Sabtu, 21 Februari 2009

Robot-robot Reyot nan Peyot yang Ngotot Membodohi Pembaca

Tokoh (penokohan) dalam fiksi merupakan salah satu faktor penting dan salah satu tolok ukur kualitasnya. Dari Sir Walter Scott asal Skotlandia (1771-1832) dengan tokoh-tokoh rekaannya seperti Ivanhoe, Cedric, Rowena, dan York, hingga Seno Gumira Ajidarma dengan tokoh Sukab-nya, memperlihatkan keseriusan kreatornya untuk menciptakan dan menghidupkan tokoh rekaan sebagaimana mestinya tokoh tersebut.

Dalam fiksi (baca: cerpen, pen.) yang bagus, menurut Pengajar Penulisan Fiksi Universitas Cincinnati Josip Novakovich (2003), kita bisa menemukan seseorang dan mengenalnya lebih dalam, atau menemukan diri kita sendiri dalam cerita tersebut, dalam bentuk tersamar, dan dengan khayal kita bisa mengalami dan memahami berbagai hasrat yang kita miliki. Seorang tokoh bukanlah bagian dari diri kita yang menyesuaikan diri, melainkan sesuatu yang menonjol. Jika tokoh sangat mempengaruhi pembaca, pastilah dia lebih berpengaruh lagi pada si pengarang.

Tokoh cerita, menurut Abrams (1981), adalah orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan tokohnya. Di situ Abrams menghargai pembaca, baik pembaca ideal maupun awam.

Dalam Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta, 1995) Burhan Nugiyantoro menambahkan, watak, perwatakan, dan karakter menunjuk pada sifat tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca. Antara tokoh dan karakter/wataknya berkaitan erat dalam penerimaan pembaca. Dalam hal ini, khususnya dari pandangan teori resepsi sastra, pembacalah sebenarnya yang memberi arti semuanya. Keberhasilan perwatakan tokoh (penokohan) menunjukkan betapa kuatnya imajinasi pengarang.

Namun berbeda dengan suatu realitas yang terjadi di Babel, dengan satu contoh kumpulan cerita pendek (cerpen) karya tunggal Willy Siswanto (WS) bertitel Stannium Comp 2250 (Yayasan Aktualita Karsa Pangkalpinang, 2005). Walau WS ‘bereuforia’ dengan mendomleng esainya sendiri, Catatan Tentang Karya dan Apresiasi Verbal (2/10/2005) bahwa buku tersebut merupakan kumpulan cerpen pertama di Babel sebagai wujud ekspresi yang menandai eksistensi idealisme WS bagi dunia sastra Babel, dan acara peluncurannya pun cukup meriah di sebuah kafe di Pangkalpinang, ia justru menampilkan kegagapan tokoh (penokohan) cerpen-cerpennya. 

Kegagapan itu tampak pada kecenderungan WS, 1) menerangkan (telling, bukan showing) karakter/watak tokohnya, 2) merancukan logika penokohan, 3) merusak watak/karakter budaya tokohnya, dan 4) menjadikan tokoh sebagai ‘robot’, ‘wayang kontemporer’ ataupun ‘corong’ pengarangnya.

Kecenderungan WS menerangkan (telling) karakter/watak tokohnya dapat ditemukan pada cerpen Anak Langit, cerpen Sangkar, cerpen Tanda Jasa, dan lain-lain. Cerpen Tanda Jasa misalnya, WS langsung menerangkan, Razali adalah tipikal orang gigih, selalu bersemangat, enerjik dan penuh senyum menghadapi semua jenis dan bentuk persoalan dan pekerjaannya (hal.28). Imajinasi pembaca ‘dikebiri’ oleh WS!

Atau cerpen Sangkar. Larasati melayani suami pada malam hari adalah kewajiban-kewajiban pokok yang harus sang isteri tunaikan dengan keikhlasan (hal.20). Juga dalam cerpen VCD. Karno sosok pekerja yang rajin. Karno sangat pendiam. Pribadinya nampak lebih dewasa dari usianya (hal.151). Mirip cerita tempo doeloe atau dongeng pengantar bobok malam para balita. Dan gaya narasi semacam itu mendominasi cerpen-cerpen WS dalam SC 2250.

Kedua, kerancuan logika penokohan. Contoh pertama, cerpen Anak Langit. WS memaparkan penokohan seorang anak bernama Surya. Lalu emaknya. Dan sekilas tentang ayahnya, yang semula diketahui Surya dari cerita emaknya. Dan itulah secuil kisah yang ia dengan dari emaknya, sering sekali. Bagi Surya, cerita emaknya adalah sejarah. Yang penting untuk diingat. juga perlu untuk tahu siapa dan bagaimana sebenarnya sosok sang bapak. (par.I, hal.9)

Tapi kemudian, pada hal.10, pemaparan dirancukan oleh WS sendiri. Surya ingat bapaknya pernah membuatkannya mainan mobil truk dari bahan kayu bekas, beroda karet sandal jepit, dan bak belakang dicat warna kuning. Juga pekerjaan bapaknya sebagai pengangkut sampah dengan kendaraan mobil truk seperti yang dibuatkan bapaknya, serta harapan bapaknya agar diangkat jadi pegawai negeri sipil. Logika macet.

Contoh kedua, cerpen Sangkar. Pada par.III hal.17 WS menuliskan, Raden Mas Brata Umbara, tidak pernah tahu atau peduli dengan setiap makna bunyi burung-burung miliknya. Ia tidak pernah belajar mengerti bahasa unggas. Namun kerancuan muncul pada par. VI (hal. 18). Demikian filosofi jawa yang Brata genggam kuat dalam kehidupan kesehariannya. Selain membawa ketentraman, ia mempercayai burung dan suaranya akan mem-bawa rejeki dan keberuntungan, atau kadangkala mampu memberi tanda bahwa akan ada sanak famili dari jauh yang akan datang.

Ketiga, merusak watak/karakter budaya tokohnya. Contoh yang paling jelas tampak pada cerpen Sangkar. WS, yang lahir di Purworejo (Kutoarjo?) Jawa Tengah dan hingga berumur sekitar 20-an tahun berada di Jawa, menuliskan pada paragraf awalnya begini.  

Ketentraman hidup selalu menjadi idaman Brata Umbara, yang karena silsilah-nya masih menyandang gelar Raden Mas. Oleh karena itu, ia memelihara banyak jenis burung. Lalu meloncat ke par.IV. Sambil menikmati ubi goreng atau pisang goreng yang dihidangkan isteri tercinta, sesekali Brata akan bersiul memancing burung-burungnya untuk menyahut. Meloncat lagi ke bagian dari par.VII, ia tidak sepenuhnya miskin seperti guru pada umumnya. Berikutnya, cuplikan par.VIII. Raden Mas Brata telah punya satu mobil, perabotan serba elektrik dan telepon di rumahnya. Itu karena warisan dari mendiang bapaknya yang pernah menjabat sebagai wedana (atasan dari beberapa camat, pada jaman Indonesia baru saja merdeka sampai tahun 1970-an).

Raden Mas Brata Umbara tidak miskin seperti guru pada umumnya, mampu memelihara banyak jenis burung (klangenan), memiliki benda ini-itu bahkan perabotan serba elektrik, tetapi sehari-hari ia menikmati hidangan pagi hanya berupa ubi goreng atau pisang goreng. Tidak ada variasi jenis camilan lainnya atau ‘jajanan pasar’ selayaknya keseharian orang Jawa ‘yang tidak miskin’ bahkan keluarga bangsawan.

Dalam penokohan Nyi Ayu Larasati, WS memaparkan, isteri Brata itu wanita jawa tulen yang menghormati suaminya seperti priyayi (bangsawan). Dan kenyataannya, ia memang seorang priyayi. Ketika menyampaikan unek-uneknya (hal.24), Larasati semakin bersemangat, tapi masih dalam batas-batas kesopanan budayanya.

Benarkah Larasati masih memegang budaya primordial-feodal Jawa? Ternyata WS malah menjadikan wanita itu mengkhianati budayanya sendiri. “Mas Brata”, Larasati menekan nada bicaranya sehingga menjadi tegas (hal.23). Dan sebutan “Mas Brata” itu terulang sebanyak enam kali. Selama 18 tahun saya merantau di Yogyakarta (ibu saya asal Surakarta Jawa Tengah, dan ayah saya asal Madiun Jawa Timur), dalam pergaulan masyarakat tradisional Jawa, apalagi yang masih teguh berpegang pada tata kramanya, sebutan nama kepada suami, seperti “Mas Brata” itu, tidak akan pernah terjadi. Cukup berkata, “Mas…”, tanpa dilanjutkan dengan nama suami.

Keempat, tokoh menjadi ‘robot’, ‘wayang kontemporer’ ataupun ‘corong’ pengarang. Beberapa tokoh cerpennya gagal menjadi diri mereka sendiri. Mereka tidak lebih dari ‘robot-robot’, ‘wayang-wayang kontemporer’ atau ‘corong-corong’ WS untuk menyampaikan pesan atau kritik WS terhadap situasi yang sedang terjadi (saat itu). Hal ini sangat kentara sehingga sastra sekadar kedok untuk ‘mengkotbahi’ pembaca.

Buktinya? Coba tengok ucapan tokoh Gunawan pada cerpen Teplok. “Seandainya kita tidak tergantung dengan keberadaan listrik, mungkin aku tidak sewot pagi tadi” Gunawan membuka percakapan (hal.43). “Dulu manusia purba hanya berteman dengan matahari, bulan dan bintang sebagai sumber penerangan…..” dst., dengan diselingi sedikit tanggapan istrinya (tokoh “aku”) sampai hal.45, “Kalau kenyataannya, peralatan listrik kita saja dibeli dari luar negeri, dengan harga amat tinggi, entah karena di-perantara-i, dipajak-i berlipat ganda atau ekspedisinya berbau korupsi, ya tetap saja, bukan salah Alfa Edison…” dst. Di tangan WS, cerpen dipermak jadi “ceramah pendek”.

Yang paling parah, cerpen Pidato. Simak koar-koar tokoh utamanya. “Sudah sering kita baca dan alami sendiri. Birokrasi yang berlatar belakang rencana pungutan liar dan korupsi…” dst. “Bukan hanya doa yang harus kita lambungkan…” dst. (hal.95), “Ki Hajar Dewantara telah mengajarkan kepada kita…” dst. (nyaris sepanjang hal.97), “Praktek demokrasi tidak perlu menjiplak mentah-mentah Trias Politica Montesquoi…” dst. (lebih dari 60 kata, hal.99-100), dan “Akhir kata, saudara-saudariku. Jangan pernah menyerah pada keadaan dan penindasan…” dst. (lebih dari 60 kata, hal.101-102). WS memperalat tokoh “aku” menjadi ‘robot’, ‘wayang kontemporer’ atau ‘corong’ WS.

Menurut Burhan Nugiyantoro, tidak jarang tokoh-tokoh cerita dipaksa dan diperalat sebagai pembawa pesan sehingga sebagai tokoh cerita dan sebagai pribadi kurang berkembang. Secara ekstrem boleh dikatakan, mereka hanya sebagai robot yang selalu tunduk kepada kemauan pengarang dan tidak memiliki kepribadian sendiri. Tokoh cerita seolah-olah hanya sebagai corong penyampai pesan, atau bahkan mungkin merupakan refleksi pikiran, sikap, pendirian, dan keinginan-keinginan pengarang.

‘Robot-robot reyot’ WS itu merupakan contoh yang bagus atas kegagapan dan kegagalan penokohan dalam praksis kreasi fiksi (cerpen) yang diciptakan oleh ‘cerpenis’. Kemungkinan penyebab dari beberapa hal tersebut adalah tuntutan pengarangnya (WS) terhadap tokoh rekaannya. Sejak dalam pikiran pengarang (WS) tokoh-tokohnya harus begini-begitu (dibatasi/dipasung/dikebiri demi kepentingan pengarang), sehingga tokoh cerpennya tidak bebas-leluasa menjadi diri mereka sendiri melainkan pengarangnya merasuki tokoh-tokohnya.

Tapi, harus diakui, tidak sedikit pembaca menyukai gaya penokohan yang ‘ideal’ dan ‘suka mengotbahi/menceramahi’ seperti itu. Ira Esmiralda menyebutkan, mereka biasanya pembaca yang membaca cerpen sebatas sebuah hiburan bermanfaat, tidak seperti kebiasaan membaca di kalangan sastrawan atau pembaca ideal yang membaca cerpen sebagai ranah kehidupan kreatif-imajinatif. Tidak apa-apa karena memang begitulah kualitas cerpen seorang WS.

*******
Kobatin, Januari 2006

Tidak ada komentar: