Sabtu, 21 Februari 2009

Tewasnya Sang Sastrawan

Pembaca adalah raja di depan sebuah karya sastra
(Radhar Panca Dahana, 1999)

Seorang sastrawan senior Babel sewot atas ‘kesan’ pembacaan saya terhadap beberapa cerpennya. Dia ngotot, dan menganggap saya kurang memahami isi (teks) cerpen-cerpennya. Kemudian dia menerangkan, cerpen ini maksudnya begini, dan cerpen lainnya maksudnya begitu. “Kau salah baca dan tidak mengerti apa itu cerpen,” tudingnya. Waduh!

Tak ayal saya merenung. Bagaimana bisa seorang sastrawan tiba-tiba menjelma sebagai juru bicara bahkan pengacara atas cerpennya sendiri? Bukankah sebagai ‘senior’, dia seharusnya sudah jauh lebih mengerti, bahwa pembaca memiliki kebebasan sepenuhnya bahkan ‘raja’ dalam menginterpretasi sebuah karya sastra, terserah seberapa kurang-lebihnya interpretasi (komentar, kritik, tanggapan, dll.) tersebut? Mungkinkah dia, sebagai sastrawan senior di Babel, belum pernah membaca kalimat Kristeva, “Pengarang mati setelah karya tercipta”?


A. Membela Karya

Perlukah seorang sastrawan membela karyanya sembari menerangkan bla-bla-bla-bli-bli-bli ketika pembaca mengungkapkan hasil pembacaannya?

Sebenarnya tidak perlu. Yang diperlukan pada diri seorang sastrawan adalah kelapangan dada dan kebesaran jiwanya untuk menerima segala interpretasi pembaca, baik pembaca awam (tidak memahami seluk-beluk sastra), sesama sastrawan maupun pakar sastra. Ketajaman atau ketumpulan belati interpretasi adalah mutlak milik pembaca.

Terkecuali jika kemudian pembaca menanyakan kembali kepada pengarangnya, apakah interpretasinya benar begitu. Biasanya mengenai ide dan proses kreatif kepengarangannya sehingga tercipta karya tersebut. Pengarang yang bijaksana akan menjawab seputar ide dan proses kreatifnya. Bukan menerangkan panjang-lebar, yang semata-mata untuk membenarkan karya (teks) yang telanjur dibaca dan diinterpretasi orang lain. Itu pun harus dikembalikan pula kepada pembaca (‘raja’), apakah pembaca bisa menerima atau tidak atas jawaban pengarang.

‘Kebangkitan’ sang sastrawan dari ‘kematian’-nya demi membela karyanya malah berakibat dua hal. Pertama, ‘membunuh’ karya (teks)-nya sendiri. Kedua, ‘kematian’ sang sastrawan terjadi secara tidak wajar alias ‘mati penasaran’ sehingga ia nekat ‘bangkit’ menjadi hantu, lantas merampas kebebasan milik pembaca. Mengerikan sekaligus menggelikan sekali.

Saya juga berpikir, “Seandainya sang sastrawan benar-benar sudah almarhum, lantas siapa yang akan membela cerpen-cerpennya seraya menerangkan ini-itu sebagai suatu kebenaran makna/kesan paling sejati dan tidak bisa diganggu gugat atas cerpen-cerpen karya almarhum sastrawan?”


B. Tugas Sastrawan dan Tugas Karya Sastra

Tugas sastrawan adalah menciptakan karya (teks) sastra itu saja. Syukur-syukur bisa lebih dari sejuta karya, dan semua berkualitas kelas satu. Sedangkan tugas karya (teks) sastra adalah berkomunikasi dengan masyarakat pembaca. Berhasil atau tidaknya sebuah karya (teks) sastra menjalankan tugasnya, itulah konsekuensi logis bagi sebuah karya (teks) sastra.

Ketika karya (teks) sastra tercipta dan sampai di mata pembaca, penciptanya (sastrawan) mati. Mati. Mati. Mati. Tinggallah bagaimana selanjutnya karya (teks) sastra itu bisa hidup, berkomunikasi dan bergaul dengan para pembaca. Yang kemudian sebaiknya dilakukan oleh penciptanya (sastrawan) adalah tetap tekun mengasah kemampuan, dan selalu introspeksi diri.

Sementara tugas pembaca cuma ‘membaca’ karya (teks) sastra sebab karya (teks) sastra itulah yang ada di hadapannya. Pembaca tidak usah susah-susah memikirkan bagaimana perasaan penulisnya (sastrawan) kalau ditemukan adanya ‘kelemahan’, ‘kekurangan’, dan sejenisnya.

Keberadaan pembaca sangat sah dalam suatu resepsi sastra. Menurut Kinayati Djoyosuroto (2005), resepsi sastra merupakan disiplin ilmu sastra yang mengaji masalah penerimaan pembaca terhadap suatu karya sastra, baik suatu masa maupun dalam berbagai masa. Pendekatannya bergaris besar sebagai berikut: 1) reaksi suatu karya yang berhubungan dengan pembacanya; 2) karya sastra menjadi konkrit melalui proses penerimaan pembacanya sehingga meninggalkan kesan pada pembacanya dengan proses imajinasi; 3) imajinasi pembaca dimungkinkan oleh (a) keakraban dengan sastra. (b) kesanggupan memahami keadaan pada masanya, juga masa sebelumnya; 4) melalui kesan, pembaca dapat menyatakan penerimaan terhadap suatu karya, yang dapat berupa sebuah komentar atau pembicaraan karya.

Pembaca, masih Kinayati, terdiri atas dua kelompok, yaitu 1) pembaca biasa, yang membaca karya sastra sebagai hiburan, bukan sebagai bahan penelitian, dan 2) pembaca ideal, yang membaca untuk penelitian/pembahasan. Juga adanya pembaca eksplisit, yakni pembaca yang dituju oleh sebuah karya sastra, baik yang disebutkan secara langsung maupun tidak dalam teks sastra.

Dari pembacaannya, pastilah ada ‘kesan’ yang diperoleh pembaca. Maka pembaca pun akan berkomentar. Wajar. Begitu juga pada pembaca yang kritis. Ia akan mengritisi karya (teks) sastra sebatas karya (teks) sastra itu secara obyektif. Bukan desakan sentimenisme subyektif-kolektif. Bukan demi mendiskreditkan ‘siapa penulis’-nya. Bukan atas dasar ‘selera’ semata, meski ‘selera’ (subyektivitas) tetap sah-sah saja dimiliki oleh pembaca (awam maupun kritis) sebab, seperti kata Radhar Panca Dahana, pembaca adalah raja di depan sebuah karya sastra.

Sebelum karya dibaca orang lain, sebaiknya penulisnya bisa memposisikan dirinya sebagai pembaca pertama. Hal ini pernah dilakukan oleh sastrawan absurd Budi Darma. Wahyudi Siswanto (2005) mengungkapkan, setelah menulis karya sastra dan menulis kembali dengan mesin ketik Budi Darma, secara tidak sengaja ia memosisikan dirinya sebagai pembaca pertama dari karya sastra yang telah ditulisnya meskipun saat menciptakan karya sastra ia tidak pernah membayangkan adanya pembaca.

Begitulah sebaiknya yang dilakukan oleh seorang penulis sastra setelah karyanya baru saja tercipta. Bukan persoalan bagaimana tanggapan pembaca setelah karya tersebut tiba di depan mata pembaca lainnya. Bukan pula mempersoalkan kesan (interpretasi) pembacaan orang lain.

Malangnya apabila komentar/kritik terhadap sebuah karya (teks) sastra selalu dicurigai oleh penciptanya sembari berprasangka, “Jangan-jangan cuma dalih licik untuk merontokkan pamorku di depan para pemujaku.” Suatu kecurigaan yang kontra intelektual.

Yang harus dilihat kembali, bahkan oleh penciptanya, lagi-lagi, hanyalah pada karya (teks) sastra. Titik. Kalau pun penciptanya ‘merasa dipermalukan’ lewat kesan pembacaan orang lain atas karya (teks) ciptaannya, itu resiko perasaan penciptanya sendiri. Super subyektif. Tidak kontekstual. Tidak berfaedah bagi pendidikan ‘calon’ sastrawan dan kemajuan dunia sastra.

Oleh karenanya, untuk mengritisi sebuah karya (teks) sastra secara obyektif serta edukatif, dasar-dasar (teori-teori) tentang sebuah karya harus sungguh-sungguh dipahami oleh si kritikus. Juga dengan maraknya sambutan tanggapan, komentar, kritik, dan lain-lain secara kontekstual dari siapa saja pembacanya justru menunjukkan bahwa karya tersebut betul-betul dibaca, diperhatikan, sukses menancap di benak pembaca, dan memperkaya semesta sastra.

Akan tetapi, jika sastrawan (pengarang, penyair, pemuisi, pemantun, dll.) belum siap menerima serbuan tanggapan, komentar, kritik, dan sejenisnya dari para pembaca, sebaiknya karya tersebut tidak usah disodorkan kepada orang lain apalagi media massa. Simpan saja ide briliyan itu dalam brangkas pikiran, atau hasil ketikannya segera sembunyikan di bawah kasur. Mau paling aman, ‘baca sendiri dalam hati sebelum tidur lalu bakar habis setelah bangun’. Saya rasa itulah jurus pamungkas untuk menyelamatkan karya sastrawan dari berondongan badai komentar/kritik dari pembaca.

*******
Kobatin Bangka Tengah, Januari 2006

Tidak ada komentar: