Sabtu, 21 Februari 2009

Saad Toyib, Seniman dan Sang Teman Tapi Mesra

Cerpen Ketika Harus Memilih (KHM) karya Saad Toyib (22/1/2006) menampilkan cerita perjuangan seorang laki-laki dalam memilih satu di antara dua kenyataan hidup: kepala (suami/bapak) rumah tangga ataukah kepala (seniman) rumah seni (sanggar) alias karier dalam bidang kesenian. Tidak jelas apa profesi formal laki-laki itu, tetapi ada sebuah ‘tema’ yang menggelitik syaraf iseng saya.

Percintaan antara sang beliau dengan si belia, sang ketua dengan anak buah, sang kepala dengan si bawahan, sang pelukis atau fotografer dengan si model, sang sah dengan si lain, dan sejenis itu atau istilah trendnya TTM alias Teman Tapi Mesra, memang bukan hal yang sekadar goyang lidah di seputar mulut, percik ludah di pinggir bibir, gemuruh gosip di liang telinga, huruf mati di bola mata, atau gambar hidup di layar otak. Saya pun teringat pada judul cerpen karya Agus Noor, Selingkuh Itu Indah.


A. Kelebihan dan Kekurangan

Barangkali ada sebagian dari pembaca yang berprasangka, “Pasti ngritik lagi. Pasti njelek-njelekin lagi. Kayak nggak ada kerjaan selain njelek-njelekin karya orang!” Yang satunya bilang, “Mau jadi pengganti H.B. Jassin, ‘kali.” Yang lainnya berkomentar. “Ah, dasar pemimpi siang bolong mirip singa ompong makan ikan asin!”

Tidak apa-apa. Bebas. Paling tidak, saya berpegang pada resepsi sastra, yang salah satunya berisi: pembaca sastra terdiri atas dua kategori, yaitu 1) pembaca biasa, yang membaca karya sastra sebagai ‘hiburan’, bukan sebagai bahan penelitian, dan 2) pembaca ideal, yang membaca untuk penelitian/pembahasan. Juga ada pembaca eksplisit, yakni pembaca yang dituju oleh sebuah karya sastra, baik yang disebutkan secara langsung maupun tidak dalam teks sastra, yang dalam cerpen KHM, mungkin, rekan-rekan di Beltim.

Saya termasuk kategori pertama, pembaca biasa. Tidak usah repot-repot menuduh saya sebagai pembaca ideal sebab pembaca ideal itu biasanya sarjana sastra atau pakar sastra. Saya bukan sarjana sastra atau ahli sastra gitu lho. Maka saya pun berpendapat. Begini. Alur cerpen KHM sudah cukup baik bila dibanding cerpen-cerpen saya yang berkali-kali gagal. Konflik meyakinkan, yakni konflik sosio-psikologis : pilihan hidup seorang seniman Sobri, antara kepentingan rumah tangga yang sangat diharapkan oleh istri serta tiga anaknya, ataukah kepentingan karier (sebagai seniman) yang sangat diharapkan oleh pejabat setempat, sesama seniman, anak-anak asuh di sebuah sanggar seni, hingga kualitas kreasi seninya (lagu-lagu daerah) di masyarakat luar daerah. Realita dan idealisme; apakah keduanya menjadi rival, ataukah mitra mutualis.

Menjadi seniman daerah yang jauh dari hiruk-pikuk kota besar, tentu saja suatu pilihan hidup yang ‘tidak main-main’. Persoalan apresiasi masyarakat dan penguasa lokal berhadapan pula dengan persoalan pasar, jaminan materi, kebutuhan keluarga, kebutuhan diri sendiri (untuk mengembangkan diri), apalagi tidak ada pesangon atau gaji pensiun bila seniman sudah tua karena seniman bukan suatu profesi formal seperti pegawai negeri atau karyawan suatu perusahaan swasta. Seniman bukan saudagar, meskipun seorang saudagar dapat menggunakan ‘seni berdagang’. Terkecuali seniman yang datang dari suatu ‘kota paham seni’, memiliki ‘nama besar’, lalu memanfaatkan nama dan/atau rekan-rekan di daerah terpencil sebagai bagian dari ‘bargaining position’ dalam proposal ‘akal-akalan’ kepada instansi pemerintah daerah, instansi BUMN, perusahaan besar swasta, dan lain-lain yang bertujuan hanya untuk meraup keuntungan materi bagi diri sendiri. Itu seniman dari singkatan ‘senang nipu teman’. Itu jelas bukan Sobri, tokoh utama cerpen KHM.

Berikutnya, konsekuensi atas sebuah pilihan yang dilakukan Sobri dengan serius, tekun, tabah, dan mutu, yaitu karier menanjak, pujian membukit, simpati seorang gadis belia (seusia anak gadisnya) melangit, getar-getar asmara (puber kedua?) mengangkasa, dan bayang-bayang keretakan rumah tangga membumi. Konflik tidak ‘dieksploitasi’ secara hiperbolis, misalnya kepergok, cekcok, ataupun adegan bacok. Selain itu, ada sebuah frasa yang asyik, bulan tanpa bintang. Bukan lagi malam tanpa bintang. Aih!

Akhir cerpen yang terbuka, memperlihatkan bahwa penulis sengaja membiarkan saya membayangkan sendiri bagaimana kira-kira penutupnya : rumah tangganya begini atau hubungan Sobri–gadis itu begitu. Artinya, penulis meletakkan pembaca (= saya) sebagai orang yang telah dewasa, yang bisa mencari solusi alternatif ataupun sama sekali tidak mencari solusi apa-apa kecuali menghibur diri sewaktu membaca cerpen KHM.


B. Fiksi atau Fakta?

Apakah cerpen KHM merupakan realita? Sebuah sajian fiksi sangat mungkin berangkat dari suatu bahan fakta (realita) yang telah dimasak serta dibumbui ini-itu. Seno Gumira pernah berkredo, “Ketika jusrnalisme dibungkam, sastra berbicara.” Ketika fakta dipasung, fiksi naik panggung. Sebab, berita bisa berisi dusta (rekayasa), fiksi bisa merupakan fakta. Lalu dilanjutkan oleh Radhar Panca Dahana, “Dusta dan kebenaran ada dalam sastra.” Sepakat atau tidaknya saya terhadap kredo mereka, realita dalam fiksi bisa bercampur dusta dalam fakta, atau campur-baur tetek-bengek lain-lainnya. Begitulah kira-kira realita sastra, baik puisi maupun prosa (fiksi).

Nah, apakah cerpen KHM sebenarnya sebuah realita? Saya tidak tahu. Saya bukan Saad, bukan Sobri, bahkan bukan siapa-siapa selain seorang pembaca biasa belaka. Saya hanya menikmati cerpen tersebut sebagaimana pembaca awam tanpa susah-payah mencurigai isinya mengandung ‘formalin’ atau tidak. Gitu aja kok repot, kata Gus Dur.

Ya, gitu aja kok repot. Saya kembalikan kepada realita fiksi (cerpen) yang diciptakan oleh Saad Toyib – seorang kepala rumah tangga yang lahir di Delas (bukan Dallas Amerika sana, atau Dallas, nama sebuah toko sepatu di Jogja), 13 Mei 1949, pensiunan guru SD dan kepala Perpustakaan Umum Kota Pangkalpinang – tersebut.


C. Moral

Welah, ujug-ujug kok ngomong soal moral atau moralitas to? Saya bukan pakar moral apalagi ahli agama. Saya bukan siapa-siapa selain (sekali lagi) seorang pembaca biasa. Namun menurut seutas wawasan saya, justru tidak sedikit orang yang memahami moral sampai sumsum tulang ekor ternyata suka lirak-lirik lawan jenis selain pasangan sahnya. Atau lebih aman dengan menikah ‘diam-diam’ tapi kemudian ramai-ramai dipergunjingkan sampai pada berita perceraiannya. Memang lucu ketika harus memilih antara selingkuh (TTM), menikah lagi secara ‘sembunyi-sembunyi’, atau ‘sok bermoral’.

Mungkin sebagian pembaca akan bertanya, “Kamu mendukung perselingkuhan?” Waduh, saya belum pernah menikah sehingga persoalan selingkuh jelas jauh di luar jangkauan pengertian saya. Atau masih penasaran, “Bagaimana kalau orangtuamu berselingkuh?” Orangtua saya sudah tua (umur 60 tahun lebih) sehingga saya tidak perlu menanggapi. “Bagaimana kalau ipar-iparmu berselingkuh?” Oh! Mereka sudah dewasa dan tidak buta huruf-buta berita, pasti mereka lebih mampu menghayati kenyataan hidup. Tidak baik mencampuri urusan rumah tangga orang lain karena urusan saya saja sudah bikin kelabakan bahkan kepala botak. Saya tidak usah susah-susah berpura-pura jadi pahlawan kesiangan atau duplikat malaikat. Lalu apa lagi? Carikan obat penyubur rambut yang manjur.

Persoalan selingkuh, entah indah ataupun sengsara, tanyakan saja pada orang-orang yang pernah (gemar) berselingkuh atau menikah ‘diam-diam’ (tidak tercium oleh suami/istri sahnya bahkan publik). Yang penting, cerpen KHM sudah sesuai kodrat : cerita pendek, bukan ceramah pendek, cercaan pendek, atau ceracau pendek.

Penulisnya, Saad, meskipun telah berusia 57 tahun dan seorang mantan guru, tampaknya tidak mengalami semacam ‘post power syndrome’- neofeodalism dalam wujud dialog tokoh (penyambung ‘moncong’ sastrawan ‘sok moralis’) yang sarat nasehat, khotbah, ceramah, wejangan, petuah, ‘menggurui’, dan sejenisnya mengenai hubungan Sobri dengan ‘perempuan lain’. Cerita dibiarkan berjalan begitu saja. Contoh ‘seni untuk seni’. Cerpen untuk cerpen. Tidak tercampur orasi moral, apalagi pura-pura jadi malaikat pembawa Sabda Sang Mahamoral. Nilai-nilai edukatif tidak dipaparkan secara ‘sok guru’. Pembaca ‘didewasakan’ untuk mencari ataupun tidak mencari nilai-nilai edukasi yang tersirat. Minimal, edukasi bahwa cerpen adalah cerita pendek, bukan ceramah pendek.


D. Harapan

Secara pribadi saya mengakui, Saad, yang mulai menulis cerpen sejak tahun 2003 dan cerpen KHM adalah cerpen ke-10, memiliki potensi positif untuk menciptakan cerpen-cerpen yang lebih bagus lagi. Gaya bahasa yang terkesan tempo doeloe, bukanlah persoalan yang patut dirisaukan. Apalagi jika mengingat usia penulis, bahan-bahan bacaan, dan perjalanan proses kepenulisan fiksi Saad, tentunya saya bisa maklumi. Hanya persoalan teknis, dan sangat bisa dibenahi. Barangkali justru itulah ‘kekhasan’ cerpen-cerpen Saad.

Tapi sayangnya baru saat-saat sekarang Saad bisa unjuk karya (fiksi), meramaikan dunia sastra Babel. Bisa jadi lantaran ketika harus memilih, sehingga setelah pensiun formal Saad memiliki banyak waktu untuk tekun berkarya, total bersastra, baik lisan maupun tulisan. Apabila semangat belajar dan berlatih tetap terjaga, termasuk pengayaan tema maupun pengolahan teknis tadi, insyaAllah Saad bisa menyusul cerpenis-cerpenis muda Babel yang kreatif-inovatif-eksperimentatif. Paling saya salut, sejak setahun ini saya bergaul dengan para sastrawan Babel, cuma Atok Saad Toyib yang kawa nyusah menulis cerpen!

******
Sri Pemandang Pucuk Sungailiat, Maret 2006

Tidak ada komentar: