang. Sebab, setahu saya, nama Willy Siswanto sebagai penulis/sastrawan sudah dikenal banyak kalangan di Babel. Karya-karyanya pun sering dipuji mereka. Tapi maaf saja jika gumulan saya ini nantinya bersifat subyektif.

Menurut saya, Willy Siswanto tidak mengalami kesusahan apa-apa pada plot sebagian cerpen-cerpennya. Bagaimana membukanya dengan cerita menarik, mengisi, dan menutup cerita. Bagaimana mengetengahkan konflik, memelihara konflik, dan menyuguhkan surprise pada akhir cerita. Plotnya sederhana, lancar mengalir.

Cerpen-cerpen yang dibuka dengan cerita menarik, misalnya cerpen Terdakwa, Sniper, Stannium Comp 2250, Patung, Belatung, dan Marga. Willy mahir memikat mata dan rasa penasaran pembaca melalui pembukaan cerpen yang memukau. Pembaca akan tergoda dan bertanya-tanya, ada apa selanjutnya. Suspense langsung muncul. Memang demikianlah kekhasan cerpen, yang segera dimulai dengan pengenalan permasalahan (konflik atau ketegangan) karena esensinya sebagai cerita pendek yang “dibaca sekali duduk”.

Sedangkan yang ditutup secara menarik dan surprise, dapat dilihat pada cerpen Tanda Jasa, Terdakwa, Boneka, Pidato, dan Patung. Pada cerpen Tanda Jasa, tokoh utamanya, Razali Akbar yang memiliki karakter yang baik dan banyak berjasa (walaupun didemo), rupa-rupanya menjalani hidup tanpa ikatan sah dengan seorang wanita hingga memiliki anak. Pada cerpen Terdakwa, tokoh utamanya, Bardiman, setelah didakwa bersalah atas sebuah pembunuhan tapi Bardiman merasa tidak melakukan, ternyata mengidap penyakit gangguan kejiwaan skizofrenia. Pada cerpen Boneka, tokoh utamanya, “aku”, yang pontang-panting mencari boneka yang sesuai permintaan anaknya, akhirnya dirinya sendiri menjadi boneka. Pada cerpen Pidato, tokoh utama, “aku” yang berkoar-koar soal politik dan tetek-bengeknya, ternyata seorang pasien rumah sakit jiwa. Pada cerpen Patung, tokoh kedua, Hastawira sang pematung, mengakhiri hidupnya dengan menjadikan dirinya sendiri sebagai patung.

Cerpen yang ditutup dengan cerita tragis terdapat pada cerpen Anak Langit, dan Patung. Sementara pada cerpen Sangkar, Teplok, Kado Di Pagi Buta, Marga, dan VCD ditutup dengan happy ending. Lainnya, seperti cerpen Belatung, dan Stannium Comp 2250, akhir cerita mempersilakan pembaca untuk melanjutkan cerpen itu (plot terbuka), entah dengan apa.

Willy juga memperkaya jenis cerpennya. Kendati sebagian besar adalah realisme, sisanya berjenis lain. Cerpen Terdakwa boleh dibilang jenis detektivisme. Meski tokoh utama (protagonis) yang bernama Bardiman sedang ditimpa dakwaan sebagai pembunuh seorang janda beranak satu atau juga istri mendiang kawannya, tokoh lainnya (bukan antagonis), Lettu Sapta Baskara turut berperan dalam cerpen tersebut melalui penyelidikan-penyelidikan kasusnya.

Cerpen Marga berjenis sejarah (historisme). Willy ‘membongkar’ kuburan sejarah, dan mengangkat tulang-belulang Mandor Chang (tokoh pemberontak yang melawan Kolonial Belanda di Tanjung Batu tahun 1800-an), Kapiten Jansen, dan lain-lain.

Cerpen Stannium Comp 2250 berjenis futuristisme. Bangka Belitung di masa depan kelak, dalam khayalan pengarang, berada pada situasi yang telah berteknologi super canggih. Cerpen ini membawa ingatan saya pada suasana masa depan seperti digambarkan dalam film Star Trek And The Next Generation.

Cerpen Boneka (hal.83-92) malah kehilangan jenis. Semula cerpen ini tampil dengan gaya realismenya hingga memakan 7 halaman (hal.83-89). Namun kemudian, sisa 2 1/3 halaman (hal.90-92), cerpen itu menjelma surealisme. Perubahan itu terlalu dipaksakan terjadi tanpa ancang-ancang yang mendahuluinya. Dari 75% murni realis hingga 25% sisanya sekonyong-konyong surealis, perjalanan pembacaan (imajinasi) cukup terganggu. Menurut saya, hal itu bukan sebuah langkah kreatif, melainkan ketidakkonsistenan pengarangnya atau pengarang sengaja ‘mengada-adakan’ suspense. Terbalik dengan cerpen Pidato, yang sepanjang 9 halaman tokoh “aku” berkoar-koar dengan impian sebagai orator beserta suasana khayalan, akhirnya kembali pada realitas bahwa “aku” hanya seorang pasien rumah sakit jiwa.

Cerpen lainnya beraroma budaya, misalnya cerpen Sangkar. Dalam cerpen tersebut tradisi primordial Jawa memberangus kemerdekaan makhluk hidup, khususnya burung. Dia mengutip teks Mukadimah Undang-undang Dasar 1945, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa…” Mungkin termasuk bangsa binatang, bangsa unggas, dan lain sebagainya.

Dari kecenderungan cerpen-cerpennya, saya menangkap kegelisahan seorang Willy Siswanto atas situasi carut-marut sosial-kultural-politik. Ada semacam kepedulian sebagai pengejawantahan dari tanggung jawab moral dan tuntutan (tuntunan?) nuraninya.

Penyair Toety Heraty mengatakan, fiksi adalah sebuah moment yang unik dan khas, bukan hanya karena peristiwanya tapi juga pemaknaan yang terjadi padanya. Artinya, seorang pengarang yang memiliki rasa seni tinggi atau kreatif, tidak akan melihat kenyataan sebagai kenyataan begitu saja. Kenyataan yang ia lihat tidak ia beri makna umum sebagaimana masyarakat kebanyakan mengartikannya. Namun, ia dapat melihatnya dengan sudut pandang yang berbeda, menciptakan dunia makna tersendiri sehingga kenyataan atau pengalaman tersebut menjadi suatu hal yang mengesankan bahkan memberi banyak pelajaran.

Semangat “meluruskan yang bengkok”, dan “memperkokoh nilai-nilai luhur budaya dan kemanusiaan” terpancar cerlang pada cerpen-cerpen Willy. Beberapa diantaranya, dalam cerpen Anak Langit, ada tertulis mereka bilang mungkin SIM-nya juga hasil menyuap. Juga sekolah sore dengan guru honorer yang selalu sudah kelelahan bila harus mengajar sore, dan memiliki siswa dengan sebutan “siswa sisa”, yang dianggap bodoh, bandel dan bermasalah. Tentang pendidikan, dalam cerpen Sangkar Willy menulis juga, Brata kadang bingung mendefinisikan tugas guru, mengajar saja atau juga harus mendidik para siswa.

Termasuk mentalitas orang Indonesia, dalam cerpen Boneka dia mengatakan, bukankah orang Indonesia lebih suka tambal-sulam dalam menyelesaikan persoalan, seperti ketika harus hidup gali-tutup lobang dengan hutang luar negeri belasan tahun sambil tertawa memakai stelan safari atau batik nasional dan mengendarai mobil assembling.

Untuk mentalitas politikus, dalam cerpen Tanda Jasa Willy mengritik, seperti para politikus yang senang bila disandangi predikat sebagai negarawan, karena menghargai dan menghormati kedaulatan rakyat. Dalam cerpen Pidato dia menggugat, tidak sehat kalau semua yang sudah tua dan pernah merasakan kenikmatan berpolitik atau menduduki jabatan masih suka mengidap political power syndroma. Sementara untuk aparat bersenjata, dalam cerpen Sniper disindirnya, bahwa perintah adalah tuntutan, ia harus tunaikan sebaik-baiknya, dengan mengabaikan perasaan dan nurani sekalipun.

Tentang pengadaan listrik yang dikelola oleh badan usaha milik negara, kata Willy dalam cerpen Teplok, peralatan listrik kita saja dibeli dari luar negeri, dengan harga amat tinggi, entah karena di-perantara-i, dipajak-i berlipat ganda atau ekspedisinya berbau korupsi.

Tak ketinggalan aspek religiusitas manusia masa depan dalam cerpen Stannium Comp 2250. Di saat sekarang religiusitas sama dengan cerita indah yang bisa dibaca di majalah elektronis. Kisah tentang nabi atau religiusitas tidak menjadi menu yang disantap banyak manusia megapolitan.

Namun akibat gelora kegelisahan yang tidak terkendali itu, menurut saya, justru berdampak pada cerpen-cerpennya sendiri. Menjadi bumerang. Cerpen-cerpennya menjadi kedodoran cerita. Nilai-nilai moralitas dikemas secara gamblang melalui dialog maupun narasi pengarangnya. Bukan melalui sikap tokoh-tokohnya, dan cerita yang mengalir normal.

Sah-sah saja seorang penulis memiliki sebuah “misi” yang ingin “mengubah” pola semrawutnya kultural-sosial-politik melalui karya sastra. Tetapi ketika ia mengambil keputusan menggunakan cerpen sebagai ‘kendaraan politik’-nya yang hendak mengangkut orang-orang menuju nilai-nilai ‘idealis’, tidak lantas terburu-buru menuliskan sebanyak-banyaknya sehingga yang tercipta justru sebuah karya esai.

Contoh sejenis esai dalam cerpennya terdapat dalam cerpen Tanda Jasa. Pada hal. 33 tertulis “Demontrasi menurut beberapa pengamat sosial…”. Betapa panjang hingga menyita hampir 3/4 halaman. Lalu dalam cerpen Boneka, tepatnya pada hal. 84. Di negara liberalis itu, seorang presiden pun boleh…. Hanya satu paragraf tapi hampir seluas 1/3 halaman.

Saya menyayangkan, Willy Siswanto terlena dengan paparan kritik-kritik sosialnya. Dia tidak memanfaatkannya untuk halaman catatan kaki sehingga argumentasi (kritik sosial) ini-itu justru merecoki sekaligus menyita halaman isi cerpennya.

Bahwa cerpen adalah cerita pendek dan isi berpusat pada cerita itu sendiri, tentunya pengertian itu sudah umum. Tapi jika cerpen tidak lagi berasal dari singkatan “cerita pendek” melainkan “ceramah pendek” apalagi “cerewet pendek”, jelas bisa mengurangi daya pukau sebuah fiksi. Disamping tidak membangun tema cerita, juga mengganggu isi dan menyita halaman cerpen.

Contoh ‘cerewet pendek’ dalam kumpulan tersebut adalah cerpen Boneka, khususnya hal.88. Sedikit soal listrik, habislah satu halaman cerpen demi menampung ‘gerutuan’ tokoh “aku” (gerutuan pengarang?) yang tidak berhubungan dengan fokus konflik tunggal, yakni mencari boneka anak tokoh “aku” yang hilang. Satu halaman terbuang percuma.

Saya menemukan ada ‘ceramah pendek’ dalam beberapa cerpennya. Misalnya dalam cerpen Sangkar.

Larasati nampak ingin menumpahkan semua gejolak di dada yang selama ini ia pendam demi menjaga etika dan susila keluarga (percekcokan, pertengkaran atau sekedar selisih pendapat dalam keluarga jawa adalah aib yang memalukan bila didengar atau dilihat oleh tetangga. Dan itu mungkin sebabnya, demokrasi yang baik di Indonesia pada jaman itu juga bisa dimaksud-artikan sebagai ke-seragam-an suara, karena perbedaan adalah aib). (hal.23)

Selain “ceramah pendek” terselip nyata pada narasi, juga merasuki dialog tokoh-tokohnya. Yang cukup parah tertera pada cerpen Pidato. Kritik-kritik sosial yang disampaikan oleh tokoh “aku” (pengarang?) justru melahap lahan cerpen kira-kira 60% bahkan lebih.

Kemudian cerpen Stannium Comp 2250. Sepintas cerpen ini beraroma fiksi ilmiah (saint fiction). Namun malangnya, cerpen ini tidak siap menyajikan sebuah cerita yang mengalir dan enak diikuti. Melainkan sekadar paparan ilmu, sebuah informasi, dan ramalan tentang Bangka di suatu hari nanti. Tidak terlihat adanya kejadian-kejadian yang mampu menghidupkan cerita. Kemunculan bocah mutant seakan menawarkan cerita, ternyata cuma numpang nampang. Pengarangnya lebih sibuk menerangkan ini-itu, para tokohnya terpaksa diam dan cerita ‘hilang’.

Cerpenis-cerpenis ternama lihai menerapkan pedoman “show it, don’t tell it”. Tunjukkan (tampilkan, perlihatkan), jangan terangkan itu. Alhasil, imajinasi pembaca melambung melalui “show” dalam cerpen-cerpen mereka.

Sedangkan dari sebagian besar cerpen-cerpennya, kesan saya, Willy cenderung belum membebaskan imajinasi pembaca ketika membaca dialog dalam cerpennya. Dia belum memberi ruang seluas-luasnya bagi imajinasi pembaca. Dia belum leluasa memancing imajinasi pembaca melalui cerpen-cerpennya. Dia terlalu sering melakukan “tell it”.

Contohnya pada cerpen Anak Langit. Surya selalu mendengarkan penuh perasaan. (hal. 10). Gaya semacam itu biasanya terdapat dalam cerita anak-anak, dan cerita tempo doeloe. Saya bayangkan Willy sedang membacakan cerita anak-anak kepada pendengar yang berusia dewasa, atau cerita tempo doeloe kepada pendengar tempo kini.

Berikutnya cerpen Sangkar. “Ada persoalan apa, Nyi mas ? Kok nampaknya Nyi mas sedih ?”, tanya Brata penuh perhatian dan belas kasihan. Juga, “Katakanlah, Nyi mas. Aku ingin mendengarkan dukamu”, lanjut Brata penuh pengertian dengan bahasa jawa yang paling halus. (hal.21).

Sejenisnya, dalam cerpen Marga. “Saya tidak tahu hal yang dia buat. Mungkin sekali dia salah. Tapi apakah kita tidak bisa bicarakan persoalannya dengan tenang?” Mandor Chang mencoba menurunkan ketegangan. (hal. 141)

Tidak berbeda dalam cerpen VCD. “Aku membeli janjimu !”, kata Karno dingin dan bersahaja. “Ambilah uang itu,“ Romilah akhirnya menunjuk-kan rasa kasihnya. (hal.162)

Pada kalimat-kalimat itu terlihat Willy Siswanto tidak meluweskan dialog-dialognya dengan penggunaan intonasi (tinggi-rendah nada) suara atau dengan gerak-gerik wajah tokoh-tokohnya untuk memancing daya imajinasi pembaca. Willy malah menerangkannya sendiri dengan kalimat “penuh perhatian dan belas kasihan”, “penuh pengertian dengan bahasa jawa yang paling halus”, “mencoba menurunkan ketegangan”, “dingin dan bersahaja”, dan “menunjukkan rasa kasihnya”. Menerangkan yang sudah jelas, atau berusaha memperjelas yang sudah terang. Ini salah satu kekurangan Willy dalam memancing pembaca berimajinasi tentang suasana dan dialog dalam beberapa cerpennya.

Lalu cerpen Sangkar pada hal. 17. Ketentraman hidup selalu menjadi idaman Brata Umbara, karena silsilah-nya masih menyandang gelar Raden Mas. Oleh karena itu, ia memelihara banyak jenis burung.

Di situ Willy pun hanya menerangkan (tell) bahkan mendikte, bukan menceritakan (show). Agar pembaca masa kini atau di luar budaya Jawa bisa mengerti atau membayangkan bahwa hobi keluarga bangsawan Jawa, salah satunya adalah suka memelihara burung atau hewan-hewan kesayangan lainnya.

Juga, masih dalam cerpen itu, Willy sendiri yang memberi kesan kepada pembaca, bukan pembaca yang menangkap kesan. Mungkin ada hal lain yang harus dimengerti dengan hati, pikirnya bijak. Willy langsung menerangkan (tell) melalui kata “bijak”. Ia tidak memberikan kebebasan pembaca untuk menilai, apakah keturunan bangsawan satu itu masih mampu berpikir bijaksana atau tidak.

Disusul dengan narasi yang lain. Larasati semakin bersemangat, tapi masih dalam batas kesopanan budayanya. Apakah Larasati, istri Brata, masih berbudaya sopan atau tidak, bukan lagi diterangkan di situ. Willy seharusnya lihai mengolah cerita sehingga pembaca bisa menangkap kesan bahwa sikap Larasati masih berada dalam batas kesopanan budaya Jawanya. Apalagi wanita itu masih mengagungkan R.A. Kartini.

Naasnya, ucapan istri Brata. “Mas Brata”. Larasati menekan nada bicaranya sehingga menjadi tegas. “Panjenengan (kamu bahasa jawa halus) tidak kelihatan sibuk apalagi tertekan dengan pekerjaan. Mas Brata nyata-nyata lebih meberikan perhatian kepada burung-burung itu daripada kepada saya.” Larasati nampak ingin menumpahkan semua gejolak di dada yang selama ini ia pendam demi menjaga etika dan susila keluarga. (hal.23)

Seorang istri yang masih menjunjung tinggi etika dan susila adat-istiadat budaya Jawa yang primordial-patriarkal tidak akan menyebutkan nama suaminya secara langsung ketika berbicara berdua dengan suaminya. Cukup dengan kata “Mas”, atau “Panjenengan” (kamu, bahasa Jawa karma inggil). Dengan mengatakan “Mas Brata” secara langsung dalam dialog, justru istrinya telah lancang alias tidak menghormati dan tidak menghargai suami.

Hal di atas berarti Willy gagal menciptakan tokoh yang sesuai dengan karakter sosial-budaya yang ingin disampaikannya. Pada tokoh tersebut, bukan lagi Larasati yang berbicara, melainkan Willy Siswanto. Jelas pengarangnya berani memperingatkan tokoh Brata seraya menyebut nama Brata. Brata berani menghardik? Bisa kena pensiun dini sebagai tokoh cerpen!

Nyaris senada dengan itu, dalam cerpen Anak Langit, cerpen Tanda Jasa, dan lain-lain Willy belum optimal mengolah karakter tokohnya bersatu dengan cerita maupun dialog. Sebetulnya pengarang tidak perlu menerangkan bahwa Surya itu begini, Razali Akbar itu begitu, Larasati bagaimana, dan lain sebagainya. Cukup dengan pikiran, sikap, tindakan, ucapan, kebiasaan, pakaian, apa yang mereka bawa, hobi, dan lain-lain, yang terolah sebagai cerita sehingga pembaca sendirilah yang akan menyimpulkan karakter tokoh cerpennya. Pembaca tidak usah diajari (didikte) bagaimana memahami karakter dan sikap tokohnya.

Pada cerpen Teplok, Willy memakai sudut pandang orang pertama (istri Gunawan Krisna Wibisana) dalam melukiskan karakter tokoh Gunawan. Sayangnya, pemaparan karakter tokoh terlalu panjang pada awal cerita. Dua halaman (38-39) lebih sedikit atau lima paragraf hanya berisi karakter tokoh Gunawan. Apalagi penokohan yang melebar, kurang menggiring pikiran pembaca segera menuju konflik/masalah sebenarnya, yaitu listrik.

F. Scott Fitzgerald mengatakan, tokoh adalah plot dan plot adalah tokoh. Pengajar Penulisan Fiksi Universitas Cincinnati Josip Novakovich (2003) menambahkan, bahkan tokoh sebenarnya lebih penting daripada plot. Plot mudah berkembang, tetapi dari plot belum tentu bisa muncul tokoh. Untuk menunjukkan apa yang memunculkan tokoh, Anda harus menghadapi pilihan penting untuk meneruskan atau mengakhiri seorang tokoh. Keputusan inilah bisa memunculkan plot.

Kalau dalam cerpen Anak Langit Willy memulainya dengan penokohan seorang anak bernama Surya, emaknya, hingga satu halaman (hal.9) habis untuk itu, namun justru muncul plot yang tidak relevan. Sekilas tentang penokohan bapaknya, terjadi kekacauan logika cerita.

Awalnya Surya mengetahui sosok bapaknya hanya dari cerita emaknya (hal.9, par.I, dan hal.10, par.I). Tapi anehnya, Surya ingat bapaknya pernah membuatkannya mainan mobil truk dari bahan kayu bekas, beroda karet sandal jepit, dan bak belakang dicat warna kuning. (hal.10, par.V) Juga pekerjaan bapaknya sebagai pengangkut sampah dengan kendaraan mobil truk seperti yang dibuatkan bapaknya, serta harapan bapaknya agar diangkat jadi pegawai negeri sipil. Logikanya, Surya masih bisa mengenali sosok bapaknya, tidak hanya melalui cerita emaknya.

Dalam cerpen Tanda Jasa, penokohan Razali Akbar disampaikan pada awal cerita hingga dua paragraf. Dan kembali lagi, Willy tidak melakukan “show” melalui tindakan tokohnya, melainkan “tell it”. Razali adalah tipikal orang yang gigih, selalu bersemangat, enerjik dan penuh senyum menghadapi semua jenis dan bentuk persoalan dan pekerjaannya. (hal.28) Pembaca tidak disuguhkan (show) sosok Razali begini-begitu, tiba-tiba naratornya menerangkan (tell) bahwa Razali begini-begitu.

Gaya penceritaan semacam itu menjadikan pembaca tidak ubahnya seperti pendengar idiot (hanya menganga untuk disuapi) tatkala seorang narator menjelaskan karakter tokoh ceritanya. Tidak ada peluang bagi pembaca untuk mengimajinasikan sendiri bagaimana karakter tokohnya, bagaimana kehidupan tokohnya, bagaimana komunikasi tokohnya, dan sebagainya.

Penokohan dan konflik batin Raymond Kayoga pada cerpen Sniper lumayan bagus. Malangnya, sang sniper terlambat ditampilkan. Setelah berunjuk prolog dengan kejadian ini-itu sepanjang 3 1/3 halaman, barulah muncul sang sniper alias penembak jitunya hingga akhir cerita. Kalau sejak awal tokoh Raymond Kayoga dientaskan, konflik psikologisnya akan lebih dalam dan kuat, daripada sang sniper disembunyikan oleh pengarangnya.

Cerpen yang baik biasanya telah menampilkan tokoh utamanya pada bagian pembukaan cerita. Juga konflik yang tunggal, yakni konflik dalam diri Raymond sendiri, antara moral (sebagai manusia beradab) dan tanggung jawab sosial (sebagai sniper). Pada pembukaan dengan konflik massal (ketegangan situasi unjuk rasa) seharusnya hanya menjadi bumbu untuk memperkuat konflik dalam diri sang sniper dan menambah cita rasa karya.

Mirip juga dengan cerpen Marga. Setelah membaca baik-baik, awal-awal cerpen seolah berbicara tentang cerita perjuangan/sejarah. Sebanyak 7 halaman dari 12 halamannya (hal.139 – 148) nyaris menjadi “cerita dalam cerita”. Ternyata tokoh sesungguhnya adalah “aku”, yang muncul pada halaman ke-8 (hal.146). Mandor Chang dan perjalanan heroiknya sekadar bumbu cerita. Di situ jelas sekali Willy tidak mengerti esensi penokohan dalam cerpen.

Namun persoalan waktu dalam cerpen Marga, yakni waktu kejadian tiga abad lampau sampai muncul tokoh “aku”, menyebabkan cerita tersebut layak dipertanyakan sebagai sebuah cerpen. Josip Novakovich mengatakan, cerpen meliputi waktu dari beberapa menit, hari sampai satu atau dua tahun; umumnya tidak lebih dari dua tahun. Senada dengan yang pernah dikatakan Sastrawan Raudal Tanjung Banua ketika beliau menjadi Juri dalam Lomba Menulis Cerpen tingkat Pelajar se-D.I. Yogyakarta (2004), cerpen meliputi kurun waktu hingga dua tahun.

Pada cerpen Belatung, pembukanya langsung menyuguhkan suatu konflik menarik atau ketegangan. Dari mulutnya keluar beberapa belatung. Merayap ke dagu dan jatuh ke tanah. Cerita mengalir sepanjang tiga paragraf. Tiba-tiba disambung paragraf lain yang dimulai dengan kalimat Corcity memang daerah baru yang dibuka setelah Partai Liberal memenangkan pemilihan umum tahun lalu. Willy menceritakan kota Corcity sampai empat paragraf, dan di akhir paragraf baru kembali keberadaan mayat laki-laki berdasi di pagi buta, yang meringkuk di taman tengah kota.

Sayang sekali, pembukaan yang sudah ‘menggoda rasa penasaran’ tapi kemudian dipenggal dengan informasi semacam itu. Apalagi diantara paragrafnya ditambah pengulangan informasi “daerah yang sebenarnya kaya dengan hasil anggur dan ikan laut” (hal.128), yang pada paragraf sebelumnya (hal.127) sudah tertulis “wilayah perkebunan anggur yang subur”, dan “anggur Corcity merupakan anggur tak asam terbaik di negara bagian itu”.

Tak jarang terjadi, cerpen-cerpen yang sering dibuka dengan cerita menarik dengan konflik (ketegangan) yang besar, berikut-berikutnya cerita tidak sanggup mendaki klimaks karena pengarangnya sudah kehabisan tenaga. Tidak semua pengarang sanggup menjaga irama, yang sejak awal ‘telanjur’ menggebu-gebu.

Lain lagi dengan cerpen Patung. Awal ceritanya cukup memancing imajinasi melalui sajian setting-nya. Udara senyap. Wajah-wajah serius menatap tajam. Sekian puluh pikiran berputar di setiap jendela. Dan seterusnya. Setting tempat dan suasana cukup menarik, meski bukan konflik (dan memang cerpen tidak harus dibuka dengan suatu konflik). Namun, lagi-lagi, tokoh utamanya, “aku” muncul pada paragraf ke-5. Berikutnya, menurut saya, cerpen itu tidak berisi cerita yang memikat, kecuali obrolan-obrolan dan omelan-omelan tokoh kedua (Hastawira).


IV. Kesimpulan Sementara

Dari ke-14 cerpen yang tergabung dalam kumpulan tersebut (mohon maaf sekian kali maaf atas tulisan saya ini), menurut saya, cerpen Stannium Comp 2250 dan cerpen Marga belum sempurna sebagai cerita pendek. Cerpen Sniper dan cerpen Belatung sebaiknya ditata ulang. Cerpen yang paling membosankan adalah cerpen Pidato.

Willy seharusnya tidak terburu-buru mengaktualisasikan ambisiusitasnya tetapi terlebih dulu duduk manis, membuka buku teori lagi, belajar lebih tekun sebab dia sama sekali tidak mengerti esensi cerpen sebagai cerita pendek (short story) bukanlah cerewet pendek, ceracau pendek, ceramah pendek ataupun cercaan pendek. Kemudian tentang penokohan dan alur, yang kelihatan serba berantakan. Logika penokohan, budaya, dan alur cerpennya serba acak-kadut dalam kumpulan cerpen tersebut menunjukkan seorang Willy harus lebih banyak dan keras lagi belajar mengarang seperti yang selalu ditekankan kepada murid-murid SD atau SMP.

Saya pun jadi berpikir, bagaimana bisa Penerbit Yayasan Aktualita Karsa Pangkalpinang memilih cerpen semacam itu ke dalam buku terbitannya. Apakah tidak ada lagi cerpen-cerpen Willy Siswanto lainnya yang lebih layak dibukukan (diabadikan dalam buku) dan menjadi kebanggaan bagi penerbit, pengarang, dan pembaca (kolektor)?

Uniknya, kembali pada halaman Prakata (hal.7). Mungkin sejenis kata pengantar. Biasanya halaman ini berisi ulasan singkat secara keseluruhan atas isinya, dan ditulis oleh orang lain yang dipercayakan (oleh pengarang atau penerbit) dapat membaca dengan cermat.

Saya cuplik pada paragraf kedua. “Bahasa yang sederhana, cerita faktual dalam kemasan satire-humoristis dan kritik sosial disampaikan dengan etis dan tetap obyektif serta konstruktif karena juga menyodorkan solusi permasalahan yang diangkat didalam dialog-dialog tokohnya,” tulis pengarangnya sendiri.

Lho? Kok pengarang yang memberi kesan (image, interpretasi) atas karya-karyanya sendiri dalam halaman Prakata? Selama ini saya membaca Kata Pengantar dalam beberapa buku kumpulan cerpen (antologi cerpen Rusia, antologi cerpen dunia, kumpulan cerpen pilihan Kompas, Republika, antologi cerpen karya Danarto, Budi Darma, Seno Gumira, Agus Noor, Raudal Tanjung Banua, Puthut EA, Eka Kurniawan, Ahmad Tohari, Joni Ariadinata, FX Rudi Gunawan, Wanhi Darmawan, Albert Camus, dll.), saya tidak pernah menemukan Kata Pengantar atau juga Prakata yang ditulis oleh pengarangnya sendiri.

Seharusnya seorang pengarang tetap menjunjung tinggi nilai obyektivitas dalam karya-karyanya. Maksudnya, untuk bisa dinilai, apakah cerpen-cerpen dalam kumpulan tersebut mengandung “bahasa yang sederhana”, “kemasan satire-humoritis”, “disampaikan dengan etis dan tetap obyektif serta konstruktif”, dan “menyodorkan solusi permasalahan”, sepantasnyalah dilakukan oleh penerbit atau orang lain. Orang lain (pemberi kata pengantar) yang akan menuliskan kesan-kesannya terhadap cerpen-cerpen itu. Bukannya oleh pengarangnya sendiri!

Berhasil atau tidaknya pengarang membangun rumah cerpen berkarakter dan berisi ini-itu (sesuai kehendak pengarang), tergantung dari kesan (kepekaan) pembacaan orang lain, misalnya sesama pengarang, kritikus sastra, budayawan, media massa, atau orang-orang yang sanggup melakukan suatu telaah sastra. Fungsinya, “menjembatani” antara karya dengan pembaca buku. Saya yakin sekali, Yayasan Aktualita Karsa Pangkalpinang dikelola oleh orang-orang yang menguasai sastra (aksara). Juga hal menerbitkan buku bukanlah sebuah kegiatan baru.

Bagaimana kalau pembaca tidak berhasil menemukan dan menyimpulkan bahwa cerpen-cerpen itu menggunakan “bahasa yang sederhana”? Salahkah pembaca? Bahasa yang sederhana pun menurut siapa? Menurut pengarangnya, ataukah menurut pembaca?

Dalam beberapa cerpen terdapat bahasa “tidak sederhana”, misalnya 1) sedan Violet metalic (cerpen Anak Langit), 2) sub-metropolitan baru, 3) ketergantungan yang super sentralistis, 4) aktivitas yang eforiaistis, 5) mass media regional setempat dengan headline tebal, 6) mengarah kepada mereka short telelens pada posisi siap untuk meng-close-up, 7) menyorongkan pamflet kardusnya dengan focus camera, 8) anarkhisme sudah lekat kuat pada perilaku manusia, 9) pola hidup regular non strukturalis, 10) studi Bussiness Management (cerpen Tanda Jasa), 11) ia belum sempat save empat paragraf ending artikelnya (cerpen Teplok), 12) celotehan asumtif (cerpen Terdakwa), 13) khususnya dari kalangan mutant, orang-orang yang tertinggal peradaban megapolitan, 14) hanya dapat dikonsumsi oleh penghuni kota yang memiliki digital-newscatcher, 15) beberapa argumentasi ilmiah melalui penelitian-penelitian antropologis, forensik, psiko-biologis, historis dan seksologis, 16) laporan tidak perlu lagi diketik atau diprintted-out di kertas, 17) pointer di monitor aku tekan ke display berikutnya (cerpen Stannium Comp 2250), 18) semua aspek hidup manusia telah dikontaminasi berbagai orientasi individual, untuk nama, untuk materi, untuk otoritas, 19) bukan sentimentalisme atau anarkhisme, bukan arogansi atau destruktivisme, 20) masih suka mengidap political power syndrome (cerpen Pidato), 21) kolase dan instalansi bertebaran disusun di lantai, 22) beberapa huruf pahatan tergrafir di pondasi bawahnya, 23) psikopatik Hitler (cerpen Patung), 24) acuannya adalah pola eksperiensial dan observatif (cerpen Belatung), dan lain-lain.

Juga kesan satire-humoristik. Yang mana itu? Tidak sedikit saya melihat isinya berupa ceramah-ceramah, nasehat-nasehat, dan kritik-kritik. Cerpen Pidato itu satire-humoristik, yang isinya terlalu sarat kritik layaknya esai, meski dibumbui dengan suasana mendebarkan? Cerpen Belatung yang isinya disemarakkan oleh orang-orang yang sekadar lewat sambil berbagi pendapat? Atau karena akhir yang cukup surprise pada cerpen Tanda Jasa dan cerpen Pidato?

Maka, sangat saya sayangkan, demokrasi (egaliteritas) sastra tidak terjadi di sini karena pengarangnya langsung ‘melahap’ lahan pembaca (penulis kata pengantar/prakata), lantas tiba-tiba ‘mendiktekan’ kesan atas karya (teks) sastranya (cerpen-cerpennya) kepada pembaca umumnya. Pembaca (penulis Kata Pengantar/Prakata) tidak diberi kesempatan menyampaikan kesan pembacaannya. Berikutnya pembaca lainnya langsung ‘disuap’ dengan kesan dari pengarangnya sendiri.

Kenyataan tersebut jelas merupakan suatu ironi yang memilukan dalam dunia sastra egaliter. Sastrawan Radhar Panca Dahana mengatakan, sastra adalah sebuah demokrasi yang sesungguhnya. Pembaca adalah raja di depan sebuah karya sastra, tak satu pun yang dapat memaksanya. Begitu pun sebaliknya, pengarang adalah raja saat ia menuliskan karyanya. Tak seorang pun dapat menindas ide dan imajinasinya.


V. Secuil Catatan untuk Penerbit

Secara pribadi saya menyayangkan, buku yang berpenampilan keren itu kurang didukung sepenuhnya oleh isi yang seimbang. Apalagi pengarangnya adalah Willy Siswanto, yang sudah tidak asing lagi bagi kalangan pekerja budaya di Bangka Belitung tercinta ini. Alasan ‘mengapa cerpen-cerpen Willy Siswanto’ yang diterbitkan oleh Penerbit Yayasan Aktualita Karsa Pangkalpinang, tentunya telah dipertimbangkan masak-masak.

Namun, sekali lagi, alangkah baiknya kalau penerbit melakukan pemeriksaan ulang atas cerpen-cerpen yang terpilih untuk diterbitkan dalam suatu kumpulan. Kelebihan, kekurangan, kekeliruan, keteledoran, kecerobohan, dan sejenisnya merupakan bahan pertimbangan amat penting. Sebab, buku bersifat abadi. Artinya, selama buku itu masih ada, ia akan menjadi bahan bacaan bagi pembaca serta pengamat buku (dalam hal ini sastra) sampai kapan saja.

Pengamat atau pembaca yang kritis tidak hanya mengamati karya-karya yang terhimpun dalam sebuah buku. Melainkan juga kualitas kinerja penerbitnya dalam menyeleksi karya-karya berkualitas serta memeriksa aksara. Oleh karenanya, penerbit karya sastra harus memiliki kemampuan bersastra yang memadai. Jangan sampai kelak disangka “terbit asal jadi” atau “menerbitkan buku kurang berkualitas”.

Tim editor atau penyeleksi karya pun harus benar-benar mengerti kualitas setiap karya. Persoalan tata bahasa dan kesalahan aksara bukan lagi masalah susah. Bukankah penerbit berstatus sebuah yayasan memiliki anggota lebih dari satu orang? Paling tidak, ada anggota yang benar-benar mampu mengoreksi aksara dan tata bahasa, sehingga dapat meminimalisasi kesalahan yang sepele. Ada tanggung jawab bahasa. Kalau sebagian besar buku tercantum catatan “isi di luar tanggung jawab percetakan” pada halaman redaksional, tetapi tidak akan pernah ada “isi di luar tanggung jawab penerbit” apalagi “isi di luar tanggung jawab pengarang”.

Menurut Ketua Yayasan Aktualita Karsa Ian Sanchin, Willy Siswanto melakukan semuanya sendiri, dari seleksi karya, periksa aksara, membuat kata pengantar, membuat acara launching di Pink Kafe itu bahkan menjualnya. Dengan kata lain, Willy Siswanto melakukan “one man show” dan seenaknya memakai nama yayasan untuk memenuhi ambisi hegemoni seorang WS. Dan memang selalu begitu dalam proyek-proyek buku yang dikerjakan Willy, meski kualitas tidak terlalu menjadi pertimbangan atau kriteria mutlak sebab Willy berkecenderungan “menggurui” tapi tidak mengerti hakikat cerita pendek (cerpen bukan ceramah pendek, ceracau pendek, cercaan pendek, bung!) dan sama sekali kurang teruji dalam berkreasi sastra lingkup luar Babel yang sarat diskusi, kritik sastra, dan lain-lain jikalau Willy mengaku jebolan Jawa (Jogja).

Akhirnya, terlepas dari semua itu, kehadiran buku ini kiranya dapat memperkaya khazanah sastra dan pustaka di Babel. Semoga tidak lama lagi diteruskan pula oleh kumpulan-kumpulan cerpen dari cerpenis-cerpenis lainnya di bumi Serumpun Sebalai ini.

*******

Koba Bangka Tengah, 28-30 September 2005


Beberapa Komentar atas Esai di atas :

Telaah atas cerpen-cerpen Willy Siswanto dalam antologi cerpen Stannium Comp 2250 (Yayasan Aktualita Karsa Pangkalpinang, 2005) yang dimuat di rubrik Budaya Harian Pagi Bangka Pos, 23/10/2005, dengan pangkasan editorial koran tersebut dari 19 halaman menjadi satu kali tampilan, kemudian Agustinus Wahyono minta tanggapan/komentar dari Willy Siswanto sendiri.

Ruang Tamu rumah DN Kelana, Rabu, 26/10, pukul 20.00-an, kalau tidak keliru saya kirim SMS ke no. HP Willy Siswanto dengan pertanyaan sebagai berikut:

Om, gimana tulisanku di Catatan Budaya Bangka Pos Minggu kemaren?

Jawaban Willy Siswanto:

27.10.2005. 07.30

Cerpen dg judul EYD & PENERBIT STANNIUM ? yg kesalahan teks krn editing & setting di meja redaktur, sama kasusnya dg buku itu ? Esai Sunlie lebih tajam, menikam & cerdas. Kita belajar lagi.

Komentar Willy ke HP Sunlie (02.11.2005, 07:11)

Ira yang maju ke Gub. Aku nisbikan soal sntmen tp esai sarjana yg tdk tajam pd inti sastra dan ngeracau, bagiku jd sprt kartun.

Sunlie 02.11.2005, 09.23

Kalo ia berani bawa bukunya ke riau, kita habisi di dpn sastrawan luar. Wktu sarasehan kmrn sngaja ia undang anak SMP smu agar ku dak bs paparkn makalahku. Pengecut ia

Emil Mahmud Bangka Pos, 23.10.2005, 23:38

Tulisan budayamu mgu ini.. Oks banget, GUS NOY. Mudah2an MAS WILLY t’sentuh dibuatnya. tx

Deviar Dody “Ready’s Bakery” Fitriansyah, 23.10.2005, 19:26

La bace la. Bgs kritik membgn utk willy.

Tidak ada komentar: