Sabtu, 21 Februari 2009

Secangkir Kopi untuk Secicip Kreasi

Sebenarnya tulisan ini beride dasar dari Sastrawati Sungailiat Ira Esmiralda binti Kurnia. Waktu itu, di penghujung tahun 2005, Ira (salah seorang guru sastra saya) berkomentar, “Beberapa cerpen Willy dalam buku kumpulan Stannium Comp 2250 itu selalu mengisahkan tokoh istri menghidangkan kopi untuk suaminya. Apakah wujud pengabdian istri hanya digambarkan dengan sajian kopi melulu?

Saya tidak tahu karena saya belum beristri. Tapi saya percaya, komentar Ira itu cermat dan cerdas. Ira Kurnia, selain seorang Sarjana Sastra dan guru Bahasa dan Sastra Indonesia di sebuah sekolah di Sungailiat, juga sebagai istri bagi Pak Ery sekaligus ibu bagi Lala dan Lukman. Artinya, Ira bisa lebih menghayati ‘hidangan secangkir kopi’. Ketika komentarnya menerpa gendang telinga saya, serta-merta saya mencari bukti atas resepsi sastra wanita berjilbab itu.

Dari ke-14 cerpen WS yang terkumpul dalam SC 2250 (2005) itu, tujuh di antaranya berlatar sebuah keluarga. Dari ketujuhnya itu, lima cerpen ditokohkan oleh suami-istri atau ayah-ibu. Dan, dari kelimanya itu, tiga cerpen menampilkan adegan komunikasi suami-istri.

Dari tiga cerpen yang menampilkan adegan komunikasi suami-istri itu, saya benar-benar menemukan apa yang tadi dikomentari oleh Ira Kurnia. Tiga cerpen tersebut adalah cerpen Sangkar (hal.17-27), cerpen Teplok (hal.38-47), dan cerpen VCD (hal.149-163).
Pertama, cerpen Sangkar. Untuk itu ia akan minum kopi yang Nyi Ayu Larasati, istrinya, sediakan di meja beranda, setelah ia mengerek semua sangkar dan burungnya ke pucuk-pucuk tiang bambu (hal.17).

Kedua, cerpen Teplok. “Aku lagi buat kopi, mas ! Ini juga belum diaduk. Bagaimana mungkin kopi dalam gelas mampu menyedot listrik !” (hal.40) lalu Ia teguk kopi hangat yang aku siapkan (hal.44). Menurut cerpen itu, tokoh “aku” adalah istri Gunawan Krisna Wibisana, sang wartawan yang bekerja di sebuah surat kabar daerah.

Ketiga, cerpen VCD. Pulang kerja petang hari, Karno minta segelas kopi. Romilah sudah penuh senyum. “Laku berapa, dik ?”. Karno berhenti meniup kopi panasnya (hal.157). Menurut cerpen itu, Romilah adalah istri Karno.


A. Secangkir Kopi sebagai Wujud Pengabdian Seorang Istri

Nyonya Raden Mas Brata, Nyonya Gunawan, dan Nyonya Karno adalah prototipe istri yang mewujudkan pengabdian, penghormatan atau penghargaan kepada suami melalui kopi. Adegan ‘penyajian secangkir (segelas!) kopi’ sedemikian rupa membuat saya pun berpikir, “Mengapa harus secangkir kopi saja sebagai bagian dari adegan komunikasi pasutri dalam cerpen-cerpen tersebut? Mengapa tidak ada variasi minuman jenis lainnya, misalnya wedang jahe, teh pahit, susu murni, susu kedelai, atau mungkin cukup air bening suam kuku?”

Saya tidak tahu, apakah sajian minuman jenis kopi itu tidak lain merupakan realitas keseharian si pengarangnya (WS) sendiri – mungkin tergolong penggemar kopi. Atau, apakah ketika menulis cerpen-cerpen itu WS selalu ditemani secangkir kopi yang diracik oleh tangan terampil istrinya (Elly Susanti). Ataukah sebenarnya WS ingin mengatakan kepada istrinya bahwa WS (sebagai suami, kepala keluarga, pemimpin rumah tangga) harus senantiasa disediakan secangkir-sekian cangkir kopi oleh istrinya. Entahlah. Saya bukan WS. Tapi setahu saya, selera cerpenis manapun bisa saja merasuki seorang tokoh dalam sebuah kreasi cerpennya.

Wajar dan jamak, suatu adegan komunikasi pasutri dibumbui dengan hidangan secangkir kopi. Namun yang menjadi pertanyaan saya, meniru komentar Ira tadi, “Mengapa melulu dengan secangkir kopi untuk cerpen-cerpen berlatar keluarga dalam adegan komunikasi pasutri?”


B. Secangkir Kopi sebagai Wujud Kemacetan Kreativitas Pengarang

Ini murni asumsi dan persepsi saya. Asumsi-persepsi bisa saja keliru, meleset bahkan ngawur sengawur-ngawurnya. Akibatnya, setelah membaca tulisan saya ini mungkin WS segera menuliskan penolakannya atas asumsi-persepsi super ngawur saya sebagaimana kebiasaannya terhadap setiap asumsi resepsi sastra-subyektivitas pembaca (saya) yang tidak berkenan bagi WS.

Tapi saya, pembaca, merasa telah direkomendasikan oleh Radhar Panca Dahana melalui slogannya, “Pembaca adalah raja di depan sebuah karya sastra.” Apa pun kategorialnya Kinayati, pembaca adalah pembaca. Raja adalah raja (untuk jangka waktu dan situasi tertentu). Maka saya mengasumsikan, secangkir kopi itu adalah wujud kemacetan kreativitas WS. Oh iya?

Kreativitas dalam praksis seni, khususnya sastra, dapat juga dicermati melalui variasi adegan atau perilaku tokoh-tokoh, variasi benda-benda, variasi tema, variasi setting, variasi gaya bahasa, variasi diksi, dan variasi lainnya dalam karya-karya seniman. Untuk adegan komunikasi pasutri dalam beberapa cerpen, tindakan ‘istri menghidangkan secangkir kopi’ dan melulu begitu, tidak mustahil merupakan tanda-tanda kemacetan kreativitas pengarangnya (WS).

Itu yang pertama. Yang kedua, imajinasi pengarang terpasung dalam secangkir kopi sehingga kreativitasnya tidak sanggup keluar dari secangkir kopi. Secangkir kopi telah memenjarakan imajinasi dan kreativitas WS. Dan minuman sejenis kopi telah menjelma semacam ‘belenggu’ yang membuat tokoh-tokoh ciptaannya tidak mampu berbuat banyak untuk memperkuat daya kreasi WS. Alhasil, ‘sajian secangkir kopi dari sang istri’ selalu muncul dalam cerpen-cerpen itu. Apakah sebuah bukti keabsahan pengabdian istri hanya melalui hidangan secangkir ‘kopi’? Apakah sajian ‘segelas susu murni’ berarti pengabdian istri tidak sah? Makna lainnya, justru WS-lah yang mengabdi pada secangkir kopi. Aih!

Yang ketiga, pemasungan itu membuat WS tidak membebaskan kreativitasnya untuk menggarap cerpennya secara lebih leluasa, sesuai dengan karakteristik budaya tokoh lainnya. Hal ini saya bandingkan dengan tradisi minum orang Jawa untuk cerpen Sangkar. Menurut pengalaman perantauan saya di Jawa (Yogyakarta, Surakarta, dan pernah ke Purworejo dan Kebumen), orang-orang Jawa lebih sering menikmati minuman teh daripada kopi. Variasi lain di antaranya, minuman (wedang) jahe hangat, ronde, sekoteng, jamu, es dawet, dan es cendol.

Minuman jenis kopi, menurut subyektivitas naif saya, merupakan kegemaran orang luar Jawa, termasuk Bangka. Tak heran ada istilah ‘kopi lampung’, ‘kopi medan’, ‘kopi palembang’, ‘kopi padang’, ‘kopi aceh’, ‘kopi bali’ (selain arak bali), ‘kopi timor’, ‘kopi makasar’, ‘kopi manado’, dan lain-lain. Kopi kemasan bermerek Tugu Luwak dan Kapal Api merupakan produk Jawa yang terkenal semata-mata akibat bombardir iklannya di media massa disertai agresivitas distribusi berbiaya besar dari kantong pengusaha besar pula. Untuk citarasa, menurut sebagian orang Jawa yang pernah saya kenal, kopi-kopi kapitalis itu masih kalah sedap dibanding kopi lampung, misalnya. Artinya, orang-orang luar Jawa lebih berselera tinggi dalam berkopi-kopi. Mungkin karena kebiasaan orang luar Jawa yang senantiasa bersentuhan dengan minuman ini. Sedangkan orang Jawa lebih terbiasa menyeruput teh manis-hangat, terlebih di pagi hari.

Kembali ke dalam ‘secangkir kopi’ yang ‘memacetkan’ aliran kreativitas WS. Tanpa adegan ‘minum kopi’ dalam interaksi pasutri, tidak lantas ‘meniadakan’ kebersamaan pasutri atau ‘menghapus’ wujud pengabdian seorang istri dalam fiksi berlatar keluarga/rumah tangga. Masih ada cara lain yang dapat dilakukan oleh seorang istri untuk mengejawantahkan norma kepatutan dan kepatuhannya terhadap suami. Bukankah WS sebagai seniman selalu dituntut untuk kreatif dalam penggarap dan memperkaya kreasi-kreasinya? Entahlah. Mungkin ‘secangkir kopi’ bisa menanggapi komentar-komentar ini secara akurat dan bermanfaat.  

Selamat bersulang!

*******
Kobatin, November 2005

Tidak ada komentar: