Sabtu, 21 Februari 2009

Cerpen = Cerewet Pendek ?

Sebagian orang pasti tahu, cerpen itu singkatan dari cerita pendek. Apa itu “cerita”, apa itu “pendek”, dan apa pula itu “cerita pendek”, saya kira tidak perlu saya uraikan sedemikian menggurui. Saya asumsikan pembaca sudah pandai, bahkan lebih pandai daripada saya. Saya hanya seorang pembaca, bukan guru sastra apalagi sastrawan.


Benar, saya hanya seorang pembaca Bangka Pos, dan itu pun khusus edisi Minggu. Bangun pagi, cuci muka, sikat gigi, bikin kopi, hidupkan radio yang menyajikan lagu-lagu riang, pergi-membeli Bangka Pos, pulang, duduk membaca sambil minum kopi diiringi senandung syahdu dari radio FM Stereo. Merdeka sekali rasanya, Bung!

Nah, sebagai pembaca, apalagi pembaca khusus Bangka Pos edisi Minggu, saya suka membaca rubrik Budaya. Di rubrik tersebut saya suka membaca cerpen. Kenapa saya suka membaca cerpen? Salah satu alasan saya, jangan-jangan ada cerpen yang memakai tokoh bernama Agustinus Wahyono, dan ceritanya benar-benar dari kehidupan saya pribadi sehari-hari. Wah, bisa gawat. 

Sambil minum kopi, 21 Agustus lalu saya membaca cerpen Tuan Premso karya Fery Laskari. Di awal ceritanya tercantum sebagian lirik lagu balada Iwan Fals tentang BBM. Apalagi Premso itu ternyata singkatan dari Preman Solar, dan solar sempat menjadi salah satu bahan bakar paling ‘brutal’. Waduh biyuh, bakal asyik nih.

Bakal asyik? Oh iyakah? Sebentar. Saya harus membaca cermat-cermat agar cerpen tersebut dapat saya cerna dengan nikmat. Sebab, selama ini saya membaca cerpen memang begitu. Saya pengen banget bisa berfantasi seperti yang ceritakan secara pendek oleh pengarangnya.

Walah! Fantasi saya tiba-tiba terpeleset oleh licinnya solar yang dituang Fery pada cerpen tersebut. Betapa tidak! Kalau selama ini pikiran saya dijejali obrolan para sastrawan bahwa cerpen itu cerita pendek, atau katakanlah cerita yang berdurasi pendek, dan secara konvensional berintikan pada cerita itu sendiri, ternyata saya tidak menangkap cerita apa-apa dalam cerpen Tuan Premso itu. Bener, sumpah!

Mungkin pikiran saya saja yang kurang berwawasan sastra. Mungkin selama ini saya terlalu suntuk dengan bangunan-bangunan berlantai keramik nan licin. Tapi apa memang mungkin begitu?

Saya baca kembali dari awal. Saya harus mengikuti jalan ceritanya lebih baik-baik dan lebih hati-hati. Nikmatnya kopi dan merdunya lagu segera saya singkirkan dari pikiran saya supaya tidak mengusik konsentrasi saya.

Sialan. Lagi-lagi saya terpeleset. Saya sangka ada kulit pisang di atas jalan yang sedang tergenang solar. Tapi mana kulit pisangnya? Kacau sekali pikiran saya ini. Baru baca cerpen saja sudah terpeleset, apalagi kalau membaca cerbung, novelet, dan novel. 

Oh tidak, Tuan Premso. Bukan gara-gara solar dan kulit pisang. Melainkan oleh air liur sang cerpenisnya. Coba tengok lagi di sana, wahai Tuan Premso, jangan cuma lihai melamun seraya membuat tema kritik sosial. Jalan cerita pendek itu terlalu banyak disirami air liur. Bukan cerita itu sendiri.

Jujur, pada cerpen itu saya tidak menemukan unsur-unsur cerita yang memadai, misalnya kejelasan alur, fokus konflik, suasana, lokasi, benda-benda, dan lain-lain. Pembukaan cerpen yang terlalu panjang dengan gerundelan tanpa jelas kapan dan di mana. Yang terlihat, maaf, justru cerewet pendek. Bukan cerita pendek sebagaimana hakikat sebuah cerita.

Terpaksa saya bilang, bukan lantaran mendung menelikung matahari, kafein yang mandul, senandung yang tumpul, pikiran yang plesir entah ke mana, maka pagi itu saya gagal berfantasi dengan cerpen tersebut. Namun karena pagi-pagi begitu pikiran saya tidak bisa menampung kecerewetan-kecerewetan semacam itu. Weleh, kok saya jadinya subyektif sekali? Ya ‘gimana dong. Padahal pengarangnya, Fery Laskari, seorang staf redaksi Bangka Pos lho. Tapi so what gitu loh.

******
Sungailiat, 20 September 2005

Tidak ada komentar: