Sabtu, 21 Februari 2009

Sepintas Baca Buku Sastra Bangka Belitung Bercahaya dalam Pantun dan Puisi

Tahun 2005 geliat sastra literer Bangka Belitung dipungkasi oleh buku Bangka Belitung Bercahaya dalam Pantun & Puisi yang diterbitkan atas kerjasama PT PLN Wilayah Bangka Belitung dengan Dewan Kesenian Kota Pangkalpinang dan Yayasan Nusantara. Dana sepenuhnya berasal dari PT PLN. Ada sambutan dari orang nomor satu di provinsi ini, Gubernur H.A. Hudarni Rani. Kemudian dari Walikota Pangkalpinang, H. Zulkarnain Karim, dan General Manager PT PLN Wilayah Bangka Belitung, Karel Sampe Pajung.

Sementara pada pengantar editor, ditulis oleh LK Ara. Bersama Suhaimi Sulaiman – budayawan Babel, LK Ara sudah menjadi editor penerbitan beberapa buku sastra di Babel sejak tahun 2003. Ara pernah menjadi bekerja hingga pensiun di Penerbit Balai Pustaka Jakarta (1963 – 1985). Menulis puisi, cerita anak, dan artikel seni dan sastra, yang telah dipublikasikan oleh banyak media cetak Indonesia. Karya-karyanya telah dibukukan, lebih dari sepuluh buku sastra, serta namanya bergema hingga luar negeri. Suatu perjalanan karier yang sangat gemilang, tentunya.

Jauh minggu sebelumnya, pengumpulan karya diumumkan di media massa lokal (Bangka Pos, 31/10/2005). Dalam promosi tersebut Willy Siswanto berkata, “Saya yakin, teman-teman saya di Dewan Kesenian Kota Pangkalpinang dan Yayasan Nusantara, lebih tahu apa yang akan mereka lakukan. Mereka tidak mungkin berniat membentuk penyair secara instant. Saya percaya, rencana penerbitan buku Babel dalam Puisi dan Pantun itu lebih diarahkan untuk mengakomodir karya-karya yang memang bermutu dan layak dibukukan, bukan proyek asal jadi.”


A. Hasil Tidak Sepadan dan Isi Belepotan

Kemewahan sambutan, pengantar editor dari sastrawan senior nasional, banyaknya karya, mungkin didukung oleh dana sepenuhnya oleh PT PLN, ternyata tidak diimbangi dengan hasil sepadan, bahkan penerbitan buku tersebut terkesan acak-acakan, kacau balau, semrawut, dan sejenisnya. Willy Siswanto pun kecele meski sebenarnya dia justru meragukan buku tersebut lebih diarahkan untuk mengakomodir karya-karya yang memang bermutu dan layak dibukukan, bukan proyek asal jadi.

Betapa tidak. Karya-karya yang tampil sangat belepotan, baik mutu (sebagai puisi), kata (sebagai bahasa) maupun penataannya (sebagai layaknya buku). Baru membuka tiga lembar, belepotannya sudah kelihatan nyata sekali. Ada judul Sastra di Babel Belum Mati (hal.v). Menyambut HUT ke-5 Prop Kepulauan Babel akan Terbit Buku. “Bangka Belitung dlm Pantun & Puisi”. Menurut LK Ara editor buku tersebut persiapan isi sudah hampir rampung. Halam puisi diisi karya penyair kenamaan Babel seperti,… (Walikota Pangkalpiang). Ketidakbakuan kalimat-kalimat itu sebenarnya sangat mengganggu, ditambah kesalahan kata Walikota Pangkalpiang, serta ketidakjelasan informasi tentang asal-muasal atau sebab-musabab munculnya tulisan itu.

Kriteria puisi pun menjadi kacau. Contohnya puisi Toboali di Ujung Selatan Bangka karya Tarmizi Jemain (hal.136). Kota Nenas julukan untuk kota Toboali / Nenasnya manis sekali / Berbeda dengan nenas-nenas dari daerah lainnya / Barangkali karena kondisi tanahnya / Dan iklimnya agak berbeda dengan daerah lainnya. Ini puisi atau berita?

Berikutnya puisi Senandung Anak-anak Kecil karya A. Zinwar bin Dahlan (hal. 28), diulang pada puisi serupa (hal.29). Lucunya lagi akhir puisi ini, Marilah .... Kita benahi segera kepedulian kita / Dalam memperbaiki kondisi alam lingkungan kita yang mulai rapuh / Sumber Air, sungai, lereng bukit, cagar alam / dan seterusnya. Ini puisi atau himbauan?

Ataupun puisi Batu Satam karya Saderi (hal.125), Batu satam hitam batu mulia / ‘Satam’ dari bahasa orang cina / ‘Sa’ berarti tanah / ‘Tam’ artinya empedu / Satam berarti “empedu tanah”. Ini puisi atau definisi?

Penyair Medy Loekito (2004) mengatakan, apa pun bentuk sebuah puisi, baik yang ditulis dalam bentuk free verse ataupun blank verse, tetap harus diperhatikan bahwa puisi memiliki karakter dan kaidah tertentu. Karakter inilah yang membuat puisi menjadi suatu karya yang unik karena tidak dimiliki oleh karya tulis jenis yang lain, seperti cerpen, novel atau esai.

Ketiga contoh puisi di atas cukup menunjukkan ketidakseriusan editor melakukan tugas utamanya, yakni sebagai penyeleksi karya (puisi) sebelum nantinya dinyatakan layak dibukukan. Padahal, umpama sebuah lukisan, polesan semrawut penuh warna dari tangan, kaki, dan pantat seorang balita tidak lantas membuat hasil polesannya layak diproklamirkan sebagai ‘lukisan abstrak’ atau malah ‘advantgarde’.

Tidak jelas pertimbangan apa yang dipakai oleh editor untuk memilih puisi-puisi bermutu untuk layak dibukukan tersebut. Padahal Willy telah mengingatkan, seorang penyair tidak akan pernah bisa dibentuk secara instant; seorang penyair lahir dari proses yang panjang dan ditempa dengan berbagai pengalaman dan diskusi (31/10/2005). Atau dengan kalimat lain, seorang editor tidak akan pernah bisa dibentuk secara instant; seorang editor lahir dari proses yang panjang dan ditempa dengan berbagai pengalaman dan diskusi. Buku tersebut, maaf kata, merupakan sebuah ironi elegis-tragis atas profesi editor buku sastra!

Yang tak kalah ironisnya, penerbit sama sekali tidak memperhatikan kembali hal-hal paling sepele sebelum menyerahkan kumpulan karya untuk dicetak. Beberapa penerbit, baik lokal (semisal di Jogja) maupun nasional, biasanya mempunyai seorang penyunting, penyelia akhir atau pemeriksa aksara. Salah satu fungsinya adalah untuk memeriksa kembali huruf demi huruf, kata demi kata, dan kalimat demi kalimat. Meski tampak sepele, justru itu dapat menunjang kualitas karya (puisi) dan buku terbitan mereka, serta kredibilitas-bonafiditas-profesionalitas nama penerbit!

Penerbit cap apa jika karya-karya yang akan dibukukan itu ternyata tidak diperiksa kembali ada-tiadanya kesalahan aksara. Masak untuk buku sastra, apalagi puisi, justru terjadi lebih dari 20 kata kesalahan aksara (bukan karena licentia poetica)? Buktinya: lambayan, berhendus, kibawan, keusadahannya, peluikan, tidfak, bersarmu, memabulkan, melam, membantuk, zaintun, lemai gemulai, dihadpan, terbanyang, pantan, keramain, dsan, Bak, dianatara, berebenteng, begandeng, menyujukkan, sebuaah, maatkaan, listik, menghilangl, mesyarakat, ibadsah, atukah, kehadiranmua, yanmg, daiajak, katankan, dan lain-lain.

Bagi seorang penyair, penggunaan setiap huruf, tanda baca, kata, kalimat, baris atau bait adalah amat sangat penting. Maka wajar kalau Sastrawan Sunlie Thomas Alexander sempat sewot berat atas kesalahan kata dalam puisinya. Contohnya umpri (puisi Jaring). Semula puisi tersebut tertuju (khusus/istimewa) untuk umi, tapi meleset kepada umpri. Bagaimana kalau sang editor menulis puisi untuk Ibu tapi yang tertulis untuk Ibnu (letak huruf b dan n pada keyboard memang berdekatan)? Juga bagai tiang listyrik dipukul di jauh (puisi Elegi Januari), bisa-bisa Sunlie dianggap gagap menulis kata listrik. Selanjutnya kata memmabokkan, merober, dan rasaul, yang merusak keindahan puisi-puisinya sekaligus nama seorang Sunlie.

Bukan cuma merusak keindahan puisi, melainkan juga sedikit kesalahan aksara bisa menyesatkan makna. Contohnya dalam Daftar Isi, pada puisi karya Rosa Lestari. Kata Nanggung (hal.xiii) jelas berbeda arti dengan kata Nganggung (judul puisi hal.114). Juga pada puisi Dari Sisi Barat, Wajahmu Sepintu Sedulang karya Mayasin (hal.104). Bumi adalah bumi Ayu, bumi Anggun, lugu, bumi yang menanti janji hati anak pertiwi untuk mempersolek diri.

Kata Ayu dan Anggun seakan merupakan nama. Sedangkan lugu memperlihatkan kata sifat/keadaan. Pemakaiannya dalam satu baris tidak relevan lagi. Kalau memang maksud penulisnya (mungkin aslinya) adalah ayu dan anggun, jelas maknanya buyar pada Ayu dan Anggun begitu, termasuk kata tanya menjadi Tanya, Sungai Rangkui menjadi Sunagi Rangkui, Nyato (sejenis kayu) menjadi Nyatop, dan Chairil Anwar menjadi Khairil Anwar pada puisi-puisi lainnya. Yang lebih parah terdapat pada puisi Lagu Duka karya Djamaliah Syaiful, “Kambali aku kabalik debu”. Apakah memang penulisnya sengaja menuliskan seperti itu (mungkin licentia poetica) demi efek estetika puitik tertentu seperti keinginannya?

Kesalahan lainnya terdapat pada kata bamboo dalam puisi Kau yang Dilupakan karya Rusli Rachman (hal.117). Maksud Rusli adalah kata bambu, namun yang muncul malah dalam bahasa Inggrisnya, bamboo. Sepintas hal tersebut wajar karena penerbit tidak melakukan perpindahan bahasa pada setting software komputer. Seperti juga kata dating, saying, angina, katakana, Cuma, dan sebagainya.

Editor senior seperti Ara dan penerbit seharusnya menyadari sepenuhnya (baca: di luar kepala), penggunaan huruf ataupun tanda baca dalam puisi merupakan sesuatu yang sangat penting (semacam licentia poetica) bagi seorang penyair. Kelalaian penerbit pada kesalahan pengetikan ulang bisa berarti tidak menghargai si pemuisi (penyair). Oleh karenanya, sebuah penerbit yang bermutu tinggi tidak akan semaunya sendiri dalam menerbitkan buku puisi. Mereka memiliki bagian-bagian khusus untuk menangani sebuah cikal-bakal buku puisi. Sementara pemakaian kata campur-aduk dalam bahasa Indonesia atau Inggris (akibat kecerobohan penerbit!) tanpa argumentasi yang logis-cerdas, bisa menggembosi kualitas puisi itu sendiri. Di sinilah kualitas dan peran utama editor, dan penguasaan bahasa-sastra penerbit sungguh-sungguh patut dipertanyakan!

Kesalahan pengetikan ulang tidak patut dijadikan alasan mutlak dan satu-satunya. Beberapa karya sudah tidak perlu lagi ‘diketik ulang’ oleh penerbit karena ada penyair dan calon penyair yang mengirimkan karya-karyanya dalam disket. Itu pun sesuai dengan undangan Ara via Bangka Pos (23/10/2005). Misalnya beberapa puisi karya DN Kelana. Toh masih juga ada kesalahan sepele, contohnya terada di dalam ibukota (puisi Sumur Tujuh Tua), emua (puisi Jika Hidup Tak Bermakna), menumju (puisi Sebelum Mayat Terkubur).

Atau juga penulis memberikan disket (sesuai permintaan Ara) berisi naskah beserta biodata penulis, selain cetakan (print out). Tetapi biodata penulis yang dipakai penerbit tidak sesuai dengan biodata baru (karena ada karya pantun juga) yang penulis siapkan dalam disket. Malah yang dipakai oleh penerbit adalah biodata usang (untuk buku Kelekak). Demikian pula dengan beberapa puisi karya Didi, yang ternyata dimuat hanya biodatanya, tanpa secuil pun karyanya (akan diberi honor berapakah jika beberapa sastrawan telah menerima honor sebesar Rp. 60.000,- karena pemuatan karya dalam buku tersebut?).


B. Tata Artistik Isi Acak-acakan

Berdasarkan perjalanan pembacaan penulis pada beberapa buku, khususnya kumpulan puisi, penerbit-penerbit berpengalaman sering kali menampilkan posisi penata letak atau penata teks, penata isi, tata artistik isi, atau desain isi dalam halaman redaksi penerbitan. Hal ini tentu saja dimaksudkan agar isi dapat tertata secara baik dan rapi demi menjaga kualitas karya sastrawan, kualitas buku sekaligus kualitas (nama baik) penerbit.

Namun penataan isi buku tersebut tampak acak-acakan, dan kualitas kinerja penerbit sudah, maaf, berantakan! Sepertinya orang-orang yang bekerja di situ sama sekali buta buku kumpulan puisi! Contohnya Sastra di Babel Belum Mati (hal.v). Kedudukan tulisan tersebut tidak jelas sebagai apa, kata siapa, untuk apa, dan dari mana sumbernya. Kalau dikatakan sebagai bagian dari Kata Pengantar, jelas janggal. Kalau dianggap sebagai bagian dari kronologi penerbitan, mengapa tidak ada keterangan apa-apa untuk menempatkan tulisan pada halaman tersebut. Bagaimana bisa penerbit sembarang main comot lalu diletakkan di sana!

Sementara dalam Daftar Isi (hal.xiv) dan Biodata Penulis (hal.149) terdapat nama Didi – kuli bangunan yang mengagumi karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Tetapi naas, karya-karyanya (pantun ataupun puisi) sama sekali tidak terdapat dalam buku tersebut. Naasnya lagi, urutan nama Didi tiba-tiba menyempil di abjad W dalam Biodata Penulis. Penerbit apa ini?

Contohnya lainnya, Pantun Percintaan dan Pantun Nasehat karya Thamrin Umbara (hal.23 – 24), puisi Senandung Anak-anak Kecil karya A. Ziwar bin Dahlan (hal.28 – 29), puisi-puisi karya Ahmad Daud (hal.39 – 42), puisi-puisi karya Amiruddin Dja’far (hal.44 – 49), dan seterusnya. Berdasarkan pembacaan pada beberapa buku kumpulan puisi, baru kali ini penulis menemukan buku pasca millennium yang isinya ditata secara tumpang-tindih. Padahal untuk puisi-puisi mbeling/nakal karya Remy Sylado (2004) saja, tidak ada satu pun penataan letak bertumpang-tindih begitu.

Banyaknya puisi yang masuk ke meja redaksi, sewajibnya pula editor mampu menyeleksi kualitas tiap-tiap puisi. Cermati baik-baik, layak atau tidaknya semua karya (puisi) ditampilkan. Puisi-puisi yang akan dibukukan jelas bukan dari murid-murid TK Kasih Ibu. Penerbit bermutu tinggi tidak akan memakai editor yang asal-asalan sebab puisi bukan sekadar susunan huruf seharga lima sampai enam puluh ribu rupiah. Kalau memang editornya tidak mampu menjalani tugas dengan baik, ya jangan terima tugas tersebut. Penerbit seharusnya berani menggantikan editor macam itu, daripada hasil kerja malah berantakan begitu. Terkecuali editornya merangkap konseptor, kontraktor (penerbit), kolektor, kontributor, dept collector, dan sebagainya. Kalau sudah serba merangkap begini, sastra hanya alat untuk memperkaya diri. Ini jelas-jelas celaka sebelas!


C. Alasan atau Lempar Batu Sembunyi Tangan

Karya (pantun dan puisi) penulis juga dimuat dalam buku tersebut. Alangkah kecewanya penulis ketika melihat hasil kerja editor dan penerbit setelah penulis menerima buku tersebut dari rekan sesama sastrawan Babel, DN Kelana. Tanpa bisa mengendalikan rasa kecewa dan mendiamkan kekacaubalauan itu penulis segera mengirim SMS ke ponsel LK Ara (02.01.2006, 19:40), juga ke ponsel Sunlie Thomas Alexander dan Willy Siswanto, “Pak Ara, buku babel bercahaya itu isinya kacau balau. Mengenaskan. Aku sangat malu ngirim buku itu ke Medy Loekito dan Sihar Ramses Simatupang.”

Lantas jawaban Ara (02.01.2006, 19:46), “Ya gara2 or PLN ngambil kita di tengah jalan.” Waduh! Hasil kerja belepotan begitu bukan semata-mata persoalan ‘ngambil di tengah jalan’ oleh orang-orang dari PT PLN, melainkan bagaimana kinerja dan kualitas tim penerbit (kerja tim!), termasuk editornya. Apakah penerbit memang profesional, ataukah sebenarnya semata-mata ‘profit oriented’ atas nama proyek budaya. Editor kelas apa jika hasilnya belepotan begitu? Penerbit kelas apa kalau memakai editor ngawur?

Sekitar satu minggu sebelum undangan bagi para penyair Babel mengirimkan karyanya karena ‘akan terbit buku Bangka Belitung dalam Pantun dan Puisi’ (Bangka Pos, 31/10/2005), penulis menulis semacam kritik terhadap buku Kumpulan Cerita Pendek Stannium Comp 2250 karya Willy Siswanto (23/10/2005) mengenai hal sepele pada ‘kesalahan aksara’ dan ‘kualitas karya’ sesuai dengan tugas editor, seorang pemeriksa aksara, dan penerbit (tim kerja).

Apakah tidak ada satu pun anggota tim penerbit (tiga institusi!) yang membaca tulisan itu dulu? Siapa sajakah sesungguhnya yang ditunjuk untuk memilih, memeriksa kembali, dan memutuskan karya untuk ‘layak gabung’ dalam buku tersebut? Bukankah itu sebenarnya tugas seorang editor? Siapa sajakah yang berada dalam proses editing dan pemeriksaan aksara? Bagaimana profesionalitas penerbit? Apakah penerbit sungguh-sungguh sanggup menghargai sepucuk puisi? Mengapa jawaban Ara seolah ‘lempar batu sembunyi tangan’?


D. Tanggapan Akhir

Dalam perjalanan pembacaan buku-buku sastra (kumpulan puisi) nasional, baru kali ini penulis membaca buku sastra (kumpulan puisi) yang kacau-balau begini! Penerbitan buku Bangka Belitung Bercahaya dalam Pantun dan Puisi dikerjakan oleh orang-orang tidak profesional. Editor bekerja secara asal-asalan dan acak-acakan, dan penerbit hanya berpikir soal ‘proyek’, bukan profesionalisme dalam batas-batas kewajaran sebuah penerbitan buku sastra nasional!

Kesan yang sangat mungkin, pertama, sepertinya para sastrawan, editor, dan penerbit buku sastra di Babel cuma mampu berkarya dalam kandang sendiri, puas sendiri, dan bangga sendiri. Kedua, penerbitan buku sastra sekadar menghambur-hamburkan dana, buta kualitas sastra, sangat tidak paham bahwa menerbitkan buku sastra (puisi) adalah suatu kegiatan serius alias tidak ugal-ugalan dan berantakan semacam itu. Ketiga, editor dan penerbit bekerja secara tidak profesional. Keempat, penerbit tidak sungguh-sungguh (hanya lips service) ingin memajukan sastra Babel serta memperkenalkannya secara serius kepada kalangan pecinta sastra di luar Babel.

Akhirnya, dengan penuh keharuan penulis menutup tulisan ini, sastra literer di Babel tahun 2005 dipungkasi oleh penerbitan buku sastra yang sangat tidak membanggakan jika disandingkan dengan buku-buku sejenis di hadapan para pembaca buku sastra nasional! Dan untuk tahun 2006 serta tahun-tahun ke depan, seandainya penerbitan buku sastra masih saja dikelola oleh orang-orang yang sungguh-sungguh tidak profesional semacam itu, niscaya akan menodai perkembangan sastra literer di Bumi Serumpun Sebalai tercinta ini.

*******

Kobatin Bangka Tengah, 8 Januari 2006

Tidak ada komentar: