Sabtu, 21 Februari 2009

Pesan Patung Melawan Dalih Lelaki

Dua cerpen yang dimuat Bangka Pos, satu berjudul Tangisan Patung karya YS Budi (16/10), dan satunya lagi Percakapan Laki-laki karya Firman Venayaksa (23/10), mengusik perhatian saya untuk menyimak keduanya. Ada perbedaan yang kentara ketika kedua cerpen tersebut dipertemukan dalam secangkir pengertian saya mengenai cerpen alias cerita pendek.

Setidaknya, dengan adanya pemuatan dua cerpen tersebut saya dapat belajar lebih jauh lagi, dan bertambahlah ilmu sastra saya. Sebab, bagi saya pribadi, tidaklah mudah mengarang fiksi, sekalipun sebatas sebuah cerpen.

A. Cerpen Tangisan Patung

Cerpen ‘surealis’ ini diawali dengan berteduhnya seekor merpati di bawah patung Oemar Bakri yang tegak menjulang tinggi karena (kelihatannya) kelelahan tatkala panas terik matahari. Oemar Bakri, kalau saya tidak keliru, adalah tokoh fiktif dalam lagu balada Guru Oemar Bakri ciptaan Iwan Fals tahun 1980-an, yang mengabdi sebagai guru Ilmu Pasti selama 40 tahun, jujur, berbakti, naik sepeda kumbang ke sekolah, dan telah menciptakan banyak profesor dan menteri, tetapi gajinya seperti dikebiri.

Tiba-tiba kepala merpati kejatuhan satu titik air disusul titik-titik air dari mata patung itu. Selanjutnya terjadi dialog antara merpati dan patung Oemar Bakri. Dari dialog, berubah menjadi monolog (pidato) panjang – nyaris setengah isi cerpen, lalu kembali ke dialog pendek. Selesai. Oh!

Secara pribadi saya mengakui kepandaian YS Budi, kritis, dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Namun, sayangnya, cerpennya tidak mampu bercerita banyak, kecuali berceramah. Saya tidak dapat menikmati cerpen tersebut sebagai sebuah fiksi yang sanggup menerbangkan imajinasi saya ke angkasa sastra yang sarat pesona. Suasana dan setting lokasi sepanjang setetes ‘obat mata’ saja. Selanjutnya alur cerita dijejali oleh ceramah panjang yang melelahkan mata dan pikiran.

Dari kasus tersebut, cerpen tidak utuh lagi menjadi sebuah karya seni sastra. Melainkan nyaris menjadi sebuah esai, artikel opini, atau tulisan Hotline.

C. Cerpen Percakapan Laki-laki

Cerpen ini diawali suatu kondisi yang sedang dialami oleh tokoh lelaki “manusia” dengan suasana di dalam gerbong kereta api (mungkin kereta api antarkota terdekat, yang biasa ditumpangi oleh orang-orang pergi-pulang bekerja).

Keringat mulai membanjir, menganaksungai di tubuhnya, mengucur di wajahnya, meleleh di ketiak dan selangkangan. Bau tubuh orang-orang dengan pelbagai rasa begitu menyilet di hidungnya. Kulit dengan kulit menempel dan lengket. Mata dengan mata saling beradu, dan tubuh dengan tubuh saling tekan-menekan. Tangan-tangan meraih setiap besi yang menjulur di atas, kaki-kaki mencari sepetak tempat agar kokoh kuda-kudanya.

Suatu penjabaran aktivitas, suasana dan setting lokasi yang deskriptif sehingga menggiring imajinasi inderawi saya untuk melihat, membaui, dan merasakannya. Begitu juga dengan beraneka jenis orang, perilaku mereka, dan suasana selama perjalanan berkereta api. Ketika kondisi ‘keringat membanjir, menganaksungai, mengucur’ dan seterusnya dituang kembali dalam paragraf lain, pelayaran imajinasi saya tetap lancar.

Sementara konflik terjadi antara seorang lelaki yang menyadari dirinya sebagai “manusia” dan seorang lelaki yang menyadari dirinya sebagai “kuda hutan”. Dan konflik ini sesungguhnya sebuah konflik dalam diri lelaki “manusia” itu sendiri (“satu jiwa”). “Kuda hutan” adalah sisi lain dari “jiwa manusia”.

Ada suatu pendapat, sisi lain “jiwa manusia” merupakan sosok “kuda hutan” atau “kuda liar” (animal instinct). Pada tokoh “lelaki manusia”, atau barangkali mewakili sebagian laki-laki beristri, tersimpan “jiwa yang liar” ibarat seekor “kuda hutan”. Kelebihan akal membuatnya segera berdalih seraya mengkambinghitamkan keadaan.

Kemudian lelaki “kuda hutan” lenyap. Muncul “lelaki lain”, menegur ulah liar “lelaki manusia”. Sebentar saja, mendadak lenyap (?) ketika kereta berhenti di suatu stasiun. Terakhir muncul “lelaki sangat tua” yang diutus oleh hati nurani “lelaki manusia” sampai tiba-tiba (?) berjumpa sang istri. “Kuda hutan”, “lelaki lain”, dan “lelaki sangat tua” berasal dari dalam diri lelaki “manusia” itu sendiri (satu jiwa).

Di situ tampak kemahiran Aa Firman dalam “menarungkan” tokoh protagonis versus antagonisnya melalui dialog logis-realis bersama alur cerpennya, meski terjadi peralihan alur secara ‘tergesa-gesa’. Apalagi suasana dan setting lokasi dipaparkan dengan cukup memukau. Kereta cerpen pun tetap berada pada rel seni sastra.

D. Pesan dalam Kedua Cerpen

Pada hakekatnya cerpen adalah cerita pendek. Unsur cerita, seperti plot, tokoh, dialog, setting lokasi, suasana, dan lain-lain bersatu dalam sebuah cerita pendek yang utuh. Muatan moral atau pesan melebur dalam cerpen sepenuhnya, walaupun sebagian cerpenis tidak setuju jika cerpen selalu mengusung pesan-pesan moral yang disampaikan secara terang-terangan. Para cerpenis harus lihai mengolahnya, agar pembaca awam tidak tersesat pada pemahaman keliru tentang hakekat sebuah cerita pendek.

Cerpen Tangisan Patung dan cerpen Percakapan Laki-laki sama-sama mengusung sebuah pesan moral, kendati berbeda tujuan maupun cara penyampaian. Cerpen Tangisan Patung menyodorkan pesan moral kepada dunia pendidikan di Indonesia. Sedangkan cerpen Percakapan Laki-laki menyuguhkan pesan moral kepada sebagian kaum laki-laki beristri yang sewaktu-waktu bisa seenaknya mengumbar ‘keliaran jiwa petualangan’ mereka dengan dalih “aku hanya manusia biasa”.

Hal yang paling menarik adalah cara penyampaian pesan moral dalam kedua cerpen itu. Pada cerpen Tangisan Patung, seperti juga cerpen Tuan Premso karya Fery Laskari (21/8), cerpen Babi karya Ichsan Mokoginta (26/9), atau mungkin malah cerpen-cerpen saya sendiri, pesan moral disampaikan oleh Mas Budi secara ‘frontal-brutal’. Akibatnya, cerpen yang seharusnya merupakan cerita pendek, justru tergelincir dalam camuy ceramah pendek, ceracau pendek, cerewet pendek, bahkan cercaan pendek.

Sedangkan pada cerpen Percakapan Laki-laki, Aa Firman tidak membiarkan kereta cerpennya terperosok di jurang pesan moral serba ‘polos-plontos’. Pesan moral diolah dalam suatu keutuhan cerita pendek melalui dialog serta dalih logis-realis, diselingi dengan deskripsi situasi dan setting lokasi yang membaur dalam alurnya. Alhasil, cerpen tersebut tetap gurih-renyah dikunyah sebagai sebuah cerita pendek. Nyam-nyam, sedap nian!

***

Sungailiat, Oktober 2005

Tidak ada komentar: