Sabtu, 21 Februari 2009

LK Ara dan Proyek-proyek Penerbitan Buku Sastra di Bangka Belitung

Tahun 2005 penerbitan buku kumpulan sastra begitu marak di Bangka Belitung (Babel), yang dimotori oleh LK Ara (LKA) dan Penerbit Yayasan Nusantara Jakarta (YNJ). Contohnya, Bunga Rampai Bangka Barat (bekerjasama dengan Pemkab Bangka Barat, Januari), Antologi Puisi Lingkungan Hidup Kelekak (bekerjasama dengan Dewan Kesenian Kota Pangkalpinang, Juni), Antologi Pantun Melayu Bangka Pucuk Pauh (bekerjasama dengan Pemkab Bangka Induk, Desember), dan Bangka Belitung Bercahaya dalam Pantun dan Puisi (bekerjasama dengan PLN Babel dan Dewan Kesenian Kota Pangkalpinang, Desember), dan lain-lain.

Terkecuali Pelangi Budaya Bangka Tengah (pemkab Bangka Tengah, Desember) yang luput dari ‘proyek’ LKA bersama YNJ karena orang-orang Dinas Kebudayaan Bangka Tengah telah mengetahui ‘siapa sesungguhnya kontraktor nakal’ dalam penerbitan buku-buku sastra di Babel akhir-akhir ini.

A. Siapa LK Ara ?
Menurut buku Pangkalpinang Berpantun (DK Pangkalpinang dan Yayasan Nusantara, 2004) pada hal.128-129, LKA lahir di Takengon, Aceh Tengah, 12 November 1937. Pernah menjadi redaktur budaya Harian Mimbar Umum (Medan), guru SMP Sinar Kemajuan (Jakarta), pegawai secretariat Negara, dan terakhir di Balai Pustaka hingga pension (1963-1985).

Karya sastranya bertaburan di media massa dan buku sastra. Juga pernah menjadi peserta Kongres Bahasa Melayu Sedunia di Kuala Lumpur (1995), PSN IX di Kayutaman, Sumatera Barat (1997), dan Pertemuan Dunia Melayu Dunia Islam di Pangkalpinang (2003).

Dan menurut kisah seorang rekan di Pangkalpinang, sejak pertemuan DMDI di Pangkalpinang itulah LKA berkiprah di Babel.


B. Penggadaian Reputasi

Kesemarakan penerbitan buku sastra di Babel sepintas berhasil mereduksi kemandulan dunia sastra, termasuk buku sastra, di Babel pasca Komunitas Pekerja Sastra Pulau Bangka (KPSPB) tenggelam dalam samudera persoalan personal. Akan tetapi, sesungguhnya, ‘proyek-proyek’ bernilai puluhan juta rupiah tersebut bukan merupakan usaha yang berlandaskan itikad tulus - edukatif untuk mencerdaskan kehidupan bersastra dan berkarya bagi generasi muda peminat sastra di Babel. Sebab, selama kiprahnya di Babel sejak tahun 2003 hingga tulisan ini berakhir pada Februari 2006, sama sekali tidak terdengar aksinya dalam pembinaan atau semacam memberi pembelajaran menulis karya sastra, diskusi karya, bedah karya, dan lain-lain, yang benar-benar merupakan kegiatan edukatif yang tidak melulu bermuara di angka-angka rupiah.

Perekrutan karya secara massal melalui media massa lokal maupun mulut sastrawan-sastrawan lokal tidak dilanjutkan dengan proses seleksi yang logis dan kualified. Karya-karya sastra yang masuk dan dimuat tidak melalui jalur seleksi semestinya. Peran Editor LKA lebih mendominasi kegiatan ‘proyek’ dibanding budayawan sekaligus pemangku adat Babel, Editor Suhaimi Sulaiman. Tidak jelas, LKA sebagai editor, koordinator, bendahara atau ‘penagih uang’.

Pertama, puisi ‘bebas tayang’. Contoh di antaranya Utak-Atik Angka Koran dalam Bunga Rampai Bangka Barat (hal.67). Puisi yang ditujukan untuk : penjual koran dan ditulis di Sungailiat (Bangka Induk) 5 Agustus 2003 itu sama sekali tidak mencerminkan hal-hal yang bercitra Bangka Barat. Juga puisi Tak Kusangka, Sia-sia, Pesona, dan lain-lain. Bukan cuma isinya yang bebas, para kreator pun tidak berasal dari (tinggal di) daerah setempat (Bangka Barat). Yang tak kalah hebohnya, ada puisi karya Taufik Ismail dan Isbedy Stiawan dalam Kelekak.

Kedua, ‘puisi definisi’. Contohnya, puisi Toboali di Ujung Selatan Bangka karya Tarmizi Jemain (hal.136). Kota Nenas julukan untuk kota Toboali / Nenasnya manis sekali / Berbeda dengan nenas-nenas dari daerah lainnya / Barangkali karena kondisi tanahnya / Dan iklimnya agak berbeda dengan daerah lainnya. Ataupun puisi Batu Satam. Batu satam hitam batu mulia / ‘Satam’ dari bahasa orang cina / ‘Sa’ berarti tanah / ‘Tam’ artinya empedu / Satam berarti “empedu tanah”.

Ketiga, kemiripan isi. Contohnya puisi Igauan Punai dan puisi Luka Membahana karya seorang pemuisi di halaman 1-5. Bahkan dalam Bangka Belitung Bercahaya dalam Pantun dan Puisi terdapat dua puisi dengan pemuisi yang sama, yakni puisi Senandung Anak-anak Kecil karya A. Zinwar bin Dahlan di halaman 28 dan 29.

Kemiripan isi terjadi pula dalam buku yang berbeda. Mengapa kemiripan bisa terjadi? Sementara kelihatannya lumrah ada kesamaan puisi karya A dalam dua buku berbeda. Namun, salah seorang mengungkapkan, karyanya dimuat di buku lainnya tanpa ada pemberitahuan terlebih dulu, baik melalui SMS ataupun surat.

Berikutnya, kesalahan-kesalahan aksara dalam pengetikan ulang. Contoh puisi Lagu Duka karya Djamaliah Syaiful dalam Bangka Belitung Bercahaya dalam Pantun dan Puisi, pada kalimat Kambali aku kabalik debu. Dan pada buku itu terdapat lebih dari 20 kata kesalahan aksara, seperti untuk umpri (kata kreatornya, seharusnya tertulis untuk umi) lambayan, berhendus, kibawan, keusadahannya, peluikan, tidfak, bersarmu, memabulkan, melam, membantuk, zaintun, lemai gemulai, dihadpan, terbanyang, pantan, keramain, dsan, Bak, dianatara, berebenteng, begandeng, menyujukkan, sebuaah, maatkaan, listik, menghilangl, mesyarakat, ibadsah, atukah, kehadiranmua, yanmg, daiajak, katankan, dan lain-lain. Ini jelas-jelas merusak karya sekaligus melecehkan penciptanya!

Kapasitas LKA sebagai editor yang tidak banyak mengerti bahasa Melayu Babel kian merusak kualitas karya. Satu contohnya, pantun no. 20 dalam antologi pantun Melayu Bangka Pucuk Pauh karya Sulaiman Yusuf. Perahu ikan didera batu / Penyair buyan menyandera bajak / Ke hulu kene bubu / Ke hilir kene tengkulak. Kata “tengkulak” merupakan kesalahan ketik ulang editor. Kreator pantun sebenarnya menulis “tekalak”; sejenis perangkap ikan mirip bubu yang terpasang duri-duri tajam pada lubang masuk perangkap sehingga ikan tidak akan nekat meloloskan diri. Tapi karena Editor LKA hanya tahu “tengkulak”, maka dengan seenaknya ia merubahnya menjadi “tengkulak”. Makna karya justru rusak di tangan Editor ‘tengkulak’ LKA!

Dari buku-buku hasil ‘proyek’ LKA tersebut pun tampak sekali bahwa LKA melakukan ‘one man show, dari proposal, penggarapan hingga dapur percetakan. LKA tidak memiliki tim kerja sebagaimana patutnya sebuah yayasan yang bergerak di bidang sastra (penerbit buku). Sangat miris, seorang LKA sengaja menggadaikan reputasinya dengan hal-hal yang sangat rendah mutunya!


C. Honor Para Penulis

Hingga tulisan ini disempurnakan (April 2006), pasca Bunga Rampai Bangka Barat sama sekali honor para kreator tidak ada. Tidak jelas pula aturan mainnya. Sungguh mustahil pada setiap proposal proyek sama sekali tidak menyebutkan honor untuk para kreator yang kreasinya termuat dalam buku-buku proyek LKA. Sedangkan panitia penerbitan Pelangi Budaya Bangka Tengah memberi honor sebesar Rp.200.000,- per kreator. Sementara Antologi Bangka Belitung dalam Pantun dan Puisi, meski LKA tercantum sebagai editor sekaligus sebenarnya domineer dalam penerbitan buku tersebut, honor diberikan ke masing-masing kreator sebesar Rp. 60.000,- dan itu pun atas inisiatif Saad Toyib yang telah mengamati proyek-proyek LKA.

Coba berhitung. Bunga Rampai Bangka Barat terdiri dari 17 kreator, kecuali LKA sendiri. Andai dalam proposal tertera honor sebesar Rp. 200.000,- per kreator, jumlah honor keseluruhan sebesar Rp. 3.400.000,-. Belum lagi biaya percetakan buku, yang bisa berbeda antara banyaknya buku yang akan dicetak dengan kenyataan banyaknya buku yang telah dicetak. Juga besarnya biaya cetak per buku, termasuk biaya operasional, misal pengetikan, pembuatan sampul, tata letak, dan lain-lain. Juga, buku Kelekak.

Dari dua contoh buku tersebut, dalam tahun 2005 bisa diperkirakan berapa rupiah LKA mendulang uang tanpa ada siapa bahkan organisasi apa pun yang melakukan auditing atau membuat opini beserta analisa kritis untuk proyek-proyek penerbitan LKA.

Ironi lainnya adalah acara temu sastrawan-pelajar di sekolah-sekolah. Jika LKA menjabat sebagai koordinator sastrawan, masing-masing sastrawan yang mengikuti acara tersebut akan dibayar Rp.50.000,-. Bukan tidak mungkin dalam proposal-proposalnya LKA akan mencantumkan banyak sastrawan dan masing-masing dengan honor yang lebih Rp.50.000,- itu. Dalam tahun 2005, lebih dari 4 sekolah LKA dan rombongannya kunjungi di pulau Bangka

Bandingkan dengan acara temu sastrawan-pelajar di Kobatin, Bangka Tengah, yang mana dikoordinatori oleh DN Kelana, dan masing-masing sastrawan yang hadir mendapat honor Rp. 100.000,- . Menurut DN Kelana, besarnya honor tersebut sesuai dengan angka yang tertulis dalam proposal kegiatan. Yang menjadi pertimbangannya, ada sastrawan yang bertempat tinggal lebih dari 100 km dari Koba, dan ongkos transportasinya bisa mencapai Rp.50.000,- PP.

D. Kritik Sastra di Babel
Kehadiran media massa lokal di Babel, misalnya harian Bangka Pos, Babel Pos, Rakyat Pos, tabloid Babel Ekspres, dan lain-lain sejak Mei 1999 ternyata tidak juga dibarengi oleh kehadiran sebuah kritik sastra, paling tidak kritik minimalis. Sastrawan lokal, misalnya Ian Sancin, Roestam Robain, Rustian Al Ansori, Surtam A. Amin, Amiruddin Dja’far, Fahrurrozi, Sobirin Hatip, Heru Herlambang, Mustafa Kamal, Mamaq Dudah, Kario Bin Nawi, Saad Toyib, Sulaiman Jusuf, Saderi, DN Kelana, Dedi Priadi, Buding Blilik, Irmansyah, Endang Bidayani, dan lain-lain selama satu tahun hingga awal tahun 2006 ini sama sekali tidak menanggapi realitas memilukan tersebut melalui tulisan kritis (semacam kritik sastra) di media massa lokal. 

Di antara mereka hanya bisa melakukan ‘pergunjingan angin’ sewaktu berkumpul sekadar minum kopi dan penganan goreng. Bahkan seorang Willy Siswanto, yang dianggap oleh sebagian publik Babel sebagai ‘sastrawan senior’ dan ‘mampu menulis esai berbobot’, juga tidak berkutik, terlebih ketika Willy pun bergabung dengan proyek buku LKA, yaitu dalam proses percetakan buku Pucuk Pauh (Pantun Melayu Bangka), Desember 2005.

Para pembaca ideal (berpendidikan sastra Indonesia), misalnya Ira Esmiralda Kurnia, Tien Rostini, dan Sobri, masih saja asyik dengan dunia mereka sendiri. Ira dengan keluarga dan taman bunganya. Tien Rostini dengan keluarga dan sekolahnya. Sobri dengan sekolah dan kegiatan individualnya. Sarjana-sarjana sastra lainnya juga tengah sibuk dengan entah apa lagi.

Kondisi krisis kritik sastra ini dipengaruhi pula oleh budaya ‘dak kawah nyusah’ alias budaya pragmatis yang telah menyatu utuh dalam nadi dan hati para peminat, pengamat maupun penggiat sastra di Babel. Ketiadaan (bukan langka, punah/mati!) kritik sastra yang berwibawa itu andil langsung dalam kelanggengan aktivitas ‘proyek-proyek penambangan’ LKA dan YNJ.


E. Dewan Kesenian dan Komunitas Sastra Daerah

Kalau di luar Babel eksistensi departemen sastra dalam struktur organisasi dewan kesenian daerahnya memang memiliki ‘wibawa’, tidaklah demikian dengan realitas yang terjadi di Babel. Provinsi Kepulauan Babel resmi terbentuk 21 Desember 2000, tapi sampai 2005 tidak ada Dewan Kesenian Provinsi karena ketidakpedulian pemeritah provinsi terhadap kesenian (kebudayaan) daerah, kecuali jika dibutuhkan untuk acara seremonial, misalnya penyambutan tamu atau hajatan pejabat. Sementara dewan kesenian kota/kabupaten, yang notabene mitra pemerintah daerah, ternyata sebatas ‘status fiktif’ pada ‘kop surat’. Kualitas SDM anggota departemen (komite) sastra berada jauh di bawah standar minimal. Orang-orang depatemen sastra tidak lebih dari ‘nama-nama mati’ seperti nisan-nisan di makam para pahlawan sastra Indonesia.

Melempemnya dewan kesenian daerah dibarengi oleh ketiadaan sanggar-sanggar sastra, workshop, pelatihan, apalagi diskusi-diskusi sastra bermutu. Tidak ada usaha pembinaan, baik dari pemerintah maupun sastrawan. Komunitas Pekerja Sastra Pulau Bangka (KPSPB) yang berdiri sejak tahun 1999 tapi 2002 tiba-tiba ‘mati suri’ gara-gara persoalan personal sekaligus memalukan yang tak jua terselesaikan. Anggota Yayasan Aktualita Karsa Pangkalpinang (salah satu penerbit buku sastra di Babel yang diketuai oleh Ki Agus Hazirianjaya), Willy Siswanto juga “one man show” mengatasnamakan yayasan untuk menerbitkan buku sastranya sendiri sekaligus membuat ulasan-ulasan ‘provokatif’ seperti kata pengantar maupun ‘promosi’ di sampul belakang bukunya seolah dari ulasan singkat penerbit, menambah daftar panjang keprihatinan dunia sastra Babel.

Selain itu, sastrawan-sastrawan muda terus ‘bergerilya’ secara individual dengan penuh kesadaran diri untuk meningkatkan kualitasnya, dan thank’s God, beberapa di antaranya berhasil memperkenalkan karya-karyanya di media massa lokal seberang sampai nasional. Putera-puteri Babel, khususnya yang merantau dan tidak dibesarkan dalam geliat sastra lokal semisal Novelis Andrea, juga kemudian (thank’s God !) berhasil menuai apresiasi yang positif. Sekali lagi, mereka tetap melakukan kegiatan bersastra secara individual, dan God bless them.

Tetapi kondisi birokrasi, institusi sastra dan para sastrawan lokal yang melempem serta gerilya karya sebagian sastrawan muda ke luar Babel, mau-tidak mau telah menyulap dewan kesenian daerah menjadi “tukang stempel” bahkan foto pejabat ukuran 3 R yang dimanfaatkan sebaik-liciknya oleh kakek berusia 68 tahun ini bersama YNJ untuk kelanggengan ‘proyek-proyek profit’-nya.


F. Kesempatan Emas

Selama masa pemantauannya terhadap kehidupan sastra tradisional dan kontemporer di Babel sejak tahun 2003 lampau, ternyata situasi serba memprihatinkan tersebut merupakan kesempatan emas bagi LKA beserta YNJ yang telah lebih dua puluh tahun bergaul intim dengan sastra untuk melakukan kegiatan-kegiatan ‘malapraktek’. Lahan-lahan sastra yang ‘dilalaikan’ oleh institusi sastra dan sastrawan lokal itu merupakan ‘lahan subur’ bagi LKA untuk ‘mengeruk materi’, baik dari pemerintah daerah maupun BUMN lokal. Lebih celaka lagi, LKA bersama YNJ sering mengajak dewan kesenian daerah Babel untuk menjadi ‘pembawa stempel’ bahkan ‘alat/stempel’ guna melegitimasi ‘proyek-proyek’ penerbitan buku sastra milik LKA!

Hegemoni plakat ‘pensiunan Balai Pustaka’ yang disandang LKA sekaligus pesona prestasinya juga berhasil telak menghipnotis sebagian besar logika birokrasi kebudayaan di Babel. Pejabat-pejabat penting di pemerintahan daerah hanya bisa manggut-manggut dan mandah ketika LKA melakukan ‘manuver-manuver’ sastranya dengan segepok proposal akal-akalan atau sekadar ‘olah lidah’, kendati ‘angka-angka yang telah ‘dipatgulipat’ itu pun tetap tanpa mengindahkan hak-hak intelektual para kreator, baik tidak membayar honor para kreator maupun soal besar-kecilnya honor sastrawan pada setiap acara baca sastra di sekolah-sekolah. Lucunya, LKA menyeruak paling depan jika sudah berurusan dengan kucuran dana dan pembayaran honor.

Dari seluruh hasil kerja Editor LKA bersama YNJ sampai tahun 2005 lalu, termasuk pemuatan foto-foto pejabat setempat, lembar-lembar iklan produk konglomerasi lokal serta penataan yang acak-acakan, tampak sekali bahwa kepedulian LKA terhadap pembinaan, peningkatan kualitas kehidupan dan dokumentasi sastra di Babel bukanlah berakar dari itikad luhur dan batin yang tulus. Tetapi semata-mata ‘proyek-proyek profit’ alias ‘proyek penambangan uang’ milik LKA yang menggunakan sakan sastra sebagai alat pengeruk dan penguras sebagian dana pembangunan untuk rakyat (masyarakat budaya) Babel. Ironisnya, sebagian sastrawan-budayawan Babel tampak sangat senang bergabung dengan LKA dalam ‘proyek-proyek’ LKA, meski ‘di belakang’ LKA mereka mempergunjingkan kecewa mereka. Sungguh menyedihkan realitas dunia sastra Babel mutakhir yang habis-habisan ‘diperdaya’ semena-mena oleh ‘intervensi eksploitatif pihak asing’ ini! 

*******
Kobatin Bangka Tengah, Januari 2006



KOMENTAR BERSERAKAN :
Tanggapan LK Ara atas 2 esaiku (LK Ara dan Proyek-proyek Penerbitan Buku Sastra di Bangka Belitung, dan Catatan Kepada Penyair) di internet
10.05.2006 09:14
Sy sdh baca 2 esei anda di internet. Ya kerja kita kan menulis menulis terus. Selamat menulis. LK Ara.
10.05.2006 22:05
Tksh atas koreksian anda semoga anda lebih ikhlas dan jujur
11.05.2006 07.50
Untuk melestarikan tradisi lisan Babel tlg teruskan usaha penerbitan buku yg kata anda proyek penambangan uang
KUJAWAB TGL 13
Harap bayar honor penulis
Dia jawab dgn … untuk melestarikan…, dan jawaban itu berulang lagi sampai aku jawab dengan SMS, “Harap bayar honor kreator, krn mereka bukan tambang uang. Mereka manusia. Jangan sampai kita jadi drakula.”

Lalu kukirim SMS ke teman-teman bahwa LK melakukan proyek buku2 sastra Bangka tanpa mementingkan mutu dan tidak membayar honor kreator.

TANGGAPAN KAWAN-KAWAN:
13.05.2006
Linda Cristanti (13:59)
Harusnya orang setua dia tidak pantas brbuat curang, apalg pada sesama penulis.

Medy Loekito (14:00)
Lho kok bisa gitu? tapi aku gak kenal sih, jadi gak ngerti dia.

Saut Situmorang (14:30)
LK Ara memang asu!

Gus tf Sakai (13:39)
Aduh…

Hasan Aspahani (13:30)
Ha ha ha, kabarnya dia memang petualang proyek

Listya Anggraeni (23:10)
Gus, aku barusan baca tulisan ttg LKara. Prihatin... (23:23) : Tulisanmu membedah dia tajam sekali. Bila memang sedemikian mesti diingatkan. Buku tidak hanya cari duit. Marwah buku sastra jadi gimana kalau ada puisi tentang nanas itu.

Rustian Al Ansori (03.06.2006, 12:01)
Ku juga punya crita dari tmanku dari Aceh ttng Lk Ara, seniman proposal. Klak la kite ngobrol di tuko buku ka

2 komentar:

muhammadsubhan mengatakan...

Saya lebih melihat sisi terangnya. Kenapa LK Ara bisa berkarya di Babel hingga mendapatkan kepercayaan banyak pihak, kok bukan anda? Artinya LKA telah berbuat, seperti katanya, "tugas kita adalah menulis, menulis, dan menulis. Saya khawatir, jangan-jangan esai itu anda tulis karena anda iri dengan LKA karena anda tidak kebagian "proyek"? Sekali lagi, mari kita lihat sisi terangnya. Muhammad Subhan, Padang Panjang

Unknown mengatakan...

Ha...ha....ha...jangan mudah percaya kepada siapapun. jika ingin lebih tahu sikap dan prilaku seseorang, dekati dulu orang tersebut. kenali prilakunya, jangan hanya dengar dari orang lain. wah itu bisa jadi fitnah nantinya. Jika kita sudah pernah ditipunya barulah boleh membuat statements. Jangan2 malah kita yang jadi propokator nantinya, apa bedanya kita dengan Dia.
Sakam Kreatif!
(Sulaiman Juned=Padangpanjang).