Sabtu, 21 Februari 2009

Penulis Membunuh Pembaca

Seperti yang pernah saya tulis dalam catatan budaya Menggumuli Antologi Cerita Pendek Stannium Comp 2250 Willy Siswanto (Bangka Pos, 23/10/2005), yang telah habis-habisan mengalami proses editing oleh redakturnya, dan kemudian ditanggapi langsung oleh Willy Siswanto (WS) dengan Satu Resiko Penerbitan Buku Sastra/SRPBS (Bangka Pos, 30/10/2005) bahwa kesalahan-kesalahan berasal dari percetakan, dan lain-lain, sampai pada pledoinya.

Saya ingat promosi WS sendiri untuk bukunya itu melalui esainya Catatan Tentang Karya dan Apresiasi Verbal (Bangka Pos, 2/10/2005). Dengan tanpa malu WS menulis, “Stannium Comp 2250 merupakan kumpulan cerpen pertama di Babel (bukan antologi bersama beberapa pengarang) adalah wujud ekspresi yang menandai eksistensi idealisme saya bagi dunia sastra Babel. Semoga menjadi acuan terjadinya dialog pragmatis dan kritisi analitis, akademis maupun praksis yang nantinya akan menggugat dan menuntut progresivitas sastra daerah dan pembelajarannya. Baik lembaga-lembaga pendidikan formal maupun di kelompok-kelompok studi lainnya.”

Pada tulisan kali ini masih meneruskan wacana yang belum tuntas mengenai buku tersebut, serta mengakomodasi penilaian dua sastrawan Babel, Ian Sanchin dan DN Kelana bahwa Stannium Comp 2250 (SC 2250) karya Willy adalah contoh yang bagus untuk bahan perbandingan karya-karya para cerpenis nasional yang selama ini berkualitas dan telah banyak dibukukan karena cerpen-cerpen Willy kurang bagus (kurang berkualitas).

Percaya atau tidak, subyektif atau naif, cerpen-cerpen WS dalam buku pertamanya itu memang berisi cerpen-cerpen yang kurang bagus secara kualitas, tapi bagus sebagai contoh nyata bagi dunia pendidikan sastra dan Bahasa Indonesia di sekolah, bagi para cerpenis Babel yang belum lama menekuni kegiatan karang-mengarang, serta bagi dunia penerbitan buku sastra di Babel bahwa itulah kumpulan cerpen yang kurang berkualitas bahkan beberapa masih ‘runges’. Kalau selama ini cerpen-cerpen orang dibukukan, diterbitkan dan dijual di toko-toko buku karena memang kualitasnya bagus, sedangkan SC 2250 diterbitkan justru karena kualitas isinya mengenaskan. Saya salut pada Yayasan Aktualita Karsa Pangkalpinang (YAKP)!

Masalah-masalah sepele, mengingat WS bukan penulis sastra kemarin sore di Bumi Serumpun Sebalai, seperti Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), kata-kata mubazir (pleonasme), hakekat cerpen sebagai cerita pendek (bukan ceramah pendek, ceracau pendek ataupun cercaan pendek), unsur-unsur intrinsik, hakikat sastra sebagai sebuah karya seni (bukan provokasi vulgar), struktur konvensional, budaya yang diusung (contoh tokoh Larasati mengangkangi budaya Jawa yang dijunjungnya dengan menyebut nama suaminya “Mas Broto”, bukan dengan kata “Mas” saja), etika Kata Pengantar, serta kualitas kinerja suatu badan penerbitan buku (bukannya penulis, prakata, editor, cetak, dll. dilakukan sendiri oleh seorang WS) bisa terjadi begitu rupa.

Tak heran, ketika peluncuran antologi SC2250 di Pink Kafe Pangkalpinang beberapa bulan silam (November 2005) WS tidak bersedia memberikan contoh bukunya kepada Sunlie Thomas Alexander (selaku Pembicara) dan LK Ara (selaku Pemberi Catatan Budaya) beberapa hari sebelum acara. Ada apa? 

Apa pun dalih WS, kekhawatiran akan ditemukannya kekurangmutuan karyanya justru terlihat. Sebab, seandainya jauh-jauh hari sebelum acara digelar WS telah memberikan bukunya kepada Sunlie dan Ara untuk sebuah acara sastra, berarti WS percaya pada kualitas cerpennya sendiri, dan ‘kecurigaan’ tulisan ini pun gugur.

Sekilas, dalam tulisan SRPBS WS senang adanya kritik sastra di Babel yang selama ini, menurut WS, beku. Tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Pembelaan atas karya sendiri masih dilakukan WS. Kesan pembacaan Sunlie (cerpenis yang telah menembus majalah sastra Horison) sebagaimana suatu resepsi sastra, ditolak mentah-mentah oleh WS (cerpenis Pangkalpinang yang nama dan cerpennya belum pernah saya lihat tampil di harian-harian Ibukota, Jurnal Cerpen, apalagi majalah sastra Horison). Tanpa malu WS menuliskan pledoi-pledoinya di koran, seperti juga tanpa malu WS mendompleng esainya untuk promosi bukunya dan celakanya redaktur budaya tidak sanggup (tidak jeli) menilai itu sebagai apa.

Dengan kata lain, pendapat Kristeva bahwa pengarang mati setelah karya tercipta, Radhar Panca Dahana bahwa pembaca adalah raja di depan sebuah karya sastra, Kinayati tentang resepsi sastra, dan sastrawan terkenal lainnya, tampaknya tidak bermutu apa-apa di hadapan arogansi hipokritas seorang WS, padahal nama WS sama sekali tidak pernah menjadi bahan perbincangan sebagai sastrawan Babel berkualitas di kalangan pengamat sastra nasional maupun kalangan sastra cyber-lintas multinasional.

Dalam sejarah pembelajaran sastra saya di lingkup Jogja, Jakarta, luar Babel, luar Jawa, sampai dunia melalui media massa serta online/internet, saya pernah membaca kritik terhadap Hudan Hidayat (person, bukan karya) yang dilakukan oleh Paus Sastra Lampung Isbedy Stiawan dan kritik tersebut dimuat di media massa nasional, tetapi Hudan tidak membuat sebuah pledoi dengan jurus-jurus apologis apa pun. Sebaliknya, kritik Isbedy justru dibalas kritik oleh penulis lainnya, dan dimuat pula dalam media yang sama. Atau dulu, Penyair Chairil Anwar yang dihujat habis-habisan oleh para penyair, tapi Chairil dibela oleh Paus Sastra H.B. Jassin (bukan lantaran curhatnya Chairil).

Saya pun pernah mengritik tulisan Sastrawan Muda Binhad Nurrohmat Kemenangan Cerpen Koran di harian Kompas. Kritikan saya dimuat di harian Sinar Harapan Jakarta dan situs sastra internet Cybersastra. Juga kritik atas ucapan Sastrawan Gaek Sutardji Calzoum Bachri mengenai kepenyairan W.S. Rendra di harian Sinar Harapan, dan dimuat di situs internet Cybersastra serta ditanggapi positif oleh Sastrawan Kohar Ibrahim. 

Cerpen-cerpen saya pernah pula dikritik habis-habisan oleh Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Malang Kuswinarto, dan dimuat di harian Batam Pos, dan situs Cybersastra (2003). Lainnya, sebuah cerpen saya ‘dibugili’ oleh alumnus FBSI IKIP Yogya Arie Saptadji, yang dimuat di situs Cybersastra (2003). Atau kritik atas cerpen saya oleh Asvega (anak Penyair Medy Loekito) yang dimuat di situs Cybersastra. Dan saya tidak perlu membuat ‘hak jawab’ (seperti apologi/pledoi WS) layaknya tulisan jurnalistik karena sastra bukan jurnalistik. Sastra adalah seni, bukan tulisan jurnalistik yang menuntut adanya ‘proporsi’ narasumber untuk menunjang ‘balancing’ berita.

Di lingkup lokal, sastrawati Sungailiat, Ira Esmiralda Kurnia, meski bergelar sarjana sastra, tetap menjunjung tinggi resepsi sastra dan egaliter sastra, serta terus bersungguh-sungguh mengasah bakat bersastranya. Dalam penciptaan karyanya, Ira masih selalu berdiskusi dengan Sunlie untuk lebih mematangkan karyanya (cerpen). Menekuni sastra sejak duduk di bangku SD hingga bergelar Sarjana Sastra, tidak lantas seorang Ira menjadi arogan hipokrit seperti WS (bukan Sarjana Sastra), dan semangat belajar senantiasa membara, seperti juga seorang absurdis Budi Darma. Ira juga mengajarkan pada saya bagaimana menjadi penulis sastra yang egaliter.

Sementara di lain waktu, melalui SMS (17.01.2006. 00:02) kepada saya, WS mengatakan, Babel masih ndesa (kampungan, pen.), mau mbangun ya syukur, ada yang ngerusak ya men (biarkan, pen.). SMS tersebut saya terjemahkan secara bebas, bahwa WS ‘merendahkan’ publik pembaca sastra di Babel, dan tidak mau bertanggung jawab atas ‘pengrusakan’ sastra di Babel yang mana WS sendiri andil langsung dalam ‘pengrusakan’ itu melalui karya tulisnya, baik cerpen, puisi, dan esai yang sarat pledoi yang tidak edukatif dan sangat kontra intelektual.

Hal ‘pengrusakan’ ini tentu saja terkait dengan penolakannya atas sebuah resepsi sastra, egaliter sastra, dan demokrasi dalam dunia sastra, kendati ia merasa telah bergaul intim dengan sastra di Babel. Tampak sekali WS tidak memahami arti resepsi sastra, egaliter sastra, dan demokrasi dalam dunia sastra. Selain itu WS, putera Kutoarjo/Purworejo Jawa Tengah, berusaha ‘menghidupkan’ budaya primordialisme Jawa (walau nekat ‘dirusaknya’ melalui tokoh Larasati dalam cerpen Sangkar) ke dunia sastra kontemporer di Babel yang dihuninya sejak belasan tahun.

Maka, betapa terkejutnya saya, di Babel, tanah kelahiran saya yang selama 18 tahun saya tinggalkan, seorang ‘sastrawan’ bisa dengan tegas menampilkan diri sebagai seorang diktator-otoriter-totaliter dengan tingkat arogansi hipokrit yang overdosis. Di mata WS, pembaca seolah-olah (dikondisikan?) tidak memiliki kapasitas apa-apa ketika membaca cerpen-cerpen WS. Pembaca sebagai “raja” (istilah Radhar Panca Dahana) tidak lebih dari secuil percak di ujung kerdipan seorang WS yang secara terbuka menjadi “Abunawas” bahkan telah ‘membunuh’ hak-hak pembaca. Padahal WS pun tidak berani menampilkan riwayat publikasi cerpen-cerpennya, jika dilihat dari biodata WS (SC 2250, hal.164) bahwa cerpennya pernah dimuat di harian Media Indonesia Jakarta, Suara Merdeka Semarang, ataupun Kedaulatan Rakyat Yogyakarta.

Bagaimana dengan puisi? Coba simak puisi Catatan Kepada Rakyat (CKR) yang tergabung di halaman 41 dalam buku kumpulan sajak Kaki-kati Telanjang (KKT) karya tunggal WS yang diterbitkan oleh YAKP, 2005. Siapa sesungguhnya pencipta CKR ? Puisi ini pertama dipublikasikan tahun 2001, yakni sewaktu CKR memenangkan Lomba Cipta Puisi Peringatan 100 Tahun Bung Karno Jakarta, lalu dimuat di harian Bangka Pos pada tahun yang sama. Tahun 2001 pencipta puisi itu bernama Gautama Indra alias Peter Siswanto, adik WS. Jelas WS ‘mengangkangi’ kejujuran dalam berseni sastra!

Tak hanya itu. Buku KKT pun ternyata ‘menyajikan’ penolakan WS terhadap proses resepsi sastra. Coba simak kalimat provokatif pada sampul belakang buku itu. Kekuatan karya sastra dalam kakikaki telanjang justru berada pada pilihan kata sederhana yang mudah dicerna dan pada refleksi verbal yang dihadirkan sebagai sekedar catatan atau gugatan ! / sajak-sajak potret yang terdokumentasikan di dalamnya mampu berbicara faktual tentang realita hidup manusia tanpa hamburan hiperbolisme atau sentimentalisme / inilah sajak-sajak lugas / yang hadir tanpa keributan teori dan lipstik profanisme seni untuk seni.

Ketua YAKP Ki Agus Hazirianjaya alias Ian Sancin mengatakan, kalimat-kalimat itu ditulis sendiri oleh WS, bukan dari penerbit atau ulasan intelektual pengamat sastra. Nah! Betapa WS tidak malu melakukan tindakan kontra intelektual! Dalam sejarah pembacaan saya terhadap buku-buku kumpulan puisi karya tunggal seorang pesajak, baru akhir tahun 2005 saya menemukan kalimat-kalimat provokatif bikinan pesajaknya sendiri (untuk mendongkrak mutu?). Resepsi sastra dan sastra egaliter telah ‘dikangkangi’ WS, padahal WS dan karya-karyanya sama sekali tidak pernah menjadi bahan perbincangan alias tidak dikenal dalam dunia sastra Indonesia mutakhir.

Realitas ini, sepakat atau tidak, berpotensi serius sebagai preseden buruk bagi perkembangan dunia sastra kontemporer di Babel untuk masa-masa akan datang, terutama bagi generasi muda pecinta sastra. Bisa pula diperparah dengan kelangkaan kritik sastra dari kalangan sarjana sastra, guru-guru sastra, kalangan sastrawan yang telah bertahun-tahun menggeluti sastra maupun ‘pembaca biasa’ di Babel. Tidak mustahil, WS dengan jampi-jampi pledoinya akan diikuti oleh WS-WS lainnya sehingga terbit kredo baru “penulis membunuh pembaca” sekaligus ‘merusak’ ranah sastra Babel kontemporer, mirip kerusakan lingkungan akibat agresivitas monster-monster TI.

*******
Kobatin Bangka Tengah, akhir Januari 2006

Tidak ada komentar: