Sabtu, 21 Februari 2009

Duka Seni Bangka Belitung

Budayawan Bangka Belitung Suhaimi Sulaiman (SS) mengabarkan berita duka “Kesenian Babel Telah Mati” di rubrik Hotline lembar Opini harian Bangka Pos, 1/3/2006. Tidak ada yang mengurusi kesenian (kebudayaan) dan nolnya kucuran dana untuk pengembangan dan pembinaan kesenian dari APBD (kecuali untuk KONI) di provinsi ini otomatis hidup berkesenian di Bumi Serumpun Sebalai telah almarhum alias mati, begitu sebagian isi beritanya.

Dalam tulisan lima paragrafnya SS menyinggung pula tentang ‘proyek-proyek eksploitatif’ atas nama kesenian yang ternyata cuma menguntungkan kantong ‘siluman’ (tokoh teka-teki), Instruksi Mendagri tahun 1999 tentang dewan kesenian provinsi, ironi suatu pembentukan dewan kesenian kabupaten, dan penggiat seni ‘terpaksa’ menjelma ‘pengemis’ (minta-minta di kantor pemerintah provinsi, kotamadya, dan kabupaten) untuk menghidupkan dunia kesenian di Babel.

Tulisan tersebut tampaknya berkorelasi dengan tulisan Kepenyairan Sumatera karya Gus tf Sakai alias Gustrafizal Busra (GS) yang dimuat di harian Media Indonesia, edisi Minggu, 3/8/2003. Setelah menyebut nama Penyair-Novelis Bangka Hamidah, GS mengatakan, “Dari Bengkulu, Bangka-Belitung, dan Sumatera Selatan, dengan sangat sedih harus saya katakan sesporadis apa pun tak lagi ada puisi yang saya temukan”. Sebelumnya, awal paragraf ketiga Gus menulis, “…seperti biasa setiap 5-10 tahunan dari kawasan yang memiliki tradisi sastra, kini muncul di media massa puisi-puisi dari gelombang baru penyair Sumatera.”

Terlepas dari keabstrakan parameter dan asumsi-asumi imajinatif GS terhadap perkembangan dunia kepenyairan Babel mutakhir, tulisan GS pada frasa ‘tidak ada lagi puisi’ yang berkonotasi ‘kematian seni sastra’, berkorelasi imajiner dengan frasa ‘kematian kesenian’ dalam berita duka SS. Sebab GS yang juga terkenal dengan cerpen-cerpen kualitas tinggi, wajar-wajar saja ia berasumsi tentang ‘ketiadaan’ puisi yang bisa saja berorientasi pada ‘ketiadaan seni sastra’ atau ‘kematian seni’ di Babel seperti berita duka dari SS.


A. Suhaimi Sulaiman

Siapakah SS sehingga dia berani memberi vonis mati bagi kehidupan berkesenian di Babel? Pria kelahiran Toboali, Bangka Selatan, 15 Februari 1939 itu adalah anggota Pemangku Adat Pangkalpinang, anggota Forum Bersama Kota Pangkalpinang, anggota Tim Penulis Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Babel, dan mantan Ketua Dewan Kesenian Kota Pangkalpinang (2000). Tulisan-tulisannya sering dimuat di koran-koran lokal (di harian nasional?), dan karya-karya sastranya tergabung dalam beberapa buku antologi bersama di Babel.

Sejak tahun 1999, tepatnya sejak kelahiran media massa (harian) lokal, SS aktif menyoroti sekaligus terlibat dalam perkembangan kesenian di Babel. Juga ketika tahun 2003 Y, penyair nasional asal luar Babel, datang dan berkecimpung dalam kegiatan sastra, khususnya baca sastra di sekolah-sekolah dan ‘proyek-proyek’ penerbitan buku antologi bersama di Babel, SS pun berpartisipasi aktif, baik sebagai editor (sering hanya status!) maupun kontributor karya. Maka berita “kematian kesenian Babel” itu, boleh jadi, merupakan sebuah ‘lampu kuning’ yang patut direnungkan dan, jika memungkinkan, disikapi oleh para penggiat seni di Babel.


B. Seni Sastra di Babel

Apakah kehidupan berkesenian di Babel benar-benar mati? Sebenarnya berita duka tersebut terlalu dini ditulis oleh SS dan kemudian dipublikasikan oleh media lokal. Sebab, kata ‘kesenian’ seolah menyamaratakan semua bidang. Kenyataannya tidaklah sedemikian memilukan bagi kehidupan seni sastra secara individual. 

Munculnya nama dan karya beberapa sastrawan muda Babel, misalnya Cerpenis Sunlie Thomas Alexander (STA), Penyair Ira Esmiralda (IE), Cerpenis Sobri, Cerpenis Tien Rustini, Novelis Andrea  Hirata serta beberapa cerpenis berusia belasan tahun dari kabupaten Bangka di media massa atau dunia literatural sastra nasional sejak lima tahun terakhir bisa merupakan suatu indikasi bahwa seni sastra di Babel masih hidup.

Detak jantung sastra masih berdegup itu dimungkinkan oleh ‘alam sadar’ sebagian sastrawan Babel untuk tetap berkarya secara individual, kendati perhatian pemda masih saja bertendensi ‘demi kepentingan non-sastra’ apalagi menjelang Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) 2007. Ada  simbiosa mutualis penuh pura-pura, dan kesenian ibarat layang-layang. 

Hal itu disadari sekali oleh sebagian sastrawan BabelAbdul Wachid B.S. (1998) menulis, “Pada mula dan akhirnya sastra bicara dengan kesendiriannya, ia merdeka dari beban politik yang memaksa.” Oleh karena itu individualitas berkreasi adalah niscaya. Apakah berdosa jika sastrawan tersebut tetap tekun dan bekerja keras mengasah kualitasnya tanpa ‘mengharap’ perhatian pemerintah?

Tak jarang, itikad pemerintah dalam pengayoman ‘hajat hidup’ berkesenian dicurigai sebagai sebuah ‘lips service berbau politik’. Tetapi kecurigaan semacam itu tidak patut disamaratakan ke seluruh birokrasi pemda. Sebab, ketika keberangkatan STA dan IE ke Kongres Cerpen Indonesia IV di Pekanbaru 2005 ‘disantuni’ sepenuhnya oleh pemkab Bangka, berarti masih ada pemkab yang peduli atas kehidupan kesenian di Babel. Layak disyukuri!

Sayangnya, kemandirian sebagian sastrawan Babel rupa-rupanya direcoki oleh kegemaran Sastrawan Babel X membuat proposal-proposal ‘gombal’ ataupun lobbying-lobbying (akrobatik dialektika) yang ujung-ujungnya hanya ‘menadah’ perhatian, terutama dana, dari pemerintah kota/provinsi, meski tak jarang ia gagal mendapatkannya. Dibanding rekan-rekannya, sejak tahun 1999 bersama komunitas sastranya ia selalu tampak paling bernafsu dalam berburu remah-remah APBD bidang kesenian (kebudayaan), baik sewaktu berbincang dengan sesama sastrawan-seniman maupun ketika ia melenggang sendiri ke kantor birokrasi pemerintah.

Agresivitas gerilya X ke ‘lumbung-lumbung dana’ birokrasi dengan proposal-proposal provokatif serta aksi lobbying individualnya bukanlah kegiatan diam-diam laksana geliat seekor ‘babi ngepet’. SS dan rekan-rekan seniman (sastrawan) di Babel mengetahui bagaimana kiprah “one man show” dan ngototnya X - Sang Seniman APBD, yang sebenarnya cukup ‘meresahkan’ sebagian rekan sastrawan sebab dalam lingkup nasional karya sastra X masih sangat ‘sunyi-senyap’.

Di samping itu, X turut ‘mematikan’ kehidupan berseni sastra yang egaliter dan intelektual. Dua buku kumpulan sastra tunggalnya yang terbit menjelang akhir tahun 2005 tidak lebih dari ‘proyek mercusuar’ seorang X seperti yang diungkapkannya sendiri sebelum peluncuran bukunya dengan ‘menumpang promosi’ dari tulisannya di media Bangka Pos (2/10/2005), “Kumpulan cerpen yang akan diluncurkan nanti merupakan kumpulan cerpen pertama di Babel (bukan antologi bersama beberapa pengarang), adalah wujud ekspresi yang menandai eksistensi idealisme saya bagi dunia sastra Babel. Dua buku tersebut adalah bentuk kontribusi sederhana yang semoga menjadi acuan terjadinya dialog pragmatis dan kritisi analitis, akademis maupun praksis yang nantinya akan menggugat dan menuntut progresivitas sastra daerah dan pembelajarannya. Baik di lembaga pendidikan formal maupun di kelompok-kelompok studi lainnya.”

Sebuah pepesan kosong belaka. Ternyata ia sama sekali tidak mengindahkan suatu resepsi dan kritik sastra, yaitu dengan cara memberi ulasan sendiri secara provokatif terhadap karya-karyanya pada sampul dua antologinya, kemudian di media lokal X langsung menanggapi setiap kritik sastra atas karya-karyanya, dan keengganannya memberi peluang diskusi yang lazim dalam sebuah acara bedah buku.

Tindakan X ini jauh dari kategori edukasi, cenderung ‘mencederai’. Abdul Wachid (1999) mengutarakan, peran kritik sastra sangat penting sebab kritik sastralah yang memainkan perkembangan : di satu segi melahirkan teori sastra, di segi lain memainkan peran apresiasi atau kritik, bahkan penghakiman baik-buruk karya sastra itu sehingga cukup menjadikan dirinya memiliki posisi tawar-menawar terhadap masyarakat-bacanya. Sastrawan X menafikkannya!

Tambah sakit ketika muncul kasus puisi A dalam kumpulan sajak karya X. Puisi A semula atas nama Q (adik X), memenangkan sebuah lomba cipta puisi tingkat nasional di Jakarta tahun 2001, dan kemudian dimuat di harian Bangka Pos tahun 2001. Tetapi tahun 2005, puisi tersebut tergabung lagi dalam kumjak X, atau seolah X hendak menegaskan bahwa puisi itu buah karya X. apa pun apologi X, realitas itu merupakan bukti ketidakjujuran X dan Q, adiknya. Ketidakjujuran yang jelas sangat kontra intelektual ini tentu saja menambah daftar ‘penyakit-penyakit mematikan’ dalam kehidupan seni sastra di Babel kurun lima tahun terakhir.

Kematian seni sastra Babel sebenarnya cuma terjadi pada kehidupan sastra kolektif-komunal. Acara baca puisi ke sekolah-sekolah, lomba baca puisi, dan bedah buku antologi bersama, tidak lebih dari seremonial sastra untuk suatu kepentingan non-sastra alias demi ‘stabilitas profit’ segelintir pelaku seni sastra. Sementara pembinaan atau pelatihan penciptaan sastra semacam bengkel sastra, sanggar sastra, diskusi sastra, atau saresehan sastra memang tidak pernah dilakukan. Tapi sekalipun pernah ada seorang pekerja sastra mengajukan proposal untuk kegiatan pembinaan (workshop/bengkel sastra), lagi-lagi tidak lebih dari sebuah ‘proyek gombal’.

Iklim pendidikan sastra non-formal itu masih belum dilirik serius dan bermutu oleh para pelaku sastra di Babel, bukan melulu ‘didakwakan’ sebagai akibat ‘ketidakpedulian’ pemprov, pemda maupun dewan kesenian. Sayangnya, SS sebagai ‘tokoh senior’, pengayom sastrawan, dan panutan bagi para sastrawan Babel serta generasi muda peminat sastra, belum banyak berperan aktif-edukatif-persuasif dalam pembinaan. Barangkali ada faktor-faktor lain yang andil sekaligus mengganggu aktivitas SS, termasuk salah satunya adalah faktor usia.

SS juga ‘melupakan’ kepedulian pemda dan pemkot dalam bentuk kucuran dana puluhan juta rupiah atas ‘proyek’ penerbitan buku yang dimotori oleh Y (siluman itukah?) dan Yayasan Z dari luar Babel, meski sebatas ‘proyek’ sejak tahun 2003. Posisi Y sebagai editor ternyata tidak mumpuni dalam proyek-poyek itu. Karya-karya yang dimuat tidak melalui ‘saring seleksi’ yang kualified, ketik ulang merusak aksara dan mutu karya, dan hak atas kekayaan intelektual para pesastra tidak berlaku semestinya. 

Kemudian Y memotori acara baca sastra di sekolah-sekolah, tapi selalu saja ia cepat menemui bagian keuangan. Laba (profit) proyek lebih banyak serta deras mengalir ke kantung Y. Nama Dewan Kesenian tidak lebih sepucuk ‘katebelece’ untuk ‘melegitimasi’ sepak-terjang Y dalam dunia sastra Babel tiga tahun terakhir, khususnya proyek-proyek penerbitan buku sastra di Babel, wisata seni gratis ke pelosok Babel, kontrak rumah gratis bahkan ‘donatur tunggal’ untuk perjalanan ‘seni’ ke luar Babel. SS di manakah?


C. Pelaku Seni Sastra Hidup Sendiri

Sebenarnya SS mengetahui carut-marut realitas dunia kesenian di Babel mutakhir. Akan tetapi SS tidak mampu berbuat banyak untuk tindakan preventif demi kehidupan kesenian itu sendiri, kecuali bergunjing ‘di belakang’. Keluhan dilahap angin. SS selaku orang penting bagi publik seni di Babel, seharusnya bekerja sama dengan rekan-rekan seniman untuk melakukan kegiatan tersebut dengan ‘surat sakti instruksi pemerintah pusat’. Naasnya, budaya pragmatis “dak kawa nyusah” (tidak mau susah/repot) masih lestari. Sedangkan sebagian seniman, khususnya sastrawan, bertahan dan bergerak sendiri demi sebuah idealisme yang telah menyatu dan mengalir lancar dalam nadi, tanpa perlu berharap banyak pada ‘donor dana’ dari pemerintah yang cenderung dibarengi ‘penitipan pesan’ tertentu.

Maka, justru suatu ironi tragis jika kemudian SS ‘menagih’ perhatian dan pengayoman pemerintah. Sebagai tokoh penting yang pernah ‘dekat’ dengan instansi pemerintah dan kalangan birokrat, seharusnya persoalan perhatian (dana) pemerintah bukanlah sesuatu yang paling menyedihkan. Belum lagi hubungan kesenian SS dengan lembaga seni non-formal dan masyarakat seni yang telah terjalin bertahun-tahun. Seharusnya, sewaktu ‘masa kontrak formal’ di dewan kesenian belum berakhir, SS sudah mempersiapkan kader-kader negosiatif, dan membudidayakan kreator, konseptor dan manajer seni yang tangguh dan mandiri.

Selain itu, SS tidak pernah menyosialisasikan instruksi pemerintah pusat, semisal Instruksi Mendagri mengenai perlunya dewan kesenian provinsi dan tetek-bengeknya di kalangan penggiat seni, baik kelompok maupun perorangan. Kalau memang merupakan kewajiban serta tanggung jawab pemprov, mengapa SS tidak berusaha menyebarluaskan informasi seputar instruksi tersebut? Apakah ada ‘rahasia tingkat tinggi’ yang tidak boleh diketahui publik seni? Jika demikian, mengapa kini SS tiba-tiba ‘putus asa’ lalu meneriakkan ‘berita duka’ itu setelah ‘masa kontrak kepentingan formal’ berakhir kala pemerintah masih saja sibuk dengan kepentingannya?

Kedekatan SS dan birokrasi atau pemerintah (melalui jasa dewan kesenian) malah menjadi semacam bumerang. Selama berkecimpung di dewan kesenian, SS telanjur terlena oleh ‘buaian bantuan’ pemerintah dalam kehidupan berkesenian, dan kemudian menyublim sebagai sebuah ‘ketergantungan’ yang ‘mencekik-mematikan’. Secara tidak langsung SS mengajarkan hidup ‘penuh ketergantungan’, yang justru tidak mendewasakan para seniman untuk mandiri dan bermutu dalam menghidupi dunia kesenian, khususnya sastra, di Babel. Sehingga, ketika SS pensiun atau juga berarti ‘kontrak relasi formal berakhir’, berakhir pula ‘kucuran’ perhatian (dana) dari pemerintah, dan berubah menjadi semacam ‘tali gantung’ di leher dunia kesenian. Seniman yang tercetak pun bisa jadi hanyalah “seniman APBD” (hidup-mati tergantung kucuran jatah APBD). Jelas ini berbahaya.

Lagi-lagi sepatutnya SS bersyukur bahwa di luar daya pantaunya terhadap geliat dan kegiatan berkesenian di Babel, masih ada pelaku seni, khususnya seni sastra, yang terus menjunjung tinggi hidup berkesenian yang sehat. Jauh-jauh hari pegiat seni sastra terus mengasah diri demi peningkatan kualitas kreasi mereka. Mereka tidak mau susah-payah mencurigai ‘permainan patgulipat’ oknum pemda dan oknum kesenian atas APBD bidang kesenian karena kecurigaan telah dipahami sebagai ‘penggerogot paling gelojoh’ bagi energi kreatif mereka.

Selanjutnya, dengan mengudaranya acara bersahut dan berdiskusi pantun saban minggu di sebuah stasiun radio swasta Pangkalpinang sejak akhir 2005, dan mengudaranya sebuah radio swasta milik perusahaan swasta bidang pariwisata dan kebudayaan, otomatis merupakan ‘udara segar’ bagi ‘paru-paru’ kesenian Babel. Artinya, jantung kesenian masih bahkan semakin berdetak, dan kehidupan kesenian, insyaAllah, bisa berangsur sehat-normal. Perkembangan ini bukan fatamorgana, ilusi, halusinasi, ‘impian semu’, ‘fantasi nonsens’, atau ‘obsesi nirgizi’.

Oleh karenanya, jika memang pemprov dan pemda masih saja belum memiliki kesadaran dan itikad baik untuk turut ‘memompa’ jantung kesenian di Babel, kecuali demi kepentingan seremonial politis atau sekadar ‘pelipur lara’ sebagian pelaku kesenian, toh tetap ada pihak-pihak dan pelaku seni lainnya yang sanggup menggerakkan jantung kesenian itu sendiri. Pelaku dan publik seni sastra tidak perlu memaksa pemerintah (birokrasi) untuk sudi peduli. Karena, kalaupun kemudian beliau-beliau ‘terpaksa’ peduli, bisa jadi itu pun ‘demi kepentingan politik’ lagi, atau justru menciptakan ‘hubungan disharmonis’ dan sarat sandiwara ‘kelas kecoak’! Dan, apakah itu tidak malah ‘mempermalukan’ para kangouw – pinjam istilah Saut Situmorang – sastra Babel, seolah sastra adalah ‘bukoan pengemis’? Seorang kangouw sejati tidak segan-segan memboikot ajakan atau undangan hajatan dari kerajaan. Tetapi, apakah pemboikotan merupakan ‘win win solution’ paling ampuh?

Maka, kini saatnya SS beserta rekan-rekan seniman (yang merasa bermutu dan mampu mandiri) tidak lagi bermanja-manja pada ‘pengayom bertopeng’; berhenti ‘menggantungkan’ nasib pada tiang kikir birokrasi; berhenti ‘menghambakan diri’ pada tuan-tuan ‘tuna sense of art’. Sebab, hidup-mati, sehat-sakit, normal-cacat, dan subur-mandul kesenian harus dikembalikan kepada kesadaran, niat luhur-murni, dan kerja keras para pelaku kesenian itu sendiri. Sebagian seniman di Yogyakarta, Bali, Jakarta dan lain-lain bisa hidup dan survival tidak tergantung pembagian jatah APBD; mereka tidak mengais-ngais apa-apa yang menjadi celah brangkas APBD. Para pelaku kesenian sendirilah yang paling bertanggung jawab pada kehidupan-kematian dunia kesenian, bukannya pejabat-birokrat ataupun ‘mucikari seni’ yang belum tentu sanggup apalagi tulus-ikhlas menghargai kesenian dan menjunjung nilai-nilai kebudayaan-peradaban.

*******
Kobatin Bangka Tengah, pertengahan Maret 2006

Tidak ada komentar: