Sabtu, 21 Februari 2009

Cerpen Pendek dan Ketidakkonsistenan Seorang Redaktur Budaya Koran Lokal

Karena keterbatasan halaman dan untuk penajaman gagasan, untuk naskah cerpen dan esai hendaknya diketik maksimal tiga halaman kuarto dengan spasi rangkap,” begitu pemberitahuan dari redaktur rubrik Budaya sebuah harian lokal yang sangat terkenal di Bangka Belitung (30/10/2005).

Seorang pentolan pekerja sastra Bangka Belitung (Babel) menanggapi, pemberitahuan itu ngawur sekali. Jangankan tiga halaman kuarto spasi rangkap, format umum enam hingga delapan halaman saja masih terasa kurang. Hal senada pun diungkapkan oleh Sunlie Thomas Alexander (cerpenis lokal yang telah menasional) bahkan dia belum berani membuat cerpen dengan format semungil itu.


A. Polemik Usang 

Sebuah polemik pernah mencuat tahun 2002. Dalam esai Potret Diri Cerpen Indonesia : Sebuah Kreativitas Yang Terbelenggu, Donny Anggoro menulis, “Sayang, tak banyak yang menyadari kondisi semacam ini justru tidak sehat. Para cerpenis pun calon sastrawan akhirnya berlomba-lomba menulis cerpen sebanyak lima-delapan halaman sesuai ruang yang tersedia di koran. Akibatnya kemampuan estetis mau tak mau harus rela berkompromi atau kasarnya terbelenggu oleh penulisnya sendiri demi memenuhi syarat pemuatan. Ide-ide cerita dengan diilhami peristiwa-peristiwa aktual di media massa tak dapat dipungkiri lagi bak ‘resep jitu’ demi menembus birokrasi sastra koran. Akibat lainnya lagi perkembangan cerpen Indonesia surut dari gaya bertutur panjang yang mau tak mau harus kita akui telah dialami hampir semua cerpenis kita.” (situs Cybersastra, 2002) 

Serta-merta tulisan Donny Anggoro tadi disergap oleh Ibrani (dari Cilangkap) dalam Buku Tamu situs tersebut (18:14:40, 23/8/2002). “Bung Anggoro, ente kan tahu Graffiti Imaji (antologi cerpen pendek terbitan Yayasan Multimedia Sastra Jakarta, yang membatasi kiriman karya sepanjang dua halaman kuarto dan diketik dengan spasi 1,5 – Pen.). Nah, di sana (dalam antologi tersebut – Pen.) tuh seharusnya ada ekplorasi kata. Jadi tak menuduh ruang koran yang semena-mena, harus 8-7 halaman,” sergah Ibrani.


B. Ruang Terbatas Pilihan Siapa?



Umpama, Anda disediakan ruang berukuran 3 X 3 m2 dan tinggi plafonnya 3,2 m untuk tinggal (indekos). Perabotan apa sajakah yang akan Anda masukkan? Tentunya yang standard, kan? Tempat tidur, meja, rak buku dan lemari pakaian. Mungkin ditambah dengan karpet, keset dalam, tempat menampung segalon minuman air tawar, dan lainnya yang bisa muat. Barang-barang fungsional lainnya, misalnya untuk terima tamu, mandi, jemur pakaian, transportasi, dan lainnya, ditaruh di mana? Anda akan protes pada penyedia ruang? Paling-paling dijawabnya, “Mau, ya begini. Tidak mau, silakan cari tempat lain.”

Seumpama pula, Anda disodori lahan kosong seluas 30 X 30 m2 yang siap dibangun sebuah rumah. Ia diberi kebebasan dalam merencanakan, merancang, membangun dan menghuninya. Dibanding dengan ruang 3 X 3 m2, Anda akan merasa leluasa berkreasi memilih dan menata perabot di mana, kan? Tentunya Anda akan memilih lahan 30 X 30 m2 atau memang Anda memiliki lahan seluas itu.


C. Membebaskan Kreativitas dalam Batasan Ruang

Perumpamaan ruang kos dan lahan kosong tersebut mirip juga dengan realitas ruang cerpen dalam koran. Ruang (anggap saja indekos) yang disediakan koran untuk cerpen biasanya berkisar antara empat – delapan halaman kertas kuarto berspasi ganda atau empat-enam halaman berspasi 1,5. Dan, dalam lembar tersebut, semisal rubrik Seni atau Budaya, biasanya juga tersedia ruang untuk esai atau kritik seni/sastra/budaya, serta (mungkin) puisi/pantun. Sedangkan lahan kosong itu bisa diterjemahkan sebagai buku kumpulan/antologi cerpen pribadi yang tidak membatasi geliat kata-kata.

Seorang cerpenis harus pandai mengolah ruang yang disediakan oleh koran. Dengan luasan ruang standar tersebut, sepatutnya ia betul-betul bisa mengisi ruangan secara fungsional dan padat tanpa menggusur unsur estetika. Justru dengan keterbatasan tersebut seorang cerpenis tertantang untuk memaksimalkan kreativitasnya.

Nilai estetika sebuah cerpen, menurut Anton Kurnia (2002), tentu saja tidak ada hubungannya dengan panjang-pendeknya. Sebab, kualitas tidak ditentukan oleh kuantitas. Ambil contoh cerpen-cerpen Kawabata Yasunari (orang Jepang pertama yang meraih Hadiah Nobel tahun 1968, dan bunuh diri tahun 1972 – Pen.) yang terkadang hanya sepanjang tiga halaman dan dikenal sebagai 'cerita-cerita setapak tangan' (tenagokoro no Shotsetsu) atau cerita-cerita yang pernah dibuat oleh Sapardi Djoko Damono.

Yang lebh ‘sempit’ lagi adalah cerpen-cerpen karya Alexander Solzhenitsyn. Sastrawan Rusia peraih Hadiah Nobel bidang sastra tahun 1970 ini menulis cerpen Sharik dan cerpen Semut dan Api hanya sepanjang satu halaman kuarto spasi ganda, selain beberapa lainnya yang cukup dua halaman kuarto.
Namun ternyata membuat cerpen yang sangat pendek pun tidak semudah sangkaan orang. Beragam unsur, baik setting, plot, conflict maupun ending, haruslah termuat di dalamnya. Dengan terbatasnya halaman justru terletak keunikannya, yang mana penulis harus mampu mengolahnya hingga berbagai unsur terpenuhi layaknya cerpen,” kata pengantar perekrutan terbuka untuk Antologi Cerpen Pendek Graffiti Imaji awal Februari 2002, dan syarat panjang tulisan maksimal dua halaman kuarto dengan spasi 1,5.

Setelah buku itu terbit, kata pengantar tim editor - yang terdiri atas Sapardi Djoko Damono, Yanusa Nugroho, dan Anna Siti Herdiyanti, “Hal lain yang bisa dimasalahkan dengan cerita pendek adalah hubungan keterbatasan ruang dengan gagasan, informasi, deskripsi, analisis, atau apalah namanya. Dibandingkan dengan novel, jumlah kata yang bisa dimainkan, atau dipermainkan oleh si pengarang sangat terbatas. Apakah dengan keterbatasan itu ia sanggup, misalnya, membuat deskripsi tokoh yang meyakinkan? Atau menciptakan suasana yang mencekam? Atau menguraikan masalah dengan secermat-cermatnya? Seorang sastrawan harus mengusahakan kemampuan untuk menyampaikan hal penting dalam beberapa patah kata saja.” 

Kemudian disusul Lomba Menulis Cerpen Mini akhir Februari 2002 yang diselenggarakan oleh Komunitas Sastra Indonesia dengan salah satu syaratnya, “Panjang cerpen tidak lebih dari dua halaman kuarto diketik dua spasi.”

Kali ini, tahun 2005, redaktur Budaya harian lokal di Babel membuat kriteria serupa tapi ‘bonus’ satu halaman dan bukan alasan lomba. Lantas, apakah cerpen tersebut berkategori ‘cerpen prematur’, ‘cerpen cacat’, ‘cerpen melarat estetika’, dan harian tersebut langsung dituding sengaja dan semena-semena memasung kreativitas para cerpenis Babel?


D. Tidak Berdaya

Selama enam tahun terakhir harian lokal itu menjadi satu-satunya perusahaan pers (harian) lokal yang memberikan honorarium bagi para penulis, baik opini maupun budaya. Di samping oplah perharinya lebih dari seribu eksemplar, afiliasinya dengan sebuah raksasa pers nasional di Ibukota pun cukup menegaskan hegemoninya di Babel. Tak pelak sebagian besar penulis di Babel menjadikannya sebagai satu-satunya media massa terpercaya. Sementara perusahaan pers (harian) lokal lainnya, yang muncul beberapa tahun kemudian, belum sudi menghargai hak intelektual para penulis. 

Namun, satu minggu setelah pemberitahuannya, koran tersebut tetap memuat cerpen yang berformat lebih dari tiga halaman kuarto alias melampui kriteria fisik yang disebutkan oleh redaktur budaya. Begitu pula dengan cerpen-cerpen yang mereka publikasikan selanjutnya. Patut disayangkan, sebuah pemberitahuan yang telanjur disebarluaskan melalui medianya sendiri, ternyata tidak sanggup dipertanggungjawabkan secara konsisten oleh redakturnya. Mungkin tidak mudah membuat cerpen dalam format tiga halaman kuarto berspasi ganda. Paling tidak, redaktur budayanya sendiri tidak berdaya memberi beberapa contoh.

*******
Kobatin Bangka Tengah, November 2005

Tidak ada komentar: