Sabtu, 21 Februari 2009

Catatan Kepada Penyair

Sekitar November 2005 Sunlie Thomas Alexander (STA, tapi bukan Sutan Takdir Alisyahbana) memberi tahu saya, puisi Catatan Kepada Rakyat karya Gautama Indra alias Peter Siswanto (PS) yang memenangkan Lomba Cipta Puisi Peringatan 100 Tahun Bung Karno 2001 di Jakarta dan dimuat lagi (disertakan foto PS) oleh harian Bangka Pos tahun 2001 (STA memberikan potongan koran arsip pribadinya, tapi sayangnya tidak tercatat tanggal dan bulan pemuatannya), ternyata sebagian juga tergabung dalam kumpulan sajak kakikaki telanjang (KKT) karya Willy Siswanto (WS) yang diterbitkan oleh Yayasan Aktualita Karsa Pangkalpinang (YAKP) tahun 2005 (ISBN 979-9870640-31-6), di halaman 41.

A. Dua Puisi Tersebut

Untuk lebih jelasnya, silakan simak puisi Catatan Kepada Rakyat karya Gautama Indra alias Peter Siswanto (PS) berikut ini.


Catatan Kepada Rakyat


Yang hilang di pelataran rumah pengasingan dalam hujan

Malam pekat 11 Maret 1949

Sejarah seperti batubatu gunung yang kikis digerus air hujan di lereng Menumbing dan menggelinding ke Sungai Mentok Asin, keruh oleh peradaban dan tenggelam ke bawah plastik dan sampah polutan. Air laut Selat Bangka tak akan lagi mampu merontokkan lumut dan kulit kerang yang menutupi wajahnya. Tetapi sampai kapanpun, ia adalah batu gunung, juga bila berada di kolam taman atau museum purbakala. Di ruang istana atau rumah rakyat jelata. Ia milik alam. Ada meskipun jaman meninggalkannya.

Bukanlah mereka yang tak mengalami revolusi, / yang mengerti arti perjuangan. / Penderitaan adalah kebanggaan bagi anak cucu. / Ketika bendera berkibar dalam setiap relung hati. / Menyuarakan kemerdekaan. Warisan satu-satunya.

Bukan catatan tentang pembunuhan dan kebiadaban. / Tetapi jalan terakhir pembelaan hak dalam memperoleh hidup. / Atas penjajahan, kita layak kobarkan / -- pengorbanan yang ikhlas dan niat yang utuh.

Tidak pantas kami berlindung dan sembunyi di balik punggungmu, / Menikmati kekuasaan dengan anggur dan gelimang emas. / Atau meninabobokanmu dengan ketergantungan hutang. / -- Seperti politik, ekonomi juga tak pantas / menjadi panglima pembangunan. / Apalagi militerisme.

Junjung di kepalamu, hukum dan kemanusiaan. / Panggul di pundakmu, keadilan dan kesejahteraan. / Dan perdamaian akan tersemai seperti butiran embun.

Telah aku lihat jauh ke depan. / Kita akan terus mengalami pergolakan / Menyingkirkan benalu kefasikan dan kemungkaran / Menata lagi nurani dalam derai tangis dan legam tanah air. / Tak perlu lagi ada darah bersimbah menggenangi pangkuan ibu.

Kepadamu akhirnya, / Aku titipkan bangsaku.

Sejarah seperti angin gunung. Berhembus mengitari padang dan lembah. Membawa putik-putik sari ke pelaminan ilalang dan padi. Menggiring layar perahu nelayan ke geliat ombak lautan. Menjemput kehidupan. Senantiasa. Tak pernah berhenti, meskipun manusia tidak mengenangnya.

Pangkalpinang, 6 Juni 2001



Selanjutnya, puisi Catatan Kepada Rakyat karya Willy Siswanto (WS) dalam KKT, hal.41.


CATATAN KEPADA RAKYAT


yang hilang di pelataran rumah pengasingan

dalam hujan malam pekat 11 Maret 1949

Sejarah seperti batubatu gunung yang kikis digerus air hujan di lereng Menumbing dan menggelinding ke Sungai Mentok Asin, keruh oleh peradaban dan tenggelam ke bawah plastik dan sampah polutan. Air laut Selat Bangka tak akan lagi mampu merontokkan lumut dan kulit kerang yang menutupi wajahnya. Tetapi sampai kapanpun, ia adalah batu gunung, juga bila berada di kolam taman atau museum purbakala. Di ruang istana atau rumah rakyat jelata. Ia milik alam. Ada meskipun jaman meninggalkannya.

Sejarah seperti angin gunung. Berhembus mengitari padang dan lembah. Membawa putik-putik sari ke pelaminan ilalang dan padi. Menggiring layar perahu nelayan ke geliat ombak lautan. Menjemput kehidupan. Senantiasa. Tak pernah berhenti, meskipun manusia tidak mengenangnya.

Pangkalpinang, 6 Juni 2000




B. Siapa Gautama Indra alias PS, Siapa pula WS

Nama Gautama Indra adalah nama samaran PS. Nama PS pun bukan nama ‘pemain’ baru, terutama sejak partisipasinya dalam geliat KPSPB di Bangka. Gautama Indra alias PS, kelahiran 03 Mei 1977 dan lulusan D III Akutansi sebuah STIE di Bandung, dikenal (oleh sesama sastrawan di Babel) sebagai adik kandung WS.

Sedangkan nama WS, bagi sebagian penggiat sastra di Bangka Belitung (Babel), bukanlah sebuah nama asing. Pada Biodata versi KKT, WS lahir di Purworejo (Jawa Tengah, pen.), 29 Januari 1967 (versi antologi sajak penulis Bangka Lagu Putih Pulau Lada terbitan YAKP, Agustus, 2000, WS lahir di Kutoarjo, Jawa Tengah, 29 Januari 1967). Masih versi KKT, WS menyelesaikan studi Sastra Inggris IKIP (kini Universitas, pen.) Sanata Dharma Yogyakarta 1987 (versi LPPL, WS menyelesaikan studi di FPBS, jurusan Bahasa Inggris Diploma II, IKIP Sanata Dharma Yogyakarta, Juni 1987). Tidak jelas, sejak tahun 1987 ataukah 1988 WS menetap di Pangkalpinang, Babel.

WS mulai dikenal (oleh publik sastra-budaya di Babel) melalui debutnya bersama rekan-rekan sastrawan dengan mendirikan sekaligus mengetuai Komunitas Pekerja Sastra Pulau Bangka (KPSPB), aktif menggeliat ke hampir seluruh pelosok pulau Bangka sejak tahun 1999, dan telah menelorkan empat buku kumpulan sajak. Kiprahnya sebagai seniman (pelukis, penyair, pengarang, penulis sastra) serta juri pelbagai lomba seni di Pangkalpinang sudah bukan informasi baru bagi publik budaya di Babel. Cerpen, puisi dan esai budayanya pun pernah dipublikasikan di harian Suara Merdeka, Sriwijaya Pos, Bangka Pos, Media Indonesia, Kedaulatan Rakyat, Majalah Hai, Majalah Kolong Budaya Yayasan Indonesiatera, dll.

PS dan WS sama-sama ‘Siswanto’, dan beralamat tinggal yang sama pula; Jalan Lembawai 16 Pangkalpinang (biodata PS versi Bangka Pos). Di situ juga alamat Sekretariat KPSPB (versi LPPL, hal.61), dan YAKP (versi kumpulan cerpen Stannium Comp 2250 karya WS tahun 2005, hal.2) yang telah menerbitkan beberapa buku sastra.

C. Siapa Sebenarnya Pencipta Puisi Catatan Kepada Rakyat

Siapa sebenarnya pencipta puisi itu? Kalau dilihat dari waktu pembuatan puisi tersebut, sangat mungkin penciptanya adalah WS (6 Juni 2000), bukan PS (6 Juni 2001). Tetapi, publisitas puisi karya PS telah ‘menasional’, selain ‘melokal’ (harian Bangka Pos tahun 2001). Artinya, pengakuan hak cipta (hak atas kekayaan intelektual) bisa menjadi milik PS secara ‘sah’.

Tetapi, jika sebenarnya puisi itu karya WS, PS sebagai seorang Ahli Madya Akutansi, mengapa nekat ‘menjual’ kreasi dan hak cipta WS, kakaknya ? Di manakah nilai kejujuran dalam berkarya itu? Apakah semata faktor ekonomi (profit oriented)? Itu jika memang benar karya WS.

Atau, jika WS, kakak kandung PS, yang sebenarnya pencipta puisi tersebut, mengapa WS memakai nama Gautama Indra alias PS, adiknya sendiri, lantas mengirim puisi tersebut ke panitia lomba tingkat nasional di Jakarta, lalu dimuat juga oleh harian lokal, dan WS memuatnya lagi dalam kumjak tunggalnya seakan-akan WS tidak rela puisi tersebut menjadi ‘hak intelektual’ PS, adiknya? Apakah motivasi WS sesungguhnya? Apakah jujur-terpuji tindakan WS ?

Ada kecurigaan, WS sengaja memuat (‘mengklaim’) puisi itu dalam kumjak tunggalnya. Selain karena ‘tidak rela’ tadi, WS ingin ‘memanfaatkan’ puisi tersebut untuk ‘menaikkan’ gengsi karya-karyanya dengan cara mengganti ‘waktu pembuatan’ agar pembaca percaya bahwa puisi tersebut sesungguhnya adalah karya WS yang ‘dicuri’ PS, adiknya.

Atau, kalau memang murni karya PS, mengapa WS tanpa rasa malu ‘menjiplak’ (plagiat) sebagian puisi PS lalu seenaknya memasukkan ‘puisi plagiat’-nya untuk kumjak WS yang terbit tahun 2005 atau 4 tahun setelah PS memenangkan lomba ? Di manakah kreativitas, orisinalitas, kejujuran, etika, moralitas dan harga diri berkarya (seni) sastra ‘dilacurkan’ oleh WS ?


D. Secuil Catatan Cacat

Mungkin ada keraguan di benak pemerhati sastra-buku terhadap kualitas kinerja Penerbit YAKP karena penerbit itu andil secara langsung dalam dokumentasi, produksi dan publikasi puisi Catatan Kepada Rakyat tahun 2005. Ketua YAKP Ki Agus Hazirianjaya alias Ian Sancin mengungkapkan kepada saya, WS sama sekali tidak melibatkan orang-orang yayasan (WS terhitung anggota) termasuk ketuanya sendiri dalam proses memilih, mencetak dan menerbitkan kumjak KKT (termasuk kumcer SC 2250, 2005) bahkan stempel YAKP pernah berada di tangan WS dalam kurun waktu lama. Ada apa dengan integritas ‘kesenimanan’ WS ?

Begitu pula ‘persepsi’ atau ‘interpretasi’ pada sampul belakang KKT yang ditulis oleh WS (kreatornya sendiri!), “Kekuatan karya sastra dalam kakikaki telanjang justru berada pada pilihan kata sederhana yang mudah dicerna dan pada refleksi verbal yang dihadirkan sebagai sekedar catatan atau gugatan ! / sajak-sajak potret yang terdokumentasikan di dalamnya mampu berbicara faktual tentang realita hidup manusia tanpa hamburan hiperbolisme atau sentimentalisme / inilah sajak-sajak lugas / yang hadir tanpa keributan teori dan lipstik profanisme seni untuk seni.” Seolah kalimat provokatif itu dibuat oleh Penerbit YAKP!

Selain itu, dalam suatu pembicaraan dengan saya, STA tidak percaya bahwa karya-karya (cerpen) WS pernah dimuat di harian Suara Merdeka dan Media Indonesia. Untuk bisa dimuat di Suara Merdeka, kata STA, seleksinya cukup ketat. STA mengenal kualitas redaktur SM sejak dimuatnya cerpen STA di SM dan terjalin komunikasi antara STA dan redakturnya. Sedangkan di harian Media Indonesia, kapan? Sebab, dalam antologi sajak bersama Lagu Putih Pulau Lada (YAKP, Agustus 2000), pada biodata WS tidak tertera ‘tulisan pernah dimuat di Media Indonesia’. Selama kurun waktu 2001-2005, WS tidak pernah menyinggung soal pemuatan karya WS di media nasional tersebut. Bahkan, sambung STA, ketika melalui SMS sekitar Januari-Februari 2006 lalu STA menganjurkan WS mengirim karya ke media nasional WS menjawab “itu orientasi calon sastrawan”. Jika terbukti ketidakpercayaan STA, ada apa ini ?

Akhirnya, ketika puisi itu berkhotbah, “Kita akan terus mengalami pergolakan / Menyingkirkan benalu kefasikan dan kemungkaran / Menata lagi nurani dalam derai tangis dan legam tanah air”, entah siapa sesungguhnya ‘benalu kefasikan dan kemungkaran ataupun yang harus menata lagi nurani’-nya, apalagi pasca kritik ringan bertajuk Menggumuli Kumpulan Cerpen Stannium Comp 2250 (Bangka Pos, 23/10/2005) WS gemar dan getol berapologi dengan membuat pledoi bagi karya-karya sastranya untuk secara langsung menolak setiap kritik atas karya-karya sastranya tersebut melalui media massa di Babel tanpa pernah mengindahkan hakikat resepsi sastra, kritik sastra, egaliteritas sastra, dan ‘etika edukatif’ melalui praksis sastra bagi generasi muda di Babel, barangkali realitas ini merupakan tragedi elegis-ironis sekaligus sebuah ‘catatan kepada penyair’ dalam perkembangan seni sastra Babel mutakhir. Barangkali saja.

*******

Sri Pemandang Pucuk Sungailiat, 4 Januari 2006

Tidak ada komentar: